Ekonomi China Merosot, AS Jadi Punya Peluang untuk Tekan Korea Utara Soal Program Senjata Nuklir dan Rudal

Sejumlah analis berpendapat bahwa menurunnya ekonomi China berpotensi menyebabkan kerusuhan politik.

oleh Tim Global diperbarui 16 Feb 2024, 13:01 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2024, 13:01 WIB
Pemimpin China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden bertemu di sela-sela APEC, mereka berjalan di Filoli Estate, Woodside, Californa. (AP, Pool)
Pemimpin China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden bertemu di sela-sela APEC, mereka berjalan di Filoli Estate, Woodside, Californa. (AP, Pool)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pakar Asia menyerukan pemberlakuan sanksi ekonomi baru yang keras terhadap China, dengan alasan kemerosotan ekonomi negara itu membuatnya sangat rentan terhadap tekanan untuk menindak kemampuan Korea Utara dalam membuat dan mencuci uang bagi program senjata nuklir dan rudalnya.

Sementara, sejumlah analis lain berpendapat sebaliknya.

Dilansir VOA Indonesia, Kamis (15/2/2024), mereka mengatakan pemberlakuan sanksi baru terhadap China saat ini justru akan membuat negara Tirai Bambu itu kurang menerima upaya Amerika Serikat (AS) untuk membuatnya membantu menekan program senjata Korea Utara.

"Beijing khawatir bahwa resesi yang panjang atau dalam akan menyebabkan kerusuhan politik," dan "kekhawatiran itu memberi Washington kontrol yang lebih besar terhadap Beijing. AS tidak memiliki pengaruh seperti ini ketika periode pertumbuhan ekonomi China kuat," ujar Joshua Stanton, seorang pengacara yang berkantor di Washington, D.C., dan ikut membantu menyusun Undang-undang Sanksi dan Penegakan Kebijakan Tahun 2016.

Dalam sebuah laporan pada bulan Januari lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China akan melambat, dari pertumbuhan PDB 5,2 persen yang diraih pada 2023, menjadi 4,6 persen tahun 2024.

Angka pertumbuhan PDB itu akan terus turun menjadi 4,1 persen pada 2025.

Hutang China Melonjak

Xi Jinping Kembali Terpilih Presiden China
Presiden China Xi Jinping mengambil sumpahnya setelah terpilih secara aklamasi sebagai Presiden dalam sesi Kongres Rakyat Nasional (NPC) China di Aula Besar Rakyat di Beijing, Jumat, 10 Maret 2023. Pemimpin China Xi Jinping terpilih secara aklamasi sebagai Presiden dalam sesi Kongres Rakyat Nasional (NPC) China. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Aktivitas manufaktur China mencatatkan kontraksi selama empat bulan berturut-turut pada bulan Januari lalu dan melonjaknya utang di pasar properti dan pemerintah daerah semakin menimbulkan masalah bagi negara tersebut.

Dalam sebuah email kepada VOA pada hari Jumat (9/2) lalu, Stanton mengatakan pemerintahan Joe Biden harus "meningkatkan tekanan terhadap pemerintah China yang khawatir dengan resesi regional" dan "menunjuk pabrik-pabrik pengalengan dan pabrik-pabrik yang mempekerjakan tenaga kerja Korea Utara."

Mengutip badan intelijen Korea Selatan, kantor berita Reuters melaporkan pabrik-pabrik China telah mempekerjakan buruh Korea Utara dan melabeli produk yang mereka produksi dengan label buatan China.

Sekitar 3.000 warga Korea Utara yang bekerja secara ilegal di China melakukan protes yang diwarnai aksi kekerasan pada bulan Januari lalu karena gaji yang tidak dibayar.

Terkait Pekerja Korea Utara di China

Bendera Korea Utara (AFP PHOTO)
Bendera Korea Utara (AFP PHOTO)

Pada tahun 2017, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mendesak negara-negara untuk memulangkan semua pekerja Korea Utara paling lambat pada Desember 2019 untuk menekan kemampuan Korea Utara dalam memperoleh penghasilan di luar negeri guna mendukung program senjatanya.

Para pekerja Korea Utara mengirimkan sebagian besar pendapatan mereka di luar negeri kepada rezim tersebut.

Stanton menilai Amerika Serikat juga harus "menerapkan pengawasan yang lebih ketat terhadap cabang-cabang bank lokal di kota-kota China" yang mencuci uang untuk Korea Utara.

"China selalu berjanji untuk bekerja sama jika kita tidak memberikan sanksi terhadap bank-banknya, namun China selalu mengingkari janji-janji tersebut," ujarnya.

Sanksi untuk Korut Masih Lemah

Ilustrasi bendera Republik Rakyat China (AP/Mark Schiefelbein)
Ilustrasi bendera Republik Rakyat China (AP/Mark Schiefelbein)

China baru-baru ini telah memperketat peraturan pada bank-banknya yang berhubungan dengan Rusia sebagai tanggapan atas penguatan sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadap lembaga-lembaga keuangan yang bekerja sama dengan militer Rusia.

Anthony Ruggiero, seorang peneliti senior di Foundation for Defense of Democracies, menepis bahwa sanksi terhadap Korea Utara yang diberlakukan pemerintahan Biden saat ini "lemah dan tidak efektif."

"Pemerintahan Biden seharusnya menarget sumber pendapatan Korea Utara dan bank-bank, entitas, dan individu Rusia dan China yang membantu Pyongyang menghindari sanksi tersebut," ujarnya.

Sementara David Asher, seorang peneliti senior di Hudson Institute, mengatakan Korea Utara masih tetap kuat beroperasi untuk membiayai dan memperoleh produk teknologi tinggi untuk program militer dan senjata pemusnah massal (WMD), "sebagian besar karena China."

Asher, yang mengawasi gangguan perdagangan ilegal Korea Utara dan jaringan WMD selama pemerintahan George W. Bush, mengatakan pada Sabtu (10/2) lalu melalui email bahwa ada sektor kriminal yang "kuat" di China, "terutama Makau dan Hong Kong, di mana para elit Korea Utara terus melakukan pencucian uang, termasuk miliaran dolar yang dihasilkan melalui kejahatan dunia maya."

Namun, para ahli lainnya memperingatkan agar tidak memberikan sanksi terhadap China, terutama ketika ekonominya sedang melambat, dan di saat AS sedang berusaha mendapatkan bantuan Beijing untuk menghentikan peluncuran rudal Korea Utara. 

Infografis Amerika Serikat dan China Terancam Perang Dingin? (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Amerika Serikat dan China Terancam Perang Dingin? (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya