Liputan6.com, Jakarta - Ukraina kini sedang berada dalam ancaman invasi Rusia. Meski Presiden Vladimir Putin membantah adanya niat invasi, Amerika Serikat dan sekutunya tidak percaya.
Lokasi Ukraina memang berbatasan langsung dengan Rusia. Jika ditarik hingga ratusan tahun lalu, Ukraina memang pernah dikuasai Kekaisaran Rusia.
Baca Juga
Ukraina juga berada di kekuasaan Rusia di masa keemasan Catherine yang Agung, kemudian Ukraina menjadi bagian dari Uni Soviet, hingga Soviet runtuh.
Advertisement
Rusia tampaknya masih belum rela melepas Ukraina. Itu tercermin dari intervensi secara politik yang dilakukan Rusia. Dan kini akhirnya muncul ancaman invasi.
Berikut rangkuman sejarah konflik Ukraina-Rusia, seperti dijelaskan NPR yang dikutip Selasa (15/2/2022):
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
The Ambasador: Dubes Jose Tavares Bahas Konflik Rusia-Ukraina
1. Keruntuhan Soviet
1989: Menuju Akhir Soviet
Keruntuhan Uni Soviet memicu gelombang negara-negara yang ingin berdaulat, termasuk rakyat di Ukraina. Pada Januari 1990, lebih dari 400 ribu orang bergandengan tangan untuk membuat rantai manusia dari kota Ivano-Frankivsk menuju Kyiv.
Mereka mengibarkan bendera biru dan kuning yang dilarang pemerintahan Soviet.
1991: Kemerdekaan
Pada 24 Agustus 1991, parlemen Ukraina berdeklarasi merdeka dari Uni Soviet. Tanggal itu merupakan hari kemerdekaan Ukraina.
Di akhir 1991, Uni Soviet Bubar. Beberapa tahun setelahnya, Ukraina memperkuat aliansinya dengan NATO.
Presiden Leonid Kuchma terpilih menjadi presiden pada 1994, dan ia membangun Ukraina sebagai negara kapitalis, berbeda dari Soviet dengan aliran ekonomi sosialis.
Advertisement
2. Racun dan Revolusi
2004: Presiden Yuschenko
Kuchmat mengakhiri masa jabatan selama 10 tahun, dan ia mendukung Viktor Yanukovych sebagai suksesor. Presiden Rusia Vladimir Putin juga mendukung Yakunovych.
Pihak oposisi adalah Viktor Yuschenko yang pro-demokrasi. Di akhir masa kampanye, Yuschenko mendadak jatuh sakit. Tak hanya itu, wajahnya pun mengalami perubahan bentuk, padahal dulunya mulus.
Dokter menyatakan bahwa politisi itu diracuni. Yanukovych yang pro-Putin juga menang pemilu, namun masyarakat menduga ada kecurangan, dan muncullah demo besar yang dikenang sebagai Revolusi Oranye.
Setelah adanya pemilihan ulang, Yuschenko dinyatakan sebagai pemenang pemilu.
2008: NATO
Presiden Yuschenko dan Perdana Menteri Yulia Tymoshenko berusaha agar Ukraina masuk ke dalam NATO. Langkah ini didukung Presiden George W. Bush, tetapi ditolak Rusia.
NATO masih belum resmi mengizinkan Ukraina menjadi anggota, meski masih membuka pintu. Hingga kini Presiden Putin masih menolak keras keanggotaan Ukraina karena dinilai bisa berbahaya bagi Rusia.
Semenanjung Krimea
2010: Kemenangan Pro-Putin
Presiden Yanukovych yang pro-Putin berhasil terpilih sebagai presiden. Ia pun berdeklarasi bahwa Ukraina harus netral.
Ia ingin Ukraina bekerja sama dengan Rusia dan NATO.
2013-2014: Maidan Square
Presiden Yanukovych juga ditekan oleh Rusia agar tidak mau melakukan perjanjian dagang bebas dengan Uni Eropa. Keputusan itu ternyata tidak populer dan memicu protes besar.
Para pendemo berkumpul di Maidan Square dan menduduki gedung pemerintah, termasuk balai kota Kyiv dan kementerian kehakiman.
Pada Februari 2014, terjadi bentrokan yang menyebabkan kematian lebih dari 100 orang. Presiden Yanukovych melarikan diri ke Rusia dan parlemen mencopot jabatannya.
Maret 2014: Referendum Krimea
Presiden Putin menolak keras pelengseran Yanukovych dan menyebutnya kudeta. Pada waktu yang bersamaan dengan hal tersebut, prajurit Rusia terus berdatangan ke Krimea.
Terjadi pula referendum Krimea yang menyebut 90 persen warga ingin bergabung ke Rusia saja. Semenanjung Krimea merupakan wilayah yang memiliki sejarah penting bagi Rusia-Ukraina.
Akhirnya, Putin merestui aneksasi wilayah Krimea pada 18 Maret. Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa membalas dengan memberikan sanksi ke Rusia.
Update: Pihak Kedubes Rusia di Jakarta berkata negaranya hanya mengirim prajurit ke Krimea setelah referendum. Namun, laporan media internasional menyebut prajurit Rusia sudah masuk Krimea pada Februari 2014, sebelum referendum di bulan Maret.
Advertisement
Serangan Cyber
Mei 2014: Serangan Cyber
Politikus Petro Poroshenko yang pro-Barat terpilih menjadi presiden Ukraina. Ia berjanji agar negaranya lebih mandiri dari pengaruh Rusia dalam bidang energi dan keuangan.
Hubungan kedua negara pun terus memburuk. Rusia juga dituduh berkali-kali melakukan serangan cyber ke Rusia, termasuk pada 2016 ketika menyebabkan mati lampu besar-besaran.
Pada 2017, Rusia kembali melakukan hal tersebut. NPR menyebut serangan cyber Rusia ke Ukraina masih berlanjut hingga kini.
Update: Pada Februari 2022, Kedutaan Besar Rusia di Indonesia membantah bahwa negaranya terlibat dalam serangan cyber seperti itu.
100 Ribu Pasukan
Pada April 2021, Rusia mengirim sekitar 100 ribu pasukan ke perbatasan Ukraina. Mereka mengaku ingin melakukan latihan militer.
Langkah Rusia itu memicu reaksi keras dari Amerika Serikat dan sekutunya. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, meminta NATO untuk turun tangan, dan akhirnya Rusia memulangkan pasukannya. Tetapi, masih ada puluhan ribu pasukan yang tetap di perbatasan.
Akhirnya, Rusia kembali menambah pasukan di perbatasan Ukraina di November 2021. Inilah yang memicu kecaman dan kekhawatiran dari Gedung Putih bahwa Rusia akan menginvansi Ukraina.
Update: Pada pertengahan Februari 2022, Rusia mengakui kemerdekaan daerah separatis Ukraina: Donetsk dan Luhansk. Rusia juga berkata mengirim pasukan ke dua daerah itu dengan dalih menjaga perdamaian. Tindakan Rusia dikecam oleh PBB, NATO, dan Amerika Serikat beserta para sekutunya.
Kini, Rusia sedang menginvasi Ukraina.
Advertisement