Liputan6.com, Washington - Pidato yang disampaikan oleh Pangeran Turki Al-Faisal pekan ini mengenai perang Hamas Vs Israel dinilai sangatlah jujur bagi seorang anggota senior keluarga Kerajaan Arab Saudi.
Hal tersebut telah diakui secara luas sebagai indikator paling jelas dari pemikiran kepemimpinan Arab Saudi mengenai situasi ini.
Pangeran Turki, seorang negarawan yang sangat dihormati di lingkungan Arab Saudi, secara terbuka mengecam Hamas dan Israel karena menyerang warga sipil. Tidak ada pahlawan, katanya, yang ada hanya korban.
Advertisement
Begitu besarnya kemarahan Arab terhadap serangan udara Israel sehingga Pangeran Turki, yang berpidato di depan audiens Amerika Serikat (AS) di Rice University di Houston, menggambarkan suara langka yang menyuarakan kritik terhadap Hamas dalam kondisi saat ini.
Tindakan kelompok tersebut, katanya, bertentangan dengan perintah Islam untuk tidak merugikan warga sipil. Mayoritas dari mereka yang dibunuh atau diculik oleh Hamas adalah warga sipil. Demikian seperti dilansir BBC, Minggu (22/10/2023).
Pangeran Turki, seorang mantan diplomat dan kepala badan mata-mata yang berhati-hati dan bijaksana, menyeimbangkan kecamannya terhadap Hamas dengan kecaman Israel, yang dia sebut melakukan pengeboman tanpa pandang bulu terhadap warga sipil Palestina yang tidak bersalah di Gaza dan penangkapan tanpa pandang bulu terhadap anak-anak, perempuan, dan laki-laki Palestina di Tepi Barat.
Dia mempermasalahkan penggunaan frasa "serangan tak beralasan" yang digunakan media AS dalam merujuk serangan Hamas pada Sabtu 7 Oktober, dengan mengatakan, "Provokasi apa lagi yang diperlukan ... dibanding apa yang telah dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina selama tiga perempat abad?"
Pangeran Turki menambahkan, "Semua orang ... mempunyai hak untuk menolak pendudukan".
Dalam pernyataannya, Pangeran Turki juga mengecam para politikus Barat karena meneteskan air mata ketika warga Israel dibunuh oleh warga Palestina, namun menolak untuk bahkan mengungkapkan kesedihan ketika Israel membunuh warga Palestina.
Presiden Joe Biden sendiri "terlambat" untuk berbelasungkawa atas kematian rakyat Palestina. Dia baru menyatakan bahwa AS berduka atas seluruh korban tidak bersalah selama kunjungannya ke Israel pada Rabu (18/10).
Berlatar Belakang Pendidikan Barat
Lalu apa yang melatarbelakangi pidato Pangeran Turki, yang pasti sudah dipahami olehnya akan diberitakan secara luas?
Kecil kemungkinannya dia akan berbicara tanpa terlebih dahulu menyelisik sikap Kerajaan Arab Saudi, yang dijalankan oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS).
Pangeran Turki memiliki silsilah yang cukup baik. Ayahnya adalah Raja Faisal yang populer dan modern, yang dibunuh pada tahun 1975. Saudaranya adalah menteri luar negeri Arab Saudi yang sudah lama menjabat hingga kematiannya pada tahun 2015.
Pendidikan Pangeran Turki di AS dan Inggris, yakni di Princeton, Cambridge, dan Georgetown telah memberinya perspektif yang sangat berharga mengenai budaya dan pemikiran Barat, serta memberinya kontak seumur hidup di antara para pengambil keputusan di Washington dan Whitehall.
Dia kemudian menjadi kepala mata-mata Arab Saudi, menjalankan departemen intelijen luar negeri selama 24 tahun, dengan tanggung jawab khusus untuk Afghanistan.
Setelah serangan 9/11 pada tahun 2001, dia menjadi duta besar Arab Saudi di London dan kemudian Washington.
Di London, juru bicara medianya di kedutaan adalah jurnalis Jamal Khashoggi, yang dibunuh di dalam konsulat Arab Saudi di Istanbul oleh agen pemerintah Arab Saudi pada tahun 2018.
Kini berusia 78 tahun, tanpa jabatan formal di pemerintahan Arab Saudi, Pangeran Turki memberikan wawasan menarik tentang pemikiran Arab Saudi dalam beberapa kesempatan ketika dia berbicara secara terbuka di forum internasional.
Advertisement
Timur Tengah Baru
Penguasa Arab Saudi dilaporkan tidak menyukai Hamas. Demikian pula dengan banyak pemerintah di kawasan.
Para penguasa Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain melihat Hamas dan gerakan revolusionernya yang disebut "politik Islam" sebagai ancaman terhadap pemerintahan sekuler mereka.
Otoritas Palestina, yang berbasis pada partai Fatah pimpinan Yasser Arafat, secara efektif diusir dari Gaza oleh Hamas pada tahun 2007.
Meskipun Hamas mempunyai kantor politik di Qatar, pendukung utamanya adalah Iran, yang telah lama menjadi saingan bersejarah Arab Saudi.
Walaupun Arab Saudi dan Iran secara resmi sepakat mengakhiri perselisihan mereka pada Maret tahun ini, dinilai masih ada rasa saling tidak percaya di antara mereka. Kedua negara sendiri bersama-sama mengutuk pengeboman Israel di Gaza dan menegaskan kembali dukungan mereka terhadap Negara Palestina.
Dua pekan lalu, sebelum serangan Hamas, Arab Saudi sudah berada dalam jalur untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, seperti yang telah dilakukan UEA, Bahrain, dan Maroko. Namun, upaya itu saat ini dilaporkan ditunda.
Beberapa analis percaya bahwa serangan mematikan Hamas ke Israel sebagian dipicu oleh keinginan untuk menggagalkan normalisasi hubungan dengan Israel yang akan membuat Hamas dan Iran tersingkir di Timur Tengah yang baru.
Akankah keadaan di kawasan ini kembali ke status quo?
Saat ini, disebut sulit melihat hal itu terjadi karena Israel yang sedang terluka tidak berminat berkompromi dan pemerintah Arab menyaksikan meningkatnya protes anti-Israel di jalanan.
Yang jelas, pidato Pangeran Turki kelak akan bermanfaat untuk mengetahui pandangan Arab Saudi mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya.