Liputan6.com, Belgia - Para peneliti Belgia telah mengungkap metode artificial intelligence (kecerdasan buatan) atau AI untuk analisis bir dengan model-model yang dapat memprediksi penilaian konsumen terhadap bir dan mengidentifikasi senyawa aroma yang dapat meningkatkan rasa bir.
Studi yang dipublikasikan di Nature Communications ini meneliti kemungkinan memahami dan memprediksi rasa bir, yang dianggap sebagai tantangan kompleks yang disebabkan oleh interaksi rumit antara senyawa kimia dan preferensi rasa subjektif, demikian seperti dikutip dari foodingredientsfirst.com, Rabu (3/4/2024).
Baca Juga
Metode tradisional, yang memiliki ketergantungan pada panduan deskriptif dan selera masing-masing pribadi, dianggap tidak mampu memberikan dasar ilmiah untuk perbandingan rasa.
Advertisement
Untuk melampaui batasan-batasan tersebut, peneliti kemudian menggunakan teknik analisis kimia untuk mempelajari profil rasa bir dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kevin Verstepen, Seorang profesor di KU Leuven dan direktur VIB-KU Leuven Center for Microbiology dan Leuven Institute for Beer Research, mengatakan pada Food Ingredients First, "Model kami melangkah lebih jauh karena dapat lebih baik memprediksi efek interaksi kompleks antara senyawa-senyawa individu."
"Ini menunjukkan bahwa beberapa senyawa aroma yang umumnya dianggap sebagai off-flavors (rasa yang tidak biasa) negatif, seperti etil asetat, dimetil sulfida, diasetil, dan beberapa aldehida, sebenarnya dapat memiliki efek positif pada aroma bir ketika mereka hadir dalam kuantitas yang lebih rendah dan terjadi bersamaan dengan senyawa lain seperti ester asetat buah."
Metode Pembelajaran Mesin
Ilmuwan telah menguraikan susunan kimia dari 250 jenis bir Belgia yang berbeda selama lebih dari lima tahun.
Mereka mengukur lebih dari 200 sifat kimia dari setiap bir dan menggabungkan temuan ini dengan analisis sensor yang dilakukan oleh sebuah panel ahli terlatih.
Inovasi utama datang dari penerapan pembelajaran mesin pada kumpulan data yang luas ini. Tim peneliti memetakan data lebih dari dari 180.000 ulasan konsumen dan melatih sepuluh model pembelajaran mesin yang berbeda, dengan Gradient Boosting yang muncul paling efektif.
Model tersebut melebihi prediksi statistik tradisional. dengan menghubungkan profil kimia akurat yang disertai dengan fitur makanan yang kompleks dan apresiasi konsumen.
Analisis artificial intelligence ini menyoroti senyawa-senyawa spesifik yang sebelumnya dianggap kurang berpengaruh pada rasa dan apresiasi bir. Dengan menambahkan senyawa-senyawa ini ke dalam bir komersial, para peneliti dapat mencapai varian dengan penilaian konsumen yang lebih baik.
Verstepen menyarankan bahwa penyempurnaan lebih lanjut bisa dilakukan untuk memodelkan preferensi rasa tiap individu serta pengaruh lingkungan, suasana hati, dan usia konsumen.
Advertisement
Bir Versi Sehat
Para inovator terdorong untuk mengembangkan alternatif alkohol yang memprioritaskan kesehatan dan rasa berkat konsumen yang semakin mengadopsi pilihan untuk memilih minuman rendah alkohol atau tanpa alkohol. Tren yang mendukung konsumsi alkohol yang moderat dan meningkatnya penerimaan sosial terhadap minuman ini juga menjadi penyebabnya.
"Tujuan terbesar kami sekarang adalah membuat bir non-alkohol yang lebih baik. Dengan menggunakan model kami, kami telah berhasil menciptakan campuran senyawa aroma alami yang meniru rasa dan aroa alkohol tanpa risiko mabuk keesokan harinya," kata Verstepen.
Musim dingin lalu, perusahaan bir yang berbasis di Belgia, Thrive, memperkenalkan bir non-alkohol yang diperkaya dengan sepuluh vitamin penting, termasuk 50% asupan harian yang direkomendasikan dari vitamin D3 dan semua vitamin B per kaleng.
Minuman ini menawarkan manfaat nutrisi sambil meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi kelelahan, dengan kalori yang lebih sedikit dibandingkan bir tradisional.
"Kami melihat banyak ruang untuk kemajuan dengan produk bir tersebut, dengan meniru aroma alkohol. Namun, metode umum ini tentu juga berlaku untuk makanan lainnya, meskipun hal ini akan memerlukan analisis dan penilaian ulang terhadap banyak sampel," tambah Verstepen.
Tim peneliti tersebut mengatakan temuan ini dapat diperluas ke produk makanan lainnya, yang dapat merevolusi cara pembuatan makanan baru.
Adanya Tantangan dalam Memprediksi Rasa
Studi yang dikembangkan oleh tim peneliti KU Leuven ini juga menyoroti bahwa memprediksi rasa dan apresiasi makanan dari sifat-sifat kimianya tetaplah rumit. Salah satu hambatan utamanya adalah jumlah zat kimia yang tinggi yang berinteraksi dan memengaruhi rasa.
"Persepsi rasa bisa sangat kompleks, yang dihasilkan dari ratusan molekul yang berbeda berinteraksi pada tingkat fisikokimia dan sensorial," ungkap para peneliti, seperti dikutip dari Euronews, Senin (1/4/2024).
Para peneliti juga mencatat bahwa selera manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti genetika, lingkungan, budaya, dan psikologi konsumen.
Hal tersebut menjadi alasan mengapa mereka menggunakan kumpulan data yang sangat besar, yang hanya dapat dianalisis oleh model pembelajaran mesin.
Michiel Schreurs, penulis utama studi tersebut, mengungkapkan dalam sebuah pernyataan, "Rasa bir adalah campuran kompleks senyawa aroma. Tidak mungkin memprediksi seberapa baik sebuah bir hanya dengan mengukur satu atau beberapa senyawa. Kita benar-benar memerlukan kekuatan komputer."
Sementara Kevin Verstepen juga mengatakan, "Tujuan terbesar kami sekarang adalah membuat bir non-alkohol yang lebih baik. Dengan menggunakan model kami, kami sudah berhasil menciptakan campuran senyawa aroma alami yang meniru rasa dan aroma alkohol tanpa risiko mabuk."
Advertisement