Ironi di Balik Olimpiade Tokyo 2020

Ini sisi yang tak terlihat di balik gelaran Olimpiade Tokyo 2020.

diperbarui 23 Jul 2021, 17:31 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2021, 17:31 WIB
Banner Maskot Olimpiade Tokyo 2020
Banner Maskot Olimpiade Tokyo 2020 (Liputan6.com/Abdillah)

, Tokyo - Olimpiade Tokyo 2020 dibuka hari ini 23 Juli 2021. Gelaran ini akhirnya diselenggarakan setelah sempat tertunda karena pandemi COVID-19.

Perhelatan olahraga akbar ini digelar dengan sejumlah pembatasan, baik bagi para kontingen asing maupun warga Jepang.

Sejumlah tokoh di Jepang yang menyatakan tidak akan hadir dalam upacara pembukaan, menjadi gambaran nyata bagaimana negara itu menyikapi pesta olahraga terbesar empat tahunan ini.

Petinggi perusahaan yang menjadi sponsor utama Olimpiade seperti Panasonic, Fujitsu, Asahi, serta tokoh lainnya telah memastikan akan absen dari seremoni pembukaan.

Toyota yang juga menjadi sponsor, menyatakan tidak akan menayangkan iklan TV apa pun yang terkait dengan Olimpiade sebagai bentuk "kepekaan terhadap situasi COVID-19".

Bahkan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe, yang tampil pada upacara penutupan Olimpiade Rio 2016 berpakaian seperti Mario, tidak akan hadir.

Padahal, Abe sebelumnya sangat giat berkampanye untuk Olimpiade Tokyo saat menjadi perdana menteri. Tapi minggu ini dia mengatakan tidak akan hadir dalam upacara pembukaan, dengan alasan tidak akan ada penonton.

Apa pun alasannya, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Jumat (23/7/2021), ketidakhadiran para tokoh ini memberikan kesan bahwa mereka tak ingin dikaitkan dengan apa yang seharusnya menjadi momen bersejarah bagi Jepang di mata dunia.

Siapa yang akan hadir di acara pembukaan?

Berikut ini sejumlah tokoh yang dikabarkan hadir di acara pembukaan Olimpiade Tokyo 2020:

  • Presiden Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach
  • Kaisar Jepang
  • Perdana Menteri Yoshihide Suga
  • Presiden Prancis Emmanuel Macron
  • Jill Biden, istri Presiden AS Joe Biden
  • Presiden Komite Olimpiade Australia John Coates
  • Menteri Utama Queensland Annastacia Palaszczuk

Tapi semuanya akan terasa sebagai sesuatu yang jauh bagi kebanyakan orang Jepang sendiri. Dari 950 pejabat yang dijadwalkan hadir, hanya ada 150 orang Jepang. Warga diminta untuk menonton pembukaan dari rumah.

Menteri Utama Queensland Annastacia Palaszczuk hadir di upacara pembukaan Olimpiade Tokyo tahun ini setelah sebelumnya menghadiri pengumuman penyelenggara Olimpiade 2032 yang dimenangkan oleh Brisbane, ibu kota Queensland.

Anastasia Palaszczuk mengatakan dia "sangat bersemangat".

Sementara Presiden IOC Thomas Bach mengutip keselarasan Brisbane dengan reformasi dan agenda Olimpiade sebagai salah satu alasan keberhasilan kota itu.

"Ini adalah proyek yang sangat berkelanjutan dan ini adalah proyek dengan warisan besar dan ini adalah proyek dari negara yang mencintai olahraga, dan inilah intinya, untuk melihat Aussies yang mencintai olahraga memfasilitasi Olimpiade. Saya harap saya masih bisa melakukannya. sampai saat itu untuk berada di sana,'' kata Thomas Bach.

Ke-80 delegasi IOC di Tokyo memberikan suara 72 banding 5 mendukung Brisbane, dengan tiga abstain.

Warga Tokyo Akan Menonton dari Tempat Hiburan Malam

Foto: Menilik Sepintas Beberapa Venue Olimpiade Tokyo 2020, Perpaduan antara Futuristik dan Budaya Khas Jepang
Stadion Nasional Jepang merupakan salah satu venue yang terletak di Kasumigaoka, Shinjuku, Tokyo, Jepang. Venue ini akan digunakan untuk cabang olah raga sepak bola, atletik, dan menjadi tempat pembukaan dan penutupan Olimpiade Tokyo 2020. (Foto: AFP/Behrouz Mehri)

Sejumlah warga Tokyo mungkin tidak akan repot-repot menonton upacara pembukaan sama sekali.

Sebagai gantinya, mereka akan menikmati bir dingin di tempat hiburan malam yang tetap beroperasi, meski melanggar aturan pembatasan COVID-19.

Mereka mungkin hanya akan menonton tayangan TV sekilas dari sudut-sudut izakaya (tempat minum-minum seperti bar dan restoran).

Status Tokyo kini dalam keadaan darurat untuk mengendalikan penyebaran COVID-19 yang terus meningkat.

Menurut aturan pembatasan mobilitas, bar dan restoran dilarang menjual alkohol setelah jam 8 malam.

Tapi larangan itu terlihat tidak begitu dipatuhi di daerah Shimbashi, yang menjadi kawasan pekerja kantoran di kota metropolitan ini.

Tak begitu jauh dari stasiun kereta api, dengan mudah kita bisa menemukan bar yang tetap beroperasi tak jauh dari pos polisi.

Pelanggaran terbuka ini mungkin tampak kontroversial, tapi para pengelola izakaya mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain.

Salah satunya, Yuka Fujishima, yang mengaku telah mematuhi aturan dalam dua kali pembatasan mobilitas sebelumnya.

Melanggar aturan pembatasan karena takut bangkrut

Menurut Yuka, dia telah menunggu cukup lama untuk mendapatkan pembayaran kompensasi yang dijanjikan pemerintah. Sejak lima bulan lalu.

Dia menyebutkan bisnisnya telah kehilangan lebih dari A$120.000 (Rp1,3 miliar) gara-gara mematuhi pembatasan mobilitas.

Yuka mengaku sama sekali tidak ingin menjadi pelanggar aturan. Tapi dia merasa tidak punya pilihan lain.

"Jika pemerintah tidak menepati janjinya, saya pun harus melindungi diri dan menjaga usaha saya agar tetap terbuka," katanya kepada ABC.

"Jika saya ikuti pembatasan itu, sama saja dengan menunggu izakaya ini bangkrut," ucapnya.

"Saya telah menutup salah satu izakaya sehingga tidak dapat menderita kerugian lebih lanjut," tambahnya.

Sejauh ini petugas telah menyampaikan akan mendenda Yuka sebesar A$3.500 (Rp35 juta), namun sejauh ini surat dendanya belum datang.

Jelang pembukaan, hampir 2.000 kasus baru

Didorong oleh varian Delta, penularan COVID-19 kembali merebak di Jepang saat ini.

Sehari sebelum upacara pembukaan, kota Tokyo melaporkan 1.979 kasus positif baru.

Ini adalah angka tertinggi di kota itu sejak Januari.

Bagi pengusaha seperti Yuka Fujishima, segala upaya telah dia lakukan untuk menjaga pelanggan dan stafnya tetap aman dari virus.

Dia memiliki monitor karbon dioksida di izakaya untuk melacak ventilasi, dan karyawannya dites COVID-19 dua kali seminggu.

Tapi secara keseluruhan, warga Tokyo mulai jenuh setelah 18 bulan berada dalam pandemi.

"Pemerintah sedang berusaha mengendalikan infeksi di bar dan restoran yang menyajikan alkohol, yang dianggap berisiko tinggi," ujar Profesor Kazuhiro Tateda, pakar kesehatan masyarakat.

"Kita mulai melihat bahwa para pelanggan, terutama anak-anak muda, tidak bisa lagi mentoleransinya," katanya.

"Perlu adanya pesan yang tepat kepada pelanggan dan pengelola restoran sehingga mereka mengerti dan mau bekerjasama," ujar Prof. Kazuhiro Tateda.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya