Liputan6.com, Jakarta - Kedutaan Besar Ukraina di Indonesia menyorot 37 tahun peringatan tragedi di pembangkit energi tenaga nuklir Chernobyl (Chornobyl). Saat itu hampir 200 ton bahan bakar nuklir meledak di Chernobyl pada 1986.
Selain berdampak ke daerah Uni Soviet, negara-negara lain seperti Swedia, Finlandia, Austria, Norwegia, Swiss, dan Yunani juga ikut terdampak.
Baca Juga
"8,5 juta orang terekspos radiasi radioaktif. Konsekuensi-konsekuensi dari bencana ini akan terus menghantui umat manusia selama ratusan tahun dan kita harus melakukan segalanya untuk mencegah hal itu terjadi lagi," ujar pihak Kedubes Ukraina dalam keterangannya mengutip pemerintahnya yang dimuat Kamis (27/4/2023).
Advertisement
Area Chernobyl juga terdampak oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Pihak Kedubes Ukraina mencatat bahwa pada 24 Februari 2022, pasukan Rusia menduduki zona Chernobyl. Sekitar 150 pekerja disandera selama 36 hari. Pasukan Rusia juga disebut mematikan sistem kontrol radiasi otomatis selama lebih dari sebulan, sehingga lembaga-lembaga monitoring internasional tidak punya informasi terkait level radiasi di pembangkit tenaga nuklir Chernobyl.
Di tengah perang ini, Ukraina merasa khawatir jika fasilitas-fasilitas bahan bakar nuklir mereka bisa ikut jadi sasaran Rusia, sehingga bisa menimbulkan bencana level internasional.
"Masih ada sekitar 4.000 ton bahan bakar nuklir di wilayah berbagai fasilitas infrastruktur energi di Ukraina. Fasilitas-fasilitas ini adalah target potensial dari serangan teroris reguler oleh Federasi Rusia. Hasil dari serangan tersebut bisa menjadi bencana di skala planet, berdampak ke setiap negara dan benua," ujar pihak Ukraina.
Tindakan Federasi Rusia harus ditafsirkan secara tegas sebagai terorisme nuklir.
Ukraina lantas mengingatkan komunitas internasional bahwa Rusia seharusnya tidak boleh duduk di Dewan Keamanan PBB, terutama karena sudah ada negara yang menyebut Rusia sebagai negara sponsor terorisme selama invasi berlangsung.
"Kami menyerukan kepada parlemen semua negara untuk bergabung dengan mereka yang telah mengakui Rusia sebagai negara sponsor terorisme dan mempertimbangkan tindakan yang relevan,"
"Penting untuk disadari bahwa di dunia beradab, sebuah negara teroris tidak bisa duduk di Dewan Keamanan PBB. Maka, ini sangat penting untuk mendukung pengeluaran Federasi Rusia dari Dewan Keamanan PBB," tegas pihak Ukraina.
Xi Jinping Teleponan dengan Volodymyr Zelensky
Sementara itu, Presiden China Xi Jinping melakukan percakapan via telepon untuk pertama kalinya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Rabu (26/4/2023), pasca invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Dalam kesempatan itu, Xi Jinping mengatakan, China akan mengirim utusan perdamaian ke Ukraina dan sejumlah negara lain.
"China akan mengirimkan perwakilan khusus pemerintah untuk urusan Eurasia ke Ukraina dan sejumlah negara lain dalam rangka melakukan komunikasi mendalam dengan semua pihak mengenai penyelesaian politik krisis Ukraina," sebut pernyataan pemerintah China yang dilansir AP, Kamis (27/4).Â
Pernyataan pemerintah China sama sekali tidak menyinggung Rusia atau invasi Rusia ke Ukraina.
China telah mencoba tampil netral dalam perang Ukraina, namun sebelum invasi, Beijing dan Moskow telah mendeklarasikan persahabatan tanpa batas.
Pada Februari 2023, China merilis proposal perdamaian atas perang Ukraina, menyerukan gencatan senjata dan dialog.
"Negosiasi adalah satu-satunya jalan keluar yang layak," sebut media China terkait pembicaraan Xi Jinping dengan Zelensky. "Tidak ada pemenang dalam perang nuklir. Semua pihak yang berkepentingan harus tetap tenang dan menahan diri dalam menangani masalah nuklir dan benar-benar melihat masa depan, baik nasib mereka sendiri, maupun umat manusia secara keseluruhan serta bekerja sama untuk mengelola krisis."
Advertisement
Diskusi dengan China
Pada sisi Ukraina, Zelensky menggarisbawahi bahwa pembicaraannya selama satu jam dengan Presiden Xi Jinping panjang dan bermakna.
"Saya meyakini bahwa telepon ini, serta penunjukan duta besar Ukraina untuk China akan memberikan dorongan yang kuat dalam pengembangan hubungan bilateral kami," tulis Zelensky di Facebook.
Zelensky juga menggambarkan percakapannya dengan Xi Jinping produktif dan mengarah ke kemungkinan interaksi dengan tujuan membangun perdamaian yang adil dan berkelanjutan bagi Ukraina.
Bagaimanapun, Zelensky menekankan perlunya merebut kembali semua tanah Ukraina. Dia menegaskan, "Tidak akan ada perdamaian dengan mengorbankan kompromi teritorial."
Kementerian Luar Negeri China mengungkapkan bahwa sikap inti Beijing adalah memfasilitas pembicaraan damai.
"Saling menghormati kedaulatan dan integritas teritorial adalah landasan politik hubungan China-Ukraina," sebut pernyataan Kementerian Luar Negeri China. "Kesiapan China untuk mengembangkan hubungan dengan Ukraina konsisten dan jelas. Tidak peduli bagaimana situasi internasional berkembang, China akan bekerja dengan Ukraina untuk memajukan kerja sama yang saling menguntungkan."
Respons Rusia dan Amerika Serikat
Di Moskow, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova memuji kesiapan China untuk berusaha membangun proses negosiasi.
Sementara itu, Gedung Putih menggambarkan pembicaraan Xi Jinping dan Zelensky sebagai perkembangan positif yang memungkinkan China mendengar pandangan Ukraina tentang invasi ilegal dan tidak beralasan.
"Kami pikir itu hal yang baik," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby.
Meski demikian, analis skeptis tentang prospek perdamaian.
"Pembicaraan telepon itu menyeimbangkan dialog China dengan Rusia dengan menunjukkan bahwa kepemimpinan Ukraina diakui dan bahwa Ukraina adalah entitas yang penting," kata profesor ilmu politik Kimberly Marten dari Barnard College di Universitas Columbia di New York.
Tapi, dia menambahkan, "Ini (China) pro-Rusia. Saya tidak meyakini bahwa ini sangat penting untuk mengakhiri perang."
Kimberly mencatat bahwa China sejauh ini tidak meminta Rusia untuk meninggalkan daerah yang diduduki atau mencap Rusia sebagai agresor dan menyebut situasi di Ukraina sebagai krisis, bukan perang.
Elizabeth Wishnick, dari think tank CNA yang berbasis di Amerika Serikat dan Weatherhead East Asian Institute dari Universitas Columbia melontarkan pernyataan senada.
"China sama sekali tidak menyebutkan soal penarikan pasukan Rusia, di mana hal itu menurut saya, membuat inisiatif ini kurang serius dan tidak mungkin berkontribusi besar untuk mengakhiri perang, yang kemungkinan besar akan diputuskan di medan perang," tutur Wishnick.
Advertisement