AS Berupaya Larang TikTok, China: Logika Bandit

Anggota parlemen AS menyatakan keprihatinannya terhadap aplikasi TikTok, dengan mengatakan bahwa data warga AS berpotensi jatuh ke tangan China, sehingga menjadikannya risiko keamanan nasional. Pemilik TikTok membantah tuduhan tersebut.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 15 Mar 2024, 16:27 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2024, 16:26 WIB
Ilustrasi TikTok, Aplikasi TikTok.
Ilustrasi TikTok, Aplikasi TikTok. (Dok. antonbe via Pixabay)

Liputan6.com, Beijing - China menyerang rancangan undang-undang (RUU) yang lolos di DPR Amerika Serikat (AS), yang pada akhirnya bisa membuat TikTok dilarang di AS.

RUU ini akan memberikan waktu enam bulan kepada perusahaan induk TikTok untuk melakukan divestasi  atau menghadapi larangan atas aplikasi tersebut. RUU ini masih harus menghadapi perjuangan berat di Senat, namun Presiden Joe Biden mengatakan dia akan menandatanganinya jika itu disetujui oleh Kongres.

TikTok dimiliki oleh perusahaan China, ByteDance, yang berbasis di Beijing dan terdaftar di Kepulauan Cayman.

Anggota parlemen AS menyatakan keprihatinannya terhadap aplikasi tersebut, dengan mengatakan bahwa data warga AS berpotensi jatuh ke tangan China, sehingga menjadikannya risiko keamanan nasional. Pemilik TikTok membantah tuduhan tersebut.

Dalam pertunjukan bipartisan yang jarang terjadi pada Rabu (13/3/2024), DPR AS memberikan suara terbanyak untuk mengesahkan RUU tersebut, dengan 352 perwakilan memberikan suara mendukung dan 65 menentang.

Melalui konferensi pers di Beijing pada Kamis (14/3), juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan pemungutan suara mengenai RUU tersebut "bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan yang sehat dan keadilan".

"Seseorang melihat hal baik yang dimiliki orang lain dan mencoba mengambilnya untuk dirinya sendiri, ini sepenuhnya merupakan logika seorang bandit," tegas Wang.

Pejabat China lainnya, juru bicara kementerian perdagangan He Yadong, menuturkan bahwa China akan "semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingan sahnya".

Belum jelas apakah RUU tersebut mendapat cukup dukungan untuk disahkan Senat AS. Terdapat kemungkinan pula bahwa RUU tersebut tidak akan pernah sampai pada tahap pemungutan suara, sehingga status quo yang ada saat ini tetap berlaku.

Calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump berubah sikap terkait isu ini. Dari semula mendukungnya kini dia menentangnya.

 

Kekhawatiran atas Larangan TikTok

Ilustrasi TikTok
Ilustrasi TikTok. (Dok. Unsplash.com/@franckinjapan)

Setelah disahkan di DPR AS, CEO TikTok Shou Zi Chew mengatakan RUU tersebut akan mengeluarkan "miliaran dolar dari kantong para pembuat konten dan usaha kecil".

"Ini juga akan membahayakan lebih dari 300.000 pekerjaan di AS,” kata Chew dalam video yang diunggah di TikTok dan di X alias Twitter.

Pada Rabu, beberapa kreator TikTok mengatakan kepada BBC mereka mengkhawatirkan mata pencaharian dan bisnis mereka jika RUU tersebut menjadi undang-undang.

"Saya membeli barang dari usaha kecil dan memamerkannya di platform saya – saya menyempurnakannya," kata Ophelia Nichols, pembuat konten yang berbasis di Alabama dengan lebih dari 12 juta pengikut di platform tersebut. "Usaha kecillah yang akan menderita ... Anda harus mengkhawatirkan hal itu."

Chew mendesak para pengguna aplikasinya untuk bersuara menentang pemungutan suara di Kongres AS dan menghubungi anggota parlemen mereka – upaya yang telah membuat kantor beberapa anggota Kongres dibanjiri dengan telepon dari konstituen yang marah.

Pendekatan ini telah membuat kesal anggota parlemen AS. Salah satu sponsor RUU larangan TikTok tersebut, Chip Roy dari Partai Republik dari Texas, mengatakan kepada BBC bahwa dia yakin TikTok "menyerang dirinya sendiri" dengan upaya lobi.

"(Itu) menunjukkan bahwa mereka ingin menggunakan kekuatan teknologi mereka untuk membujuk orang dan memberi informasi melalui sudut pandang mereka," seraya menambahkan bahwa upaya tersebut merupakan sudut propaganda yang kita lihat dari TikTok.

 

Kanada Bakal Langkah Ikuti AS?

Ilustrasi TikTok. Credit: Solen Feyissa/Unsplash
Ilustrasi TikTok. (Dok. Solen Feyissa/Unsplash)

TikTok sendiri dilarang di China bersama dengan platform media sosial lainnya.

Warga China menggunakan aplikasi serupa, Douyin, yang hanya tersedia di negara itu dan tunduk pada pemantauan dan sensor pemerintah China.

Pada Kamis, pemerintah Kanada mengungkapkan bahwa tinjauan keamanan nasional terhadap rencana ekspansi TikTok di negara tersebut yang dimulai secara diam-diam pada September sedang berlangsung.

Berbicara kepada wartawan di Ottawa, Perdana Menteri Justin Trudeau menolak mengomentari tinjauan tersebut atau mengatakan apakah Kanada sedang mempertimbangkan larangan serupa dengan yang diusulkan di AS.

"Kami tentu saja menyaksikan perdebatan yang terjadi di AS," katanya kepada wartawan.

Siapa yang berpotensi membeli TikTok?

Mantan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan pada Kamis bahwa dia sedang membentuk tim investor untuk mengajukan tawaran pembelian TikTok.

"Ini adalah bisnis yang hebat," katanya kepada CNBC.

Pengusaha Kanada Kevin O'Leary, salah satu bintang program TV Shark Tank, juga menyatakan tertarik membeli perusahaan tersebut.

Ketika pemerintahan Trump memerintahkan penjualan pada tahun 2020, beberapa perusahaan terbesar di AS muncul untuk menjajaki tawaran, yang kemudian dilaporkan memberi nilai pada perusahaan tersebut sekitar USD 50 miliar.

Microsoft akhirnya kalah dari tim yang mencakup Walmart dan raksasa perangkat lunak Oracle. Namun, kesepakatan itu gagal di tengah tantangan hukum dan peralihan ke pemerintahan baru.

Saat ini, jangkauan dan pendapatan iklan TikTok telah meningkat secara signifikan, sehingga menghasilkan perkiraan valuasi sebesar USD 268 miliar.

Infografis AS Desak Pemilik TikTok Lepas Saham dan Ancam Larangan Total. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis AS Desak Pemilik TikTok Lepas Saham dan Ancam Larangan Total. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya