Kronologi Sejarah Konflik Rusia dan Ukraina Modern

Kenapa Presiden Rusia Vladimir Putin disebut-sebut ingin menyerang Ukraina? Berikut ini ulasan sejarah singkatnya.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 26 Feb 2022, 14:28 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2022, 17:32 WIB
FOTO: Aksi Lansia Ukraina Latihan Menggunakan Senjata
Seorang anak muda mengacungkan senjata selama latihan dasar perang untuk warga sipil, oleh Unit Pasukan Khusus Azov, dari Garda Nasional Ukraina, di Mariupol, wilayah Donetsk, Minggu (13/2/2022). Mereka disiapkan untuk bisa bertahan di tengah kekhawatiran akan invasi Rusia (AP Photo/Vadim Ghirda)

Liputan6.com, Jakarta - Ukraina kini sedang berada dalam ancaman invasi Rusia. Meski Presiden Vladimir Putin membantah adanya niat invasi, Amerika Serikat dan sekutunya tidak percaya. 

Lokasi Ukraina memang berbatasan langsung dengan Rusia. Jika ditarik hingga ratusan tahun lalu, Ukraina memang pernah dikuasai Kekaisaran Rusia.

Ukraina juga berada di kekuasaan Rusia di masa keemasan Catherine yang Agung, kemudian Ukraina menjadi bagian dari Uni Soviet, hingga Soviet runtuh.

Rusia tampaknya masih belum rela melepas Ukraina. Itu tercermin dari intervensi secara politik yang dilakukan Rusia. Dan kini akhirnya muncul ancaman invasi. 

Berikut rangkuman sejarah konflik Ukraina-Rusia, seperti dijelaskan NPR yang dikutip Selasa (15/2/2022):

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

The Ambasador: Dubes Jose Tavares Bahas Konflik Rusia-Ukraina


1. Keruntuhan Soviet

FOTO: Suasana Malam Pergantian Tahun dari Berbagai Belahan Dunia
Wartawan menyaksikan kembang api meledak di atas Katedral St. Basil dan Kremlin dengan Menara Spasskaya di Lapangan Merah yang kosong karena pembatasan pandemi COVID-19 saat perayaan Tahun Baru di Moskow, Rusia, Sabtu (1/1/2022). (AP Photo/Alexander Zemlianichenko Jr)

1989: Menuju Akhir Soviet

Keruntuhan Uni Soviet memicu gelombang negara-negara yang ingin berdaulat, termasuk rakyat di Ukraina. Pada Januari 1990, lebih dari 400 ribu orang bergandengan tangan untuk membuat rantai manusia dari kota Ivano-Frankivsk menuju Kyiv.

Mereka mengibarkan bendera biru dan kuning yang dilarang pemerintahan Soviet.

1991: Kemerdekaan

Pada 24 Agustus 1991, parlemen Ukraina berdeklarasi merdeka dari Uni Soviet. Tanggal itu merupakan hari kemerdekaan Ukraina.

Di akhir 1991, Uni Soviet Bubar. Beberapa tahun setelahnya, Ukraina memperkuat aliansinya dengan NATO.

Presiden Leonid Kuchma terpilih menjadi presiden pada 1994, dan ia membangun Ukraina sebagai negara kapitalis, berbeda dari Soviet dengan aliran ekonomi sosialis.


2. Racun dan Revolusi

Warga Ukraina berdemo di pusat Kota Kyiv menentang kemungkinan peningkatan ketegangan antara Rusia dan Ukraina, Sabtu, 12 Februari 2022. (Foto: Efrem Lukatsky/AP Photo)
Warga Ukraina berdemo di pusat Kota Kyiv menentang kemungkinan peningkatan ketegangan antara Rusia dan Ukraina, Sabtu, 12 Februari 2022. (Foto: Efrem Lukatsky/AP Photo)

2004: Presiden Yuschenko

Kuchmat mengakhiri masa jabatan selama 10 tahun, dan ia mendukung Viktor Yanukovych sebagai suksesor. Presiden Rusia Vladimir Putin juga mendukung Yakunovych.

Pihak oposisi adalah Viktor Yuschenko yang pro-demokrasi. Di akhir masa kampanye, Yuschenko mendadak jatuh sakit. Tak hanya itu, wajahnya pun mengalami perubahan bentuk, padahal dulunya mulus.

Dokter menyatakan bahwa politisi itu diracuni. Yanukovych yang pro-Putin juga menang pemilu, namun masyarakat menduga ada kecurangan, dan muncullah demo besar yang dikenang sebagai Revolusi Oranye.

Setelah adanya pemilihan ulang, Yuschenko dinyatakan sebagai pemenang pemilu.

2008: NATO

Presiden Yuschenko dan Perdana Menteri Yulia Tymoshenko berusaha agar Ukraina masuk ke dalam NATO. Langkah ini didukung Presiden George W. Bush, tetapi ditolak Rusia.

NATO masih belum resmi mengizinkan Ukraina menjadi anggota, meski masih membuka pintu. Hingga kini Presiden Putin masih menolak keras keanggotaan Ukraina karena dinilai bisa berbahaya bagi Rusia.


Semenanjung Krimea

5.000 Pelaut Ikut dalam Pawai Militer di Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin memberi sambutan saat perayaan Hari Angkatan Laut di St.Petersburg, Rusia, Minggu (30/7). Sebanyak 50 kapal perang dan kapal selam unjuk gigi di Sungai Neva dan Teluk Filandia. (AP/Alexander Zemlianichenko)

2010: Kemenangan Pro-Putin

Presiden Yanukovych yang pro-Putin berhasil terpilih sebagai presiden. Ia pun berdeklarasi bahwa Ukraina harus netral.

Ia ingin Ukraina bekerja sama dengan Rusia dan NATO.

2013-2014: Maidan Square

Presiden Yanukovych juga ditekan oleh Rusia agar tidak mau melakukan perjanjian dagang bebas dengan Uni Eropa. Keputusan itu ternyata tidak populer dan memicu protes besar.

Para pendemo berkumpul di Maidan Square dan menduduki gedung pemerintah, termasuk balai kota Kyiv dan kementerian kehakiman.

Pada Februari 2014, terjadi bentrokan yang menyebabkan kematian lebih dari 100 orang. Presiden Yanukovych melarikan diri ke Rusia dan parlemen mencopot jabatannya.

Maret 2014: Referendum Krimea

Presiden Putin menolak keras pelengseran Yanukovych dan menyebutnya kudeta. Pada waktu yang bersamaan dengan hal tersebut, prajurit Rusia terus berdatangan ke Krimea.

Terjadi pula referendum Krimea yang menyebut 90 persen warga ingin bergabung ke Rusia saja. Semenanjung Krimea merupakan wilayah yang memiliki sejarah penting bagi Rusia-Ukraina.

Akhirnya, Putin merestui aneksasi wilayah Krimea pada 18 Maret. Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa membalas dengan memberikan sanksi ke Rusia.

Update: Pihak Kedubes Rusia di Jakarta berkata negaranya hanya mengirim prajurit ke Krimea setelah referendum. Namun, laporan media internasional menyebut prajurit Rusia sudah masuk Krimea pada Februari 2014, sebelum referendum di bulan Maret.


Serangan Cyber

Vladimir Putin
Vladimir Putin mengendarai kuda di dalam fasilitas pelatihan di Moskow, Rusia, dengan diapit oleh para polisi wanita dari Resimen Polisi Operasional Pertama (1st Operational Police Regiment) pada hari Kamis, 7 Maret 2019. (Mikhail Metzel/TASS)

Mei 2014: Serangan Cyber

Politikus Petro Poroshenko yang pro-Barat terpilih menjadi presiden Ukraina. Ia berjanji agar negaranya lebih mandiri dari pengaruh Rusia dalam bidang energi dan keuangan.

Hubungan kedua negara pun terus memburuk. Rusia juga dituduh berkali-kali melakukan serangan cyber ke Rusia, termasuk pada 2016 ketika menyebabkan mati lampu besar-besaran.

Pada 2017, Rusia kembali melakukan hal tersebut. NPR menyebut serangan cyber Rusia ke Ukraina masih berlanjut hingga kini.

Update: Pada Februari 2022, Kedutaan Besar Rusia di Indonesia membantah bahwa negaranya terlibat dalam serangan cyber seperti itu.


100 Ribu Pasukan

FOTO: Garis Depan Prajurit Ukraina Hadapi Separatis Dukungan Rusia
Seorang prajurit Ukraina memeriksa senapannya pada posisi di garis depan dengan separatis yang didukung Rusia dekat Gorlivka, Donetsk, 14 April 2021. (STR/AFP)

Pada April 2021, Rusia mengirim sekitar 100 ribu pasukan ke perbatasan Ukraina. Mereka mengaku ingin melakukan latihan militer.

Langkah Rusia itu memicu reaksi keras dari Amerika Serikat dan sekutunya. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, meminta NATO untuk turun tangan, dan akhirnya Rusia memulangkan pasukannya. Tetapi, masih ada puluhan ribu pasukan yang tetap di perbatasan.

Akhirnya, Rusia kembali menambah pasukan di perbatasan Ukraina di November 2021. Inilah yang memicu kecaman dan kekhawatiran dari Gedung Putih bahwa Rusia akan menginvansi Ukraina.

Update: Pada pertengahan Februari 2022, Rusia mengakui kemerdekaan daerah separatis Ukraina: Donetsk dan Luhansk. Rusia juga berkata mengirim pasukan ke dua daerah itu dengan dalih menjaga perdamaian. Tindakan Rusia dikecam oleh PBB, NATO, dan Amerika Serikat beserta para sekutunya. 

Kini, Rusia sedang menginvasi Ukraina.

Baca juga: Rusia sudah kepung Ukraina dari tiga penjuru.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya