Liputan6.com, Jakarta - "2022 harus menjadi tahun kita mengakhiri pandemi COVID-19." Ajakan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus ini bisa terwujud bila seluruh dunia bekerja sama dan berani mengambil keputusan.
Tedros mengakui, semua orang pasti ingin menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga tanpa berjarak. Bahkan ingin segala aktivitas segera kembali normal.
Baca Juga
Namun, untuk kembali pada kehidupan normal, masyarakat perlu melindungi diri. Mengingat kasus-kasus yang dipicu COVID-19 varian Omicron saat ini menyebar dengan begitu cepat.
Advertisement
Sejak pertama kali dilaporkan oleh Afrika Selatan pada November 2021 lalu, Omicron telah teridentifikasi pada lebih dari 100 negara. Hal tersebut pun membuyarkan harapan terkait pandemi akan segera berakhir.
Meskipun ada indikasi bahwa varian baru itu tidak lebih parah daripada varian Delta -- masih merupakan strain yang dominan -- Omicron telah menunjukkan data awal memiliki transmisibilitas yang lebih tinggi dan resistensi yang mengkhawatirkan terhadap vaksin.
Dengan kasus yang meningkat pesat, Tedros menekankan lebih baik membatalkan acara akhir tahun "sekarang dan merayakannya nanti, daripada merayakan sekarang dan berduka nanti." "Kita harus fokus sekarang untuk mengakhiri pandemi ini."
Menurut Tedros, untuk menghentikan pandemi COVID-19 pada 2022 dibutuhkan semua upaya dan alat yang dimiliki, mulai dari vaksin, pemakaian masker, juga jaga jarak. Ia juga menekankan soal akses vaksin yang hingga saat ini belum merata.
"Jika kita ingin mengakhiri pandemi di tahun mendatang, kita harus mengakhiri ketidakadilan," Tedros menegaskan.
Menurut ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman, pandemi COVID-19 bisa saja usai pada akhir 2022, tapi dengan beberapa catatan. "Bicara target WHO selesai 2022, kalau saya opsi optimisnya bisa berakhir di akhir 2022 dengan catatan vaksinasi dua dosis dunia bisa tercapai setidaknya pada September," kata Dicky saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (24/12/2021).
"Ditambah populasi berisiko seperti lanjut usia (lansia) dan tenaga pelayanan publik sudah di-booster (vaksin penguat) menjelang akhir kuartal terakhir 2022. Itu akan membawa kondisi di mana banyak benua termasuk negara dalam fase lebih terkendali."
Catatan lainnya, sambung Dicky, target ini dapat tercapai jika tidak ada varian baru yang "lebih hebat" dari varian Omicron dan Delta. Maka dari itu, respons dunia perlu diperkuat dengan membangun sinergi yang kuat.
Selain itu, menurutnya, yang jadi tantangan pencapaian akhir pandemi COVID-19 pada 2022 adalah varian Omicron. Berdasarkan tren terakhir, varian ini diprediksi akan mendominasi dunia di akhir Januari atau awal Februari 2022.
"Termasuk di Indonesia tampaknya akan mulai lebih banyak di awal Januari dan Februari (2022). Ini belum bisa dihilangkan karena ada kecenderungan Delta dan Omicron bisa berdampingan atau kemungkinan lainnya Omicron bisa lebih mendominasi ketimbang Delta," ujar Dicky.
Dua kemungkinan tersebut sudah terjadi, di Amerika Serikat Omicron lebih mendominasi daripada Delta. Sedang di beberapa negara lain, Omicron dan Delta cenderung berjalan beriringan.
Dicky menambahkan, saat ini dunia menghadapi 2 ancaman yakni Delta dan Omicron. Artinya, strategi yang digunakan tidak hanya dengan mengandalkan keberhasilan waktu melawan Delta saja, tapi harus lebih ditingkatkan.
Menurut Dicky, tidak ada skenario tunggal dalam prediksi akhir pandemi COVID-19. Para ahli membagi prediksi ini dalam 3 skenario besar.
"Dari semua skenario itu yang jelas pada akhir 2021 ini atau bahkan awal 2022 potensi bahwa pandemi ini akan berakhir sangat-sangat kecil."
Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak warga dunia yang telah memiliki imunitas. Baik karena vaksinasi maupun karena infeksi virus corona.
"Bicara konteks itu, Indonesia kurang lebih posisinya 40 persen atau kurang, virus ini juga relatif baru bagi manusia dan mutasinya cepat sehingga masih perlu waktu untuk mencapai titik stabil. Skenario terburuknya mungkin ini masih butuh waktu 2 tahun ke depan untuk berakhir."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Varian Omicron Jadi Kunci
Sejumlah ilmuwan menilai varian Omicron berpotensi jadi kunci mengakhiri pandemi COVID-19 jadi endemi.
Varian Omicron menular lebih cepat, tetapi tidak seberbahaya varian Delta, begitu menurut sejumlah pendapat. Orang-orang yang sembuh bisa mendapatkan natural immunity agar bisa melawan varian concern selanjutnya.
Dilaporkan CNBC, Jumat (24/12/2021), Dr. Brian Ho dari Columbia University menyebut teori itu telah dibahas oleh para pakar penyakit menular, meski masih bersifat spekulatif.
Sementara, pakar penyakit menular Dr. Bruce Farber berkata skenario terbaik adalah varian COVID-19 akan lebih menular tapi tidak membuat sakit, sehingga muncul kekebalan di AS.
"Itu tentunya bisa membantu mengakhiri lonjakan tinggi COVID mematikan dengan hospitalisasi tinggi," ujar Dr. Bruce Farber yang merupakan ahli penyakit menular dari Northwell Health.
Profesor biomedis dari University of Hong Kong, Jin Dongyan, berkata saat ini adalah "awal dari akhir" untuk pandemi. Ia menyebut ada harapan untuk mengakhiri pandemi di 2022.
Berdasarkan laporan media pemerintah China, Global Times, Jin Dongyan menyorot masalah vaksin yang merata.
"Sebuah hal yang paling penting adalah agar WHO bisa benar-benar memainkan peran terdepan dalam prasyarat-prasyarat kritis seperti menghakhiri ketimpangan vaksin, dan meneliti vaksin-vaksin dan obat-obatan baru," ujarnya, dikutip Jumat (24/12/2021).
Jin juga menjelaskan bahwa bukti-bukti terkini menunjukkan bahwa varian-varian memiliki daya infeksi yang kuat, tetapi tidak terlalu mematikan. Ia mencontohkan Omicron yang lebih cepat menyebar ketimbang Delta, tetapi tak memicu kematian lebih banyak.
Lebih lanjut, Jin Dongyan menyorot pentingnya vaksinasi, herd immunity, serta koordinasi WHO dengan anggota-anggotanya dalam memantau perkembangan COVID-19.
Lu Hongzhou yang merupakan anggota komite nasional penyakit menular di China, berkata mengakhiri pandemi harus menggunakan cara ilmiah dan teknologi, seperti vaksin yang lebih efektif.
Pandangan yang relatif pesimis datang dari seorang pakar imun di Beijing. Pasalnya, belum ada vaksin yang efektif.
Pakar imun yang identitasnya tak ingin diungkap itu menyebut tak ada bukti bahwa ada akhir dari pandemi ini akibat belum adanya vaksin yang sangat efektif, dan varian-variannya terus bermutasi.
"Bahkan jika WHO mendeklarasikan akhir pandemi tahun depan, itu lebih mengakhirinya secara politis ketimbang biologis," ujarnya.
Advertisement
Indonesia Bakal Jadi Negara Pertama
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi berharap, Indonesia bisa menjadi negara pertama yang keluar dari pandemi COVID-19.
"Situasi kesehatan kita kan terus membaik. Artinya, ini menjadi penting untuk bagaimana ke depannya, kita bisa mempertahankan kondisi baik ini dengan semakin menekan lagi penularan," ucap Nadia dalam dialog Resiliensi dan Optimisme Menuju 2022, ditulis Jumat (24/12/2021).
"Bahkan kalau bisa Indonesia menjadi negara pertama yang bisa keluar dari situasi pandemi COVID-19. Tentunya, perlu kerja sama dari seluruh masyarakat."
Untuk menuju kondisi keluar dari pandemi COVID-19, Nadia menekankan, kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan (prokes) yakni 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) harus tetap dilakukan. Upaya 3T (testing, tracing, treatment) ikut menjadi kunci.
Tak hanya itu saja, percepatan vaksinasi COVID-19 terus digencarkan. Tujuannya, demi mewujudkan kekebalan populasi.
"Kerja sama mengendalikan COVID-19 harus kita lakukan karena kita tahu kepatuhan masyarakat terhadap 3M, 3T, dan juga percepatan vaksinasi ini menjadi kunci penanganan pandemi," lanjut Nadia.
Menilik prediksi perkembangan COVID-19 pada tahun 2022, Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, bahwa kondisi COVID-19 tidak bisa diprediksi dan masih bersifat dinamis. Apalagi adanya kemunculan kasus varian Omicron, yang semakin menyebar di sejumlah negara.
"Kita belum tahu secara pasti (situasi COVID-19 tahun 2022). Kalau kita lihat, dengan kondisi yang sudah sangat baik (di Indonesia), tapi kemudian tanggal 26 November kemarin muncul varian baru COVID-19, yakni Omicron yang dikatakan memiliki kombinasi mutasi lebih dari 50 mutasi," ujarnya.
"Seperti yang sudah kita ketahui, upaya vaksinasi, protokol kesehatan, membatasi mobilitas, dan melakukan deteksi dini dengan 3M dapat membatasi berbagai penularan dari kasus-kasus positif varian baru ini."
Indonesia juga terus meningkatkan 3T dan 3M. "Kita tidak bisa memprediksi kapan COVID-19 akan berakhir, tapi upaya-upaya kita ke arah sana terus dilakukan," imbuh Nadia.
5 Hal yang Bakal Terjadi
COVID-19 mungkin akan tetap dianggap berbahaya, meski pada 2022 nanti pandemi akibat Virus Corona baru diprediksi akan berakhir.
Dirjen WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus telah mengajak masyarakat dunia untuk bersama-sama mengakhiri pandemi COVID-19, seperti dikutip dari laman CNBC, Jumat (24/12/2021).
Ajakan ini dianggap penuh optimistis dan pesimistis bagi sejumlah pihak. Namun, apa yang kira-kira terjadi jika COVID-19 benar akan berakhir pada 2022?
Inilah yang dapat terjadi jika pandemi COVID-19 benar-benar berakhir:
1. COVID-19 Jadi Musiman
Setelah mewabah, COVID-19 tidak akan terlalu mendikte pengambilan keputusan harian Anda, seperti yang dijelaskan oleh miliarder dan filantropis kesehatan Bill Gates dalam posting blog akhir tahun minggu lalu: "COVID-19 tidak akan memutuskan apakah Anda akan bekerja dari kantor atau rumah. Biarkan anak-anak Anda pergi ke pertandingan sepak bola atau menonton film di bioskop."
Penyakit endemik selalu beredar di seluruh belahan dunia, tetapi cenderung menyebabkan penyakit yang lebih ringan karena lebih banyak orang yang memiliki kekebalan dari infeksi atau vaksinasi sebelumnya.
Anda mungkin mengalami batuk dan pilek, tetapi jika Anda mendapatkan vaksinasi terbaru, Anda akan cukup terlindungi untuk mencegah penyakit parah atau rawat inap.
2. Saat Sakit, Anda Disarankan Memakai Masker dan Tinggal di Rumah
Jika virus menjadi lebih musiman, mengenakan masker di angkutan umum dan di dalam ruangan selama musim COVID-19 bisa menjadi norma – bahkan di kantor, kata Shaun Truelove, ahli epidemiologi penyakit menular di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg.
Strategi pencegahan lainnya, seperti mencuci tangan secara teratur dan menjaga jarak di lingkungan berisiko tinggi, juga dapat bertahan.
3. Tes COVID-19 Lebih Terjangkau dan Mudah Diakses
Jika Anda pernah menunggu dalam antrean panjang untuk mendapatkan tes COVID-19, maka akan berbeda di kemudian hari.
Pada awal Desember, Presiden Joe Biden mengumumkan rencana untuk mewajibkan perusahaan asuransi swasta menanggung biaya tes cepat COVID-19. Tes COVID-19 yang dilakukan di rumah secara mandiri pun bisa terwujud.
Tes COVID-19 di rumah yang disetujui oleh Food and Drug Administration tersedia secara luas sekarang, tetapi tes tersebut dapat menelan biaya hingga US$ 20.
4. Banyak Anak Akan Mendapat Suntikan Vaksin COVID-19
Pada 2 November, anak-anak berusia 5 hingga 11 tahun akhirnya memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin COVID-19.
Tujuh juta suntikan telah diberikan kepada anak-anak AS sejauh ini pada Desember 2021 saja, kata direktur CDC Dr. Rochelle Walensky.
Jika Anda memiliki anak di bawah usia 5 tahun, Anda mungkin bertanya-tanya kapan kelayakan vaksin akan diperluas ke anak-anak tersebut. Para ilmuwan saat ini sedang bekerja untuk mendapatkan jawaban Anda, dengan menentukan dosis yang tepat untuk kelompok usia tersebut.
5. Suntikan Booster Bisa Jadi Agenda Tahunan
Dr. Rochelle Walensky mengatakan, booster sebagai pertahanan terbaik yang tersedia terhadap ancaman varian COVID-19 baru seperti Omicron.
Saat ini, 27 persen orang yang divaksinasi lengkap yang memenuhi syarat untuk mendapatkan suntikan booster telah mendapatkannya, menurut CDC.
Beberapa ahli mengatakan bahwa suntikan booster COVID-19 bisa menjadi kejadian tahunan, mirip dengan suntikan flu.
Advertisement