Eksekusi Mati Pria Berkebutuhan Khusus Asal Malaysia Atas Kasus Narkoba, Singapura Dikritik

Pengadilan Singapura menolak banding keluarga pria Malaysia terjerat kasus narkoba yang diajukan di saat-saat terakhir.

diperbarui 27 Apr 2022, 17:00 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2022, 17:00 WIB
Ilustrasi Singapura
Ilustrasi Singapura (Dok.Unsplash/ Joshua Ang)

, Singapura - Peradilan sepertinya tak pandang bulu di Singapura. Baru-baru ini negara tersebut dilaporkan telah mengeksekusi mati pria Malaysia yang memiliki kebutuhan khusus dengan tingkat intelektual di bawah rata-rata karena membawa narkoba.

Pengadilan menolak banding yang diajukan keluarga di saat-saat terakhir.

Mengutip ABC Australia, Rabu (27/4/2022), Nagaenthran Dharmalingam yang berusia 34 tahun sudah masuk dalam daftar untuk dieksekusi mati selama lebih dari 10 tahun setelah dia dinyatakan bersalah membawa 43 gram heroin masuk ke Singapura.

Singapura adalah salah satu negara yang menerapkan hukuman berat bagi pelanggaran hukum terkait narkoba, dengan pemberlakuan hukuman mati.

Keluarga Nagenthran dan pegiat sosial mengatakan eksekusi mati sudah dilakukan hari Rabu.

"Untuk ini saya bisa mengatakan Malaysia jauh lebih manusiawi," kata saudara perempuannya Sarmila Dharmalingam," Angka nol untuk Singapura untuk soal ini.

Adik laki-laki Nagaenthran, Navin Kumar (22 tahun} mengatakan jenazah kakaknya akan dibawa kembali ke Malaysia di mana pemakaman akan dilakukan di Kota Ipoh.

Para pendukung Nagaenthran dan pengacaranya mengatakan dia memiliki tingkat kecerdasan 69 sehingga secara intelektual memiliki disabilitas. Menurut hukum HAM internasional melakukan eksekusi terhadap seseorang yang memiliki masalah mental tidak boleh dilakukan.

"Nagaenthran Dharmalingam akan tercatat dalam sejarah sebagai korban dari ketidakadilan hukum," kata Maya Foa, direktur organisasi LSM bernama Reprieve.

"Melakukan hukuman gantung terhadap seseorang yang difabel, seseorang yang secara mental tidak sehat karena dia dipaksa untuk membawa narkoba, hanya sekitar tiga sendok teh diamorphine tidak bisa dibenarkan dan merupakan pelanggaran hukum internasional yang sudah ditandatangani oleh Singapura."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tuai Kontroversi

Nagaenthran Dharmalingam, pria disabilitas yang dihukum mati Singapura akibat kasus narkoba. (AP: Vincent Thian)
Setelah ditunda selama masa COVID-19 Singapura kembali melakukan eksekusi mati. (AP: Vincent Thian)

Nagaenthran dan ibunya sudah mengajukan mosi hari Senin, mengatakan bahwa tindakan eksekusi merupakan hal yang melanggar konstitusi.

Selain itu, dia juga tidak mendapatkan pengadilan yang adil karena hakim ketua yang menangani perkaranya semasa banding adalah Jaksa Agung ketika dia dinyatakan bersalah di tahun 2010.

Pengadilan memutuskan bahwa mosi itu tidak bisa diterima dengan alasan hanya "mengada-ada."

Di akhir persidangan pada Selasa 26 April, Nagaenthran dan keluarganya lewat sela-sela kaca di ruang pengadilan saling berpegangan tangan erat sambil menangis.

Terdengar suara Nagaenthran mengeluarkan kata "Ma" yang terdengar ke seluruh ruang pengadilan.

Sekitar 300 orang melakukan prosesi penyalaan lilin di sebuah taman di Singapura pada Senin 25 April malam sebagai aksi protes rencana hukuman mati ini.

Kasus Nagaenthran menarik perhatian internasional dengan sekelompok pakar PBB dan pengusaha terkenal Inggris Richard Branson bergabung dengan Perdana Menteri Malaysia dan pegiat HAM mendesak Singapura untuk menjadikan hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.

Eksekusi Mati Sempat Ditunda Akibat Pandemi COVID-19

Aksi Bersama Memutus Mata Rantai Covid-19
Ilustrasi COVID-19.

Perwakilan Uni Eropa juga menggunakan kasus ini untuk menyerukan dihentikannya pelaksanaan hukuman mati.

Singapura sudah menunda pelaksanaan hukuman mati selama dua tahun karena adanya pandemi COVID-19, sebelum kemudian memulai lagi eksekusi mati terhadap seorang pedagang narkoba bulan Maret lalu.

Mereka yang dinyatakan bersalah membawa lebih dari 15 gram heroin ke Singapura bisa dijatuhi hukuman  mati, meski hakim bisa juga menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.

Usaha untuk mengurangi hukuman Nagaenthran, termasuk meminta pengampunan dari Presiden Singapura, tidak berhasil.

Indonesia Contoh Singapura

Ilustrasi vonis hakim (pexels)
Ilustrasi vonis hakim (pexels)

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Besar Polisi Sumirat Dwiyanto mengakui mencontoh negara Singapura dalam menjalankan eksekusi mati terpidana untuk menekan angka peredaran narkoba.

"Singapura merupakan negara teraman di dunia yang masih melakukan eksekusi mati, dan salah satu negara yang berpenghasilan terbesar di dunia untuk pendapatan perkapitanya," kata Sumirat di Gedung BNN, Jakarta, Rabu (21/1/2015).

Sumirat mengatakan, Singapura merupakan negara yang tegas dalam melakukan pemberantasan narkoba dengan hukuman eksekusi mati bagi para terpidananya. Ia berpendapat, hukuman eksekusi mati di Singapura efektif dalam menekan peredaran narkoba di negara tersebut.

"Siapa pun yang memasukkan narkoba ke sana termasuk kemarin ada warga Australia yang memasukkan narkoba ke sana pun dieksekusi mati oleh Singapura, akhirnya apa, peredaran narkotika di Singapura itu jarang sekali," ujar dia.

Oleh karena itu, lanjut Sumirat, antara pemberantasan narkoba dan hukuman eksekusi mati saling berkaitan satu sama lain, khususnya dalam menekan angka peredaran narkoba. Sumirat pun mengakui Singapura bisa dijadikan contoh dalam menekan angka peredaran narkoba.

"Sampai saat ini Indonesia masih menerapkan undang-undang itu, kita pun berdasarkan hasil kajian di DPR dan juga pemerintah yang mengesahkan undang-undang, pasti akan menimbulkan efek jera, contoh yang sudah ada Singapura," ujar dia.

Sumirat juga mengingatkan agar negara-negara lain menghormati konstitusi yang ada di Indonesia sebagaimana Indonesia menghormati hukum di tiap negara.

Ia juga mengungkapkan Indonesia tidak akan terpengaruh dengan tekanan apa pun dari negara-negara asal terpidana mati yang dieksekusi tersebut. "Karena semua negara di dunia memiliki kedaulatan masing-masing dalam menerapkan konstitusi dan hukumnya," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya