Liputan6.com, Vientiane - Myanmar mengirimkan perwakilan untuk menghadiri pertemuan menteri luar negeri (menlu) negara-negara ASEAN di Laos.
Laporan Channel News Asia (CNA) mengutip diplomat top Indonesia menyebut bahwa Myanmar yang dikuasai junta militer mengirimkan seorang birokrat ke pertemuan para menteri luar negeri Asia Tenggara di Laos pada Senin 29 Januari 2024. Langkah itu dinilai sejalan dengan kebijakan Southeast Asian Nations (ASEAN) atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara mengenai kehadiran negara yang dilanda konflik.
Baca Juga
Adapun para jenderal yang berkuasa di Myanmar tetap dilarang menghadiri pertemuan-pertemuan penting ASEAN, karena kegagalan mereka menerapkan rencana perdamaian yang disepakati dengan blok tersebut dua bulan setelah kudeta tahun 2021 yang menimbulkan kekacauan di negara tersebut.
Advertisement
ASEAN memiliki kebijakan untuk mengundang Myanmar dengan mengirimkan apa yang mereka sebut sebagai perwakilan non-politik, namun junta dalam dua tahun terakhir menolaknya karena marah atas apa yang mereka sebut sebagai campur tangan ASEAN dalam urusan dalam negerinya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, dalam pesan teks kepada Reuters, mengatakan penjabat sekretaris tetap Kementerian Luar Negeri Myanmar, Malar Than Htike, berada di Laos untuk melakukan pembicaraan pada hari Senin (29/1).
Informasi tersebut juga dikonfirmasi oleh dua sumber diplomatik lainnya.
Intinya tidak ada perubahan kebijakan ASEAN, kata Menlu Retno. "Myanmar tidak akan mempengaruhi pengambilan keputusan ASEAN."
Menlu RI Retno Marsudi pada tahun 2023 lalu memimpin upaya di balik layar untuk mencoba memulai dialog antara pihak-pihak yang bertikai di Myanmar, di mana milisi pro-demokrasi yang bersekutu dengan pemerintah bayangan dan tentara etnis minoritas melancarkan pemberontakan melawan junta militer.
Pemerintah militer menolak mengambil bagian dalam dialog dengan apa yang disebutnya "teroris".
Myanmar telah berada dalam krisis sejak kudeta tahun 2021, dengan setidaknya dua juta orang mengungsi akibat pertempuran dan kelompok hak asasi manusia menuduh junta menggunakan kekuatan berlebihan dan melakukan kekejaman yang meluas terhadap warga sipil. Kendati demikian hal itu dibantah oleh junta.
Saat Laos Ambil Alih Kepemimpinan ASEAN, Ketegangan Tetap Tinggi di Laut China Selatan-Terobosan Konflik Myanmar Belum Terlihat
Tahun 2023 lalu Indonesia memimpin keketuaan ASEAN. Pada periode itu, ada harapan besar bahwa Indonesia akan mampu membuat terobosan signifikan dalam kedua isu besar yakni Laut China Selatan dan konflik Myanmar.
Ketegangan yang meningkat di Laut China Selatan antara China dan beberapa negara Asia Tenggara semakin sering memicu konfrontasi langsung. Pertempuran di Myanmar melawan pemerintah militer yang merebut kekuasaan tiga tahun lalu terus memburuk sehingga sebagian besar orang mengatakan negara itu kini berada dalam perang saudara.
Indonesia diharapkan dapat menggunakan pengaruhnya sebagai negara terbesar di blok itu, namun pada kenyataannya hanya sedikit kemajuan yang dicapai.
"Ada begitu banyak harapan ketika Indonesia memulai masa kepresidenannya dan sebagian dari harapan tersebut gagal,” kata Shafiah Muhibat, pakar Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Jakarta seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (27/1/2024).
Kini Laos, negara termiskin dan salah satu negara terkecil di blok itu, telah menjadi ketua bergilir ASEAN.
Ketika para menteri luar negeri berkumpul di Luang Prabang untuk pertemuan tingkat tinggi pertama tahun 2024 ini pada akhir pekan lalu, banyak yang pesimistis bahwa ASEAN dapat mengatasi tantangan-tantangan terbesarnya agar tidak memburuk dan berkembang.
“Jadi dengan pindahnya keketuaan ke Laos, saya kira ekspektasi terhadap apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Laos itu cukup rendah," imbuh Shafiah Muhibat.
Advertisement
Belum Ada Terobosan Indonesia untuk Konflik Myanmar
Setelah militer menguasai Myanmar pada Februari 2021 dari pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis, ASEAN – yang terdiri dari Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Vietnam, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Brunei, dan Laos – muncul dengan rencana “Konsensus Lima Poin” untuk perdamaian.
Pimpinan militer di Myanmar sejauh ini mengabaikan rencana tersebut. Indonesia, kata Shafiah Muhibat, meski mengklaim telah melakukan lebih dari 180 pertemuan dengan para pemangku kepentingan di Myanmar, tidak mampu mencapai terobosan.
Rencana ASEAN itu menyerukan penghentian segera kekerasan, dialog antara semua pihak terkait, mediasi oleh utusan khusus ASEAN, penyediaan bantuan kemanusiaan melalui saluran ASEAN, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.