Liputan6.com, Ramallah - Kondisi di Gaza semakin hari, semakin memprihatinkan. Saat ini, banyak perempuan di wilayah tersebut terpaksa minum pil penunda menstruasi, menyadari sulitnya akses terhadap berbagai kebutuhan pokok termasuk air bersih akibat serangan Israel yang masih berlanjut.Â
Keadaan pengungsian di Gaza yang penuh sesak dan minim air bersih serta kebutuhan pribadi untuk wanita seperti pembalut dan tampon, mendorong mereka mengonsumsi tablet norethisterone. Pil ini biasanya diresepkan untuk kondisi pendarahan menstruasi hebat, endometriosis dan nyeri haid berlebihan.Â
Baca Juga
Menurut Dr Walid Abu Hatab, seorang konsultan medis kebidanan dan ginekologi di Nasser Medical Complex di selatan kota Khan Younis, tablet tersebut menjaga kadar hormon progesteron tetap tinggi untuk menghentikan rahim melepaskan lapisannya, sehingga menunda menstruasi.
Advertisement
Dilansir Al Jazeera, Rabu (1/11/2023), pil penunda menstruasi mungkin memiliki efek samping seperti pendarahan vagina yang tidak teratur, mual, perubahan siklus menstruasi, pusing dan perubahan suasana hati, menurut para profesional medis.Â
Namun, para wanita di Gaza tidak memiliki pilihan lain selain mengonsumsinya di tengah gencarnya pemboman Israel yang mereka hadapi setiap hari.Â
Salma Khaled, salah satunya. Wanita Palestina itu telah meninggalkan rumahnya di Tel al-Hawa dua minggu lalu dan kini tinggal di sebuah kamp pengungsi Deir el-Balah, Gaza Tengah. Ia mengatakan bahwa dia terus-menerus berada dalam ketakutan, ketidaknyamanan dan depresi, yang berdampak buruk pada siklus menstruasinya.
"Saya mengalami hari-hari tersulit dalam hidup saya selama perang ini," kata Salma.Â
"Saya mendapat menstruasi dua kali dalam bulan ini – yang sangat tidak teratur bagi saya – dan mengalami pendarahan hebat."
Â
Tak Ada Pembalut, Air Bersih Terbatas
Salma mengaku bahwa tidak ada pembalut di sejumlah toko dan apotek yang masih buka. Sejak serangan Hamas terhadap Israel pecah pada 7 Oktober lalu, hampir tidak mungkin bagi apotek untuk memasok kebutuhan medis ke gudang mereka.Â
Terlepas dari itu, akses terhadap air bersih di kawasan konflik tersebut hampir tidak mungkin. Penggunaan kamar mandi harus dijatah dan dibatasi hanya beberapa hari sekali.Â
Tanpa sarana untuk mengatur menstruasinya seperti biasanya, Salma memutuskan untuk mencoba mencari pil agar tidak menstruasi.
Ketika pembalut lebih sulit ditemukan, tablet penunda menstruasi lebih banyak tersedia di sejumlah apotek karena jarang digunakan.Â
"Saya meminta putri saya pergi ke apotek dan membeli pil penunda menstruasi," kata Salma.Â
"Mungkin perang ini akan segera berakhir dan saya tidak perlu menggunakannya lebih dari sekali," tambahnya, yang juga khawatir dengan efek samping pil tersebut pada tubuhnya.
Advertisement
Efek Samping Pil Penunda Menstruasi
Menurut Nevin Adnan, seorang psikolog dan pekerja sosial yang berbasis di Kota Gaza, perempuan biasanya mengalami gejala psikologis dan fisik pada hari-hari sebelum dan selama menstruasi, seperti perubahan suasana hati dan nyeri perut bagian bawah dan punggung.
Gejala-gejala ini dapat memburuk pada saat stres seperti perang yang sedang berlangsung, menurut Adnan.Â
"Mengungsi bisa menyebabkan stres yang ekstrem dan itu mempengaruhi tubuh wanita serta hormonnya," jelasnya.
"Bisa juga terjadi peningkatan gejala fisik yang berhubungan dengan menstruasi, seperti sakit perut dan punggung, sembelit dan kembung," ujarnya.
Wanita mungkin mengalami insomnia, rasa gugup terus-menerus, dan ketegangan ekstrem, tambah Adnan.
Saat ini, dia mengatakan lebih banyak perempuan yang bersedia meminum pil penunda menstruasi karena kurangnya kebersihan, privasi, dan produk kesehatan yang tersedia.
Meski dia memahami kesulitan yang ada saat ini, Adnan mengatakan bahwa dalam keadaan normal, berkonsultasi dengan dokter sebelum meminum tablet ini penting untuk mengetahui efek samping pil terhadap kesehatan.Â
"Hal ini dapat mempengaruhi perubahan hormonal alami seorang wanita, tanggal menstruasinya di bulan berikutnya, jumlah darah yang keluar, dan apakah menstruasinya berhenti," katanya.
Perempuan Palestina Terpaksa Melahirkan Secara Caesar Tanpa Anestesia
Penderitaan bagi perempuan di Palestina saat ini tak hanya sampai di situ. Dengan kondisi saat ini, sejumlah ibu di sana terpaksa melahirkan secara caesar tanpa anestesia.Â
Peringatan itu disampaikan oleh badan amal internasional ActionAid di tengah pengeboman hebat Israel di Jalur Gaza.
"Setiap hari kami mendengar dokter-dokter melahirkan bayi dari perempuan yang sekarat. Ini adalah bencana besar," ungkap ActionAid, seperti dilansir The Guardian, Rabu (1/11/2023).
Situasi rumah sakit-rumah sakit di utara Gaza, sebut ActionAid, sangat genting. Rumah Sakit Al-Quds dan Rumah Sakit Al-Shifa disebut sudah tidak menerima pasokan bantuan sama sekali.
"Kekacauan dan kengerian yang terjadi di Gaza berdampak buruk pada perempuan," kata spesialis gender dan advokasi ActionAid yang berbasis di Ramallah Soraida Hussein-Sabbah.
ActionAid juga mengungkapkan bahwa pihaknya sangat prihatin terhadap kurangnya air bersih dan kondisi kebersihan yang berkontribusi terhadap meningkatnya penyakit, serta kemunduran serius dalam kondisi kehidupan di seluruh wilayah Palestina.
"Sedikit bantuan yang 'menetes' ke Gaza nyaris tidak menyentuh sisi krisis kemanusiaan yang sedang terjadi," kata kelompok itu.
Selengkapnya di sini...
Advertisement