Liputan6.com, Davos - Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tampil dalam video di acara tahunan World Economic Forum (WEF) di Davod-Klosters. Zelensky berbagi cerita tentang angka kematian akibat invasi yang dilakukan Rusia, serta meminta adanya sanksi maksimum ke negara tersebut.
Ketika berbicara di WEF, Presiden Zelesky mengungkap berapa orang yang tewas hari itu.
Advertisement
Baca Juga
"Kami kehilangan 87 orang dan masa depan Ukraina akan tanpa 87 orang tersebut," ujar Presiden Zelensky seperti dilansir situs WEF, Selasa (24/5/2022).
Presiden Zelensky berkata dunia harus bertindak untuk memutuskan apakah membiarkan kekuatan brutal mengatur dunia.
"Ini adalah momen ketika diputuskan apakah kekuatan brutal akan mengatur dunia," ujar Presiden Volodymyr Zelensky. "Kekuatan brutal tidak berdikusi, ia membunuh, seperti yang Rusia lakukan di Ukraina saat kita bicara hari ini."
"Ketimbang ada kota-kota damai yang sukses, hanya ada reruntuhan-reruntuhan hitam. Ketimbang ada perdagangan normal, ada lautan yang penuh ranjau dan pelabuhan yang diblokir. Ketimbang ada pariwisata, ada langit-langit yang tertutup dan ribuan bom Rusia dan cruise missile," ucap Presiden Zelensky.
Embargo Minyak
Salah satu tuntutan Presiden Zelensky adalah adanya sanksi-sanksi maksimum terhadap Rusia, termasuk embargo minyak dan agar perusahaan-perusahaan asing angkat kaki. Ia menyebut perdagangan dengan agresor harus dihentikan.
Zelensky berkata perusahaan-perusahaan asing mesti meninggalkan Rusia agar para brand tidak diasosiasikan dengan kejahatan perang.
"Inilah bagaimana harusnya sanksi. Mereka seharusnya maksimum, sehingga Rusia dan agresor potensial lain yang ingin melakukan perang brutal melawan tetangganya dapat tahu dengan jelas konsekuensi langsung dari tindakan-tindakan mereka," ujar Presiden Zelensky.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Menlu Retno Tegaskan Posisi Indonesia Soal Rusia-Ukraina di Depan Menlu Serbia
Beralih ke dalam negeri, Menlu Retno Marsudi kembali menegaskan posisi Indonesia terkait invasi Rusia terhadap Ukraina.
Kali ini di depan Menlu Serbia Nikola Selakovic, Menlu Retno mengatakan bahwa Indonesia menjunjung tinggi integritas dan mengharapkan adanya solusi perdamaian.
"Pada isu-isu internasional, kami membahas situasi di Ukraina. Saya menegaskan kembali posisi Indonesia tentang pentingnya menjunjung tinggi prinsip menghormati integritas dan kedaulatan wilayah."
"Saya juga menggarisbawahi seruan Indonesia agar semua pihak segera menghentikan perang dan mencari solusi damai di meja perundingan," ujar Menlu Retno dalam Press Briefing Pertemuan Bilateral Menlu RI-Menlu Serbia yang digelar virtual pada Senin (23/5).
Lebih lanjut lagi, Menlu Retno juga menekankan perlunya mengembangkan iklim kepercayaan strategis di mana setiap negara memikul tanggung jawab untuk berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk penyelesaian konflik secara damai.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa Indonesia berada dalam posisi netral pada konflik Rusia-Ukraina.
Tak hanya menganut asas politik bebas aktif, kata Moeldoko, Indonesia juga memiliki tanggung jawab moral sebagai Presidensi G20 untuk tidak memiliki keberpihakan politik kepada negara mana pun.
Hal ini disampaikan Moeldoko saat menerima kunjungan dari Dubes Uni Eropa Vincent Piket di Gedung Bina Graha Kantor Staf Presiden Jakarta, Jumat (22/4/2022).
"Indonesia dihadapkan pada situasi yang sulit untuk mendukung Ukraina dan memberikan sanksi kepada Rusia. Karena sebagai Presidensi G20, Indonesia harus merangkul semua negara anggota secara adil. Indonesia tidak memihak siapa pun dalam konflik ini," kata Moeldoko dikutip dari siaran pers.
Advertisement
PBB: Lebih dari 100 Juta Orang Terpaksa Mengungsi Akibat Perang Rusia-Ukraina
 Perang Rusia di Ukraina telah mendorong jumlah pengungsi paksa di seluruh dunia di atas 100 juta untuk pertama kalinya, kata PBB, Senin (23 Mei).
"Jumlah orang yang terpaksa melarikan diri dari konflik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penganiayaan kini telah melampaui angka 100 juta untuk pertama kalinya dalam catatan, didorong oleh perang di Ukraina dan konflik mematikan lainnya," kata UNHCR, Badan Pengungsi PBB.Â
Angka yang "mengkhawatirkan" itu harus mengguncang dunia untuk mengakhiri konflik yang memaksa sejumlah besar orang meninggalkan rumah mereka sendiri, kata UNHCR dalam sebuah pernyataan. Demikian seperti dilansir dari laman Channel News Asia, Senin (23/5).Â
UNHCR mengatakan jumlah orang yang dipindahkan secara paksa meningkat menjadi 90 juta pada akhir tahun 2021, didorong oleh kekerasan di Ethiopia, Burkina Faso, Myanmar, Nigeria, Afghanistan, dan Republik Demokratik Kongo.
Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari dan sejak itu, lebih dari delapan juta orang telah mengungsi di dalam negeri, sementara lebih dari enam juta pengungsi telah melarikan diri melintasi perbatasan.
"Seratus juta adalah angka yang mencolok - serius dan mengkhawatirkan dalam ukuran yang sama. Ini rekor yang seharusnya tidak pernah dibuat," kata kepala UNHCR Filippo Grandi.
"Ini harus menjadi peringatan untuk menyelesaikan dan mencegah konflik yang merusak, mengakhiri penganiayaan, dan mengatasi penyebab mendasar yang memaksa orang yang tidak bersalah meninggalkan rumah mereka."
Krisis Kemanusiaan
Angka 100 juta berjumlah lebih dari satu persen dari populasi global, sementara hanya 13 negara yang memiliki populasi lebih besar daripada jumlah orang yang dipindahkan secara paksa di dunia.
Angka tersebut menggabungkan pengungsi, pencari suaka, serta lebih dari 50 juta orang yang mengungsi di dalam negara mereka sendiri.
"Tanggapan internasional terhadap orang-orang yang melarikan diri dari perang di Ukraina sangat positif," kata Grandi.
"Belas kasih itu hidup dan kami membutuhkan mobilisasi serupa untuk semua krisis di seluruh dunia. Tetapi pada akhirnya, bantuan kemanusiaan adalah paliatif, bukan obat.
"Untuk membalikkan tren ini, satu-satunya jawaban adalah perdamaian dan stabilitas sehingga orang yang tidak bersalah tidak dipaksa untuk bertaruh antara bahaya akut di rumah atau pelarian berbahaya dan pengasingan."
UNHCR akan menguraikan data lengkap tentang pemindahan paksa pada tahun 2021 dalam Laporan Tren Global tahunannya, yang akan dirilis pada 16 Juni.
Advertisement