WHO Sebut Rumah Sakit Terbesar di Gaza Al-Shifa Seperti Zona Kematian

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut rumah sakit terbesar di Gaza Al-Shifa seperti zona kematian.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 19 Nov 2023, 14:03 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2023, 14:03 WIB
Anak-Anak Palestina
Warga Palestina yang terluka tiba di Rumah Sakit al-Shifa menyusul serangan udara Israel di Kota Gaza, Jalur Gaza, Senin (16/10/2023). (AP Photo/Abed Khaled)

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut rumah sakit terbesar di Gaza Al-Shifa seperti zona kematian.

WHO juga menyebut bahwa pihaknya akan mengevakuasi fasilitas di RS lantaran pasukan Israel terus menyerang Jalur Gaza yang terkepung.

Penilaian tersebut muncul setelah kunjungan WHO dan pejabat PBB lainnya ke rumah sakit Al-Shifa, yang digerebek pasukan Israel awal pekan ini.

Rumah sakit terbesar di Gaza, Al-Shifa telah menjadi fokus utama dalam beberapa hari terakhir.

Pasukan Israel menuduh Hamas menggunakannya sebagai pusat komando -- sebuah klaim yang dibantah oleh kelompok tersebut dan staf medis.

Pada Minggu (19/11), WHO mengatakan bahwa tim penilai PBB yang mencapai rumah sakit melihat area itu sama seperti “zona kematian”.

Dimana terdapat 'kuburan massal' di pintu masuk dan hampir 300 pasien tertinggal di dalamnya dengan 25 petugas kesehatan, dikutip dari laman Newarab.com, Minggu (19/11/2023).

“WHO dan mitranya segera mengembangkan rencana untuk segera mengevakuasi pasien yang tersisa, staf dan keluarga mereka,” kata badan tersebut.

Mereka mendesak gencatan senjata segera mengingat “penderitaan ekstrim rakyat Gaza.”

Pada Sabtu (18/11) ratusan orang meninggalkan rumah sakit dengan berjalan kaki atas perintah pasukan Israel, menurut direktur fasilitas tersebut.

Pasukan Israel mengklaim bahwa mereka telah "menyetujui permintaan WHO" untuk mengizinkan lebih banyak warga sipil untuk pergi.

WHO mengatakan, 29 pasien di rumah sakit dengan cedera tulang belakang serius tidak dapat bergerak tanpa bantuan medis, dan yang lainnya mengalami luka infeksi karena kekurangan antibiotik.

PBB mengatakan sekitar 1,6 juta orang telah mengungsi di Jalur Gaza akibat pertempuran selama enam minggu, dan Israel mengatakan bahwa militernya kini "memperluas kegiatan operasionalnya di lingkungan tambahan di wilayah Jalur Gaza."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Netanyahu Akui Gagal Meminimalkan Kematian Warga Sipil Palestina di Gaza Akibat Serangan Israel

Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Israel berupaya semaksimal mungkin menyelamatkan warga sipil dari bahaya saat memerangi Hamas di Gaza, termasuk menjatuhkan selebaran yang memperingatkan mereka untuk melarikan diri, namun upaya meminimalkan korban jiwa tidak berhasil. Hal tersebut diakui langsung oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Kamis (16/11/2023), dalam wawancaranya dengan CBS News.

"Setiap kematian warga sipil adalah sebuah tragedi. Dan kami seharusnya tidak melakukan hal tersebut karena kami melakukan semua yang kami bisa untuk menyelamatkan warga sipil dari bahaya, sementara Hamas melakukan segalanya untuk membuat mereka berada dalam bahaya," kata Netanyahu saat ditanya apakah menurutnya pembunuhan belasan ribu warga Palestina oleh Israel sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober akan memicu kebencian pada generasi baru, seperti dilansir The Straits Times, Jumat (17/11).

"Jadi, kami mengirimkan selebaran, (kami) menghubungi mereka melalui telepon seluler, dan kami mengatakan, 'pergilah'. Dan banyak yang pergi."

Israel mengklaim tujuan kampanye militernya adalah menghancurkan Hamas.

"Hal lain yang bisa saya katakan adalah kami berusaha menyelesaikan pekerjaan ini dengan meminimalkan korban sipil. Itulah yang kami coba lakukan, meminimalkan korban sipil. Namun, sayangnya, kami tidak berhasil," ujar Netanyahu yang punya panggilan Bibi.

Warga sipil Palestina di Jalur Gaza menanggung beban terberat dari kampanye militer Israel sejak 7 Oktober, di mana pada hari itu serangan Hamas ke Israel selatan menewaskan setidaknya 1.200 orang dan lebih dari 200 orang disandera.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan Palestina yang berkedudukan di Tepi Barat menyatakan bahwa setidaknya 11.470 warga Gaza tewas akibat serangan balasan Israel sejak 7 Oktober. Adapun 4.707 di antaranya adalah anak-anak.

Pada Kamis, Angkatan Udara Israel menyebarkan selebaran di empat wilayah di Khan Younis, Gaza selatan, yang isinya meminta masyarakat mengungsi demi keselamatan mereka sendiri. Empat wilayah yang dimaksud adalah Khuzaa, Abassan, Bani Suhaila, dan Al Qarara.

Israel sebelumnya juga menggunakan selebaran di Gaza utara untuk memaksa warga sipil menyingkir, memicu pengungsian massal yang dikhawatirkan oleh banyak warga Palestina akan menjadi permanen. Fenomena eksodus ini membawa ingatan banyak orang pada peristiwa Nakba.​


Klaim Tanpa Bukti

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Dalam kesempatan yang sama, Netanyahu mengatakan ada indikasi kuat bahwa sandera yang ditahan Hamas berada di Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza, namun mereka sudah tidak ada lagi ketika militer Israel melancarkan operasi darat di sana awal pekan ini.

"Kami mendapat indikasi kuat bahwa mereka ditahan di Rumah Sakit Al-Shifa, yang merupakan salah satu alasan kami masuk ke rumah sakit tersebut," kata Netanyahu.

Netanyahu mengklaim pemerintahannya memiliki informasi intelijen mengenai para sandera, namun menolak memberikan penjelasan lebih spesifik.

"Semakin sedikit saya mengatakannya, semakin baik," tutur dia.

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sebelumnya mengatakan pihaknya melakukan operasi yang tepat dan terarah terhadap Hamas di area tertentu di Rumah Sakit Al-Shifa pada Rabu (15/11) pagi setelah memperingatkan kelompok itu agar tidak menggunakan kompleks medis Al-Shifa sebagai markas.

Israel menuduh Hamas memiliki pusat komando di bawah Rumah Sakit Al-Shifa, namun Hamas telah berulang kali membantah tuduhan itu.

Dari sekitar 240 orang yang disandera Hamas, sejauh ini empat orang telah dibebaskan.

Menurut laporan CBS News, Israel sedang mempertimbangkan proposal di mana Hamas akan membebaskan beberapa perempuan dan anak-anak yang disandera sebagai imbalan atas gencatan senjata yang akan berlangsung antara tiga dan lima hari. Sejumlah perempuan dan anak-anak Palestina yang berada di penjara-penjara Israel juga bisa dibebaskan sebagai bagian dari usulan kesepakatan itu.

Ketika ditanya tentang usulan kesepakatan tersebut dan seberapa dekat Israel dalam menjamin pembebasan sandera, Netanyahu mengatakan, "Kami lebih dekat dibandingkan sebelum kami memulai operasi darat."

Dia mengaku bahwa operasi darat telah memberikan tekanan pada Hamas untuk mencapai gencatan senjata.

"Kami akan melakukan gencatan senjata sementara jika kami bisa mendapatkan kembali sandera," ungkap Netanyahu. "Saya rasa tidak ada gunanya jika saya menguraikannya lebih lanjut."

Dia menolak mengatakan apakah Israel akan setuju untuk melepaskan tahanan Palestina dengan imbalan sandera, melabeli hal itu sebagai "rahasia".


Soal Pendudukan Gaza, Ini Kata Netanyahu

Gaza Palestina
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam pidatonya pada Senin malam bahwa pasukan negaranya “baru saja memulai” tanggapan mereka. (Satellite image ©2023 Maxar Technologies via AP)

Netanyahu menegaskan bahwa Israel tidak berusaha kembali menduduki Gaza.

"Kami menginginkan tanggung jawab militer secara keseluruhan untuk mencegah munculnya kembali teror," kata dia. "Kami tidak bermaksud melakukan pendudukan. Itu bukan tujuan kami. Namun, tujuan kami adalah memastikan apa yang terjadi di sana berbeda. Untuk melakukan hal tersebut, kami harus men-demiliterisasi Gaza dan melakukan deradikalisasi di Gaza."

"Sama seperti Anda harus memiliki masa depan yang berbeda setelah penaklukan Jerman, Anda melakukan de-radikalisasi, de-nazifikasi Jerman," ujarnya. "Ada perubahan budaya. Kita memerlukan perubahan budaya di sini. Kita tidak bisa membiarkan pemerintahan sipil memasuki Gaza tanpa memerangi teroris, berkomitmen untuk mendanai teroris dan bukan memerangi teroris."

Netanyahu menuturkan bahwa membebaskan warga Palestina dari Hamas akan memberi mereka masa depan yang nyata.

Ketika ditanya apakah hal itu juga berarti bergerak maju menuju solusi dua negara, Netanyahu mengatakan bahwa Palestina memerlukan perubahan kepemimpinan.

"Menurut saya biarlah Palestina mempunyai semua kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri, namun bukan kekuasaan yang mengancam Israel," ungkap Netanyahu. "Dan itu berarti tidak hanya memastikan bahwa Gaza telah di-demiliterisasi, namun juga bahwa Gaza telah di-deradikalisasi. Dan jika Anda bertanya kepada saya, kita memerlukan kepemimpinan sipil yang berbeda dari yang telah ditawarkan kepada Palestina saat ini."

Netanyahu mengungkapkan pula bahwa siapapun yang melakukan kekerasan terhadap warga Palestina yang tidak bersalah di Tepi Barat harus bertanggung jawab.

"Kami menahan siapa pun yang main hakim sendiri atau melakukan kekerasan, itu tidak boleh dilakukan," klaimnya. "Kami tidak menerima hal itu."

Infografis Kunjungan Jokowi ke AS, Bawa Misi Perdamaian Hamas-Israel? (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Kunjungan Jokowi ke AS, Bawa Misi Perdamaian Hamas-Israel? (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya