Liputan6.com, Washington - Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen ditangguhkan dari Facebook. Kebijakan tersebut diambil setelah Dewan Pengawas Meta, perusahaan induk Facebook, memutuskan penangguhan akun Hun Sen selama enam bulan.
Pemicunya, PM Hun Sen mengancam melakukan kekerasan terhadap lawan politiknya lewat sebuah video yang telah ditonton 600.000 kali. Seruannya itu muncul beberapa saat sebelum dia meluncurkan kampanye untuk pemilu mendatang, yang dapat memperpanjang 38 tahun masa pemerintahannya.
Baca Juga
Hun Sen adalah pengguna aktif Facebook dan halamannya memiliki 14 juta pengikut. Para kritikus mengklaim bahwa sebagian besar pengikut Hun Sen di media sosial adalah bot atau akun palsu.
Advertisement
Dari Facebook, PM Hun Sen kini telah beralih ke Telegram dan TikTok.
Keputusan Dewan Pengawas Meta itu muncul pada Kamis (29/6/2023), membatalkan keputusan sebelumnya oleh Facebook yang tetap menayangkannya dengan mengutip kelayakan berita.
"Mengingat... sejarah Hun Sen melakukan melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan mengintimidasi lawan politik serta penggunaan strategi media sosial untuk memperkuat ancaman tersebut, Dewan meminta Meta untuk segera menangguhkan halaman Facebook dan akun Instagram Hun Sen selama enam bulan," demikian pernyataan Dewan Pengawas Meta seperti dilansir BBC, Jumat (30/6).
Dalam videonya yang menjadi persoalan, Hun Sen mengancam pemimpin oposisi agar tidak menuduh partainya mencuri suara dalam pemilu yang akan digelar pada Juni 2023.
"Entah Anda menghadapi tindakan hukum di pengadilan atau saya mengumpulkan orang (Partai Rakyat Kamboja (CPP)) untuk demo dan memukuli Anda," ujar Hun Sen.
Segera setelah keputusan Dewan Pengawas Meta diumumkan, Hun Sen mengatakan bahwa dia telah meminta seorang asisten untuk menghapus akun Facebook-nya.
Selama berkuasa, rezim Hun Sen kerap dirundung tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Dia juga disebut telah menyingkirkan seluruh oposisi jelang pemungutan suara.
Pada Mei, badan pemilu Kamboja mendiskualifikasi Partai Cahaya Lilin, dengan alasan kurangnya dokumen yang sesuai. Sebelumnya pada Maret, pemimpin oposisi Kem Sokha dijatuhi hukuman 27 tahun tahanan rumah atas tuduhan makar, sesuatu yang dengan tegas dibantahnya.
Mencerminkan Dukungan terhadap China dan Rusia?
Penulis buku "Hun Sen's Cambodia" Sebastian Strangio mengungkapkan kepada kantor berita AFP bahwa keputusan Hun Sen untuk pindah ke TikTok dan Telegram mencerminkan poros kebijakan luar negeri Kamboja yang lebih luas kepada China dan Rusia.
Induk TikTok, ByteDance, berbasis di Beijing. Sementara itu, Telegram didirikan di Rusia, di mana aplikasi tersebut digunakan secara luas, bahkan oleh Kremlin.
"Berdasarkan rekam jejak mereka, sangat kecil kemungkinan bahwa kedua platform ini akan membatasi Hun Sen... termasuk (memanfaatkannya) sebagai kendaraan untuk menyerang, menghalau, dan mengancam lawan-lawannya," ujar Strangio.
Human Rights Watch (HRW) menggambarkan kepergian Hun Sen dari platform media sosial terbesar di dunia sebagai konfrontasi antara Big Tech versus diktator atas isu hak asasi manusia.
"Taruhannya tinggi karena banyak kerusakan dunia nyata yang disebabkan ketika seorang otoriter menggunakan media sosial untuk menghasut kekerasan – seperti yang sudah terlalu sering kita lihat di Kamboja," kata Wakil Direktur HRW Asia Phil Robertson.
Advertisement