PBB Prediksi Kekerasan di Myanmar Bisa Mengancam Stabilitas di Asia Tenggara

PBB Ingatkan kekerasan di Myanmar bisa berubah menjadi perang sipil besar-besaran dan berisiko mengacaukan kawasan Asia Tenggara lebih luas.

diperbarui 07 Jul 2021, 15:32 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2021, 15:32 WIB
Myanmar Gelar Parade Militer di Hari Angkatan Bersenjata
Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu (27/3/2021). Myanmar saat ini sedang dalam kekacauan sejak para jenderal militer menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februari. (AP Photo)

, Yangon - Pejabat tinggi PBB memperingatkan pada Selasa (06/07) bahwa meningkatnya kekerasan di Myanmar bisa berubah menjadi perang sipil besar-besaran dan berisiko mengacaukan kawasan Asia Tenggara lebih luas.

"Penderitaan dan kekerasan di seluruh negeri adalah prospek yang menghancurkan bagi pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kemungkinan kegagalan negara atau perang sipil yang lebih luas," kata Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet.

Kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Bachelet mengatakan bahwa "perkembangan bencana di Myanmar sejak kudeta ... menghasilkan potensi yang jelas untuk ketidakamanan besar-besaran, dengan dampak bagi wilayah yang lebih luas."

Lebih lanjut Bachelet mengatakan militer Myanmar telah melancarkan serangan "sistemik" dan "meluas" terhadap penduduk sipil sejak kudeta. Junta juga dilaporkan telah menindak keras para pengunjuk rasa anti-kudeta.

Pekerja medis pun menuduh militer menyerang dan membunuh pekerja medis dan dokter, setelah menjuluki petugas kesehatan sebagai musuh negara.

Bachelet mengatakan hampir 900 orang telah tewas sejak kudeta, dengan 200.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di tengah kerusuhan. Dia mengatakan pasukan keamanan telah bertindak secara tidak proporsional terhadap kelompok oposisi bersenjata yang muncul sejak kudeta, seperti Angkatan Pertahanan Rakyat.

Sebelumnya, militer merebut kendali penuh atas Myanmar pada 1 Februari, setelah menangkap pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi dan anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) lainnya. Jenderal militer Min Aung Hlaing sejak itu menjadi pemimpin de facto negara itu.

Bachelet pun meminta masyarakat internasional untuk "bersatu dalam menekan militer untuk menghentikan serangan yang terus berlanjut terhadap rakyat Myanmar dan mengembalikan negara itu ke demokrasi."

 


Kesepakatan ASEAN Terkait Myanmar

Lautan Manusia di Yangon Protes Kudeta Myanmar
Seorang pengunjuk rasa memegang poster dengan gambar pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi (kanan) yang ditahan dan presiden Win Myint saat demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar pada Sabtu (6/2/2021). Ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk melawan kudeta. (YE AUNG THU / AFP)

Sebelumnya, Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bertemu dengan kepala junta Myanmar pada bulan April dan menyetujui konsensus lima poin untuk menyelesaikan krisis.

Rencana tersebut menyerukan penghentian segera kekerasan dan adanya "dialog konstruktif" untuk menemukan "solusi damai demi kepentingan rakyat."

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan pada hari Selasa (06/07) dalam kunjungannya ke Indonesia bahwa Moskow mendukung rencana ASEAN.

Kudeta dan konflik di Myanmar telah berdampak pada negara-negara Asia lainnya, di mana para pengungsi melarikan diri dari ke negara tetangga India dan Thailand.

Negara-negara Barat seperti AS dan Inggris, bersama dengan Uni Eropa, telah mengutuk kudeta dan menjatuhkan sanksi kepada para pejabat militer Myanmar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya