Luar Angkasa Dingin dan Gelap Meski Ada Matahari, Ini Jawabannya

Namun, ternyata luar angkasa di sekitar matahari dan planet-planet, justru memiliki suhu yang sangat dingin.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 09 Mei 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2024, 01:00 WIB
Ilustrasi Luar Angkasa
Ilustrasi luar angkasa. (dok. Pixabay.com/Free-Photos)

Liputan6.com, Jakarta - Matahri pusat galaksi Bima Sakti memancarkan panas yang luar biasa. Panas matahari dapat dirasakan manusia di permukaan bumi.

Namun, ternyata luar angkasa di sekitar matahari dan planet-planet, justru memiliki suhu yang sangat dingin. Bahkan mencapai -270 derajat Celsius.

Melansir laman resmi NASA pada Selasa (07/05/2024), matahari merupakan kumpulan gas dan api berukuran sekitar 15 juta derajat celcius pada intinya dan 5.500 derajat celcius pada permukaannya. Suhu tersebut cukup untuk menghangatkan bumi yang jaraknya 150 juta kilometer.

Namun, luar angkasa yang seharusnya lebih dekat dengan matahari ternyata bersuhu rendah hingga -270 Celsius. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor, seperti adanya molekul dan atmosfer.

Lalu mengapa sebagian luar angkasa dingin meski ada matahari?

1. Tidak Ada Atmosfer

Dikutip dari Space, Selasa (07/05/2024), panas bergerak melalui kosmos sebagai radiasi. Gelombang energi inframerah akan berpindah dari objek yang lebih panas ke objek yang lebih dingin.

Gelombang radiasi merangsang molekul yang bersentuhan dengannya, dan menyebabkan panas. Beginilah cara panas berpindah dari matahari ke bumi dengan radiasi.

Namun, yang menarik adalah radiasi hanya memanaskan molekul dan materi yang berada tepat di jalurnya, sedangkan segala sesuatu yang lain tetap dingin. Bumi memiliki atmosfer yang kaya akan gas, seperti nitrogen, oksigen, dan karbon dioksida.

Gas-gas ini bertindak seperti selimut, menjebak panas dari matahari dan menghangatkan planet. Di luar angkasa, tidak ada atmosfer.

Artinya, tidak ada gas yang dapat menjebak panas matahari, sehingga panasnya langsung merambat ke luar angkasa tanpa terhalang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tidak Ada Media yang Dapat Menyalurkan Panas

2. Tidak Ada Media yang Dapat Menyalurkan Panas

Panas juga merambat ke seluruh permukaan bumi melalui tiga metode, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Ketika radiasi matahari mengenai dan menghangatkan molekul-molekul di atmosfer, energinya akan diteruskan ke molekul-molekul di sekitarnya.

Namun, ruang angkasa adalah ruang hampa, artinya ruang pada dasarnya kosong. Molekul gas di ruang angkasa terlalu sedikit dan berjauhan untuk saling bertabrakan satu sama lain.

Meskipun matahari memanaskan luar angkasa dengan gelombang inframerah, perpindahan panas melalui konduksi tidak mungkin dilakukan. Akibatnya, panas dari matahari sulit mencapai benda-benda di luar angkasa, sehingga suhunya tetap dingin.

3. Ketiadaan Gravitasi

Gravitasi berperan dalam konveksi, yaitu pergerakan fluida yang membawa panas. Di bumi, udara panas yang lebih ringan naik, sedangkan udara dingin yang lebih berat turun, menciptakan aliran udara yang mendistribusikan panas ke seluruh permukaan.

Di luar angkasa, gravitasi sangat lemah. Hal ini berarti konveksi tidak dapat terjadi secara efektif, sehingga panas tidak dapat berpindah dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain.

 


Tidak Hanya Dingin Luar Angkasa Juga Gelap

Menariknya tidak hanya dingin, luar angkasa juga gelap. Teori disebut paradoks Olbers, diambil dari nama astronom Jerman Heinrich Olbers.

Ia mencoba menjawab pertanyaan "mengapa luar angkasa selalu gelap" dengan asumsi bahwa ruang antar bintang sebagian diisi dengan materi yang menyerap cahaya, misalnya awan debu antar bintang. Melansir laman Live Science pada Selasa (07/05/2024), Paradoks Olbers akhirnya terpecahkan pada abad ke-20.

Ternyata Alam Semesta terus mengembang dan cahaya yang terlihat dari galaksi, saat menjauh, masuk ke dalam jangkauan inframerah, ultraviolet, dan gelombang radio, yang tidak terlihat oleh mata manusia. Kecuali kita bisa melihat gelombang mikro, maka seluruh ruang angkasa akan bersinar.

Ruang angkasa hampir seperti ruang hampa, hanya ada sejumlah kecil gas dan debu kosmik di volume tertentu, tetapi tidak ada atmosfer. Sementara. cahaya perlu memantul dari sesuatu.

Cahaya akan bergerak lurus hingga mengenai suatu benda. Begitu cahaya mengenai dan memantulkan suatu objek, atmosfer yang memberikan "hamburan" dalam spektrum yang terlihat oleh mata manusia.

Karena bumi berputar pada porosnya, kegelapan menguasai sisi di mana cahaya matahari tidak jatuh dan kita menyebut periode ini sebagai malam. Pada siang hari, atom, molekul, dan debu atmosfer berinteraksi dengan foton, menyebabkannya berhamburan.

Di bumi, sebagian besar atmosfer menyebarkan cahaya biru, karena cahaya biru memiliki panjang gelombang yang lebih pendek di ujung spektrum tampak dan lebih tersebar di atmosfer dibandingkan cahaya merah. Oleh karena itu, langit siang hari di bumi tampak berwarna biru.

Mars memiliki atmosfer lebih tipis, sekitar 100 kali lebih tipis dari bumi, namun masih cukup membuat langit tampak biru keabu-abuan di siang hari. Saat angin Mars yang sering bertiup menimbulkan awan debu dari permukaan, langit Mars menjadi lebih tipis, menjadi warna kemerahan.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya