Lebih dari 37.000 Warga Palestina di Gaza Tewas Akibat Perang, Menyesalkah Hamas Menyerang Israel pada 7 Oktober 2023?

Perang Israel Vs Hamas yang terjadi di Jalur Gaza saat ini berawal dari serangan kelompok militan Palestina itu ke Israel selatan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 15 Jun 2024, 18:35 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2024, 18:35 WIB
Luka dan Duka dalam 100 Hari Perang Hamas-Israel
Warga Palestina melarikan diri ke Gaza utara saat tank-tank Israel memblokir jalan Salah al-Din di Jalur Gaza Tengah pada Jumat, 24 November 2023, saat gencatan senjata empat hari dalam perang Israel-Hamas dimulai sebagai bagian dari kesepakatan yang ditengahi oleh Qatar. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Liputan6.com, Beirut - Nasib 120 sandera yang tersisa di Jalur Gaza sangat penting bagi setiap kesepakatan untuk mengakhiri perang berkepanjangan antara Israel dan Hamas. Namun, seorang pejabat senior Hamas mengatakan kepada CNN bahwa tidak ada yang tahu berapa banyak dari mereka yang masih hidup dan bahwa setiap kesepakatan untuk membebaskan mereka harus mencakup jaminan gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza.

Dalam wawancara dengan CNN di Beirut, Lebanon, juru bicara Hamas dan anggota biro politik Osama Hamdan blak-blakan mengenai posisi kelompok militan itu atas perundingan gencatan senjata yang terhenti hingga apakah Hamas menyesali keputusannya untuk menyerang Israel pada 7 Oktober 2023 mengingat meningkatnya jumlah korban jiwa warga Palestina.

Hamdan menegaskan bahwa serangan pada 7 Oktober, yang memicu perang di Jalur Gaza saat ini, merupakan reaksi terhadap pendudukan.

Serangan itu adalah serangan paling mematikan dalam sejarah Israel. Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya diklaim membunuh lebih dari 1.200 orang dan juga menyandera sekitar 250 orang di Jalur Gaza.

Israel dengan cepat membalas pada hari yang sama, segera menyatakan perang terhadap Hamas dan melancarkan kampanye pengeboman intensif di Jalur Gaza yang diikuti dengan invasi darat beberapa pekan kemudian.

Operasi militer Israel berdampak mematikan pada warga Palestina di Jalur Gaza. Menurut otoritas kesehatan di wilayah kantong itu, lebih dari 37.000 orang tewas, di mana sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Sekitar 90 persen orang yang tinggal di wilayah tersebut diperkirakan mengungsi.

Ketika ditanya berulang kali oleh CNN apakah Hamas menyesali keputusannya menyerang Israel, Hamdan menjawabnya dengan menyalahkan situasi tersebut pada Israel.

"Yang berkuasa atau bertanggung jawab atas hal itu adalah pendudukan (Israel). Jika Anda menolak pendudukan, (mereka) akan membunuh Anda, jika Anda tidak melawan pendudukan, (mereka) juga akan membunuh Anda dan mendeportasi Anda keluar negara Anda. Jadi, apa yang harus kita lakukan, menunggu saja?" ujarnya seperti dikutip Sabtu (15/6/2024).

Hamdan menolak laporan palsu bahwa pemimpin Hamas di Jalur Gaza Yahya Sinwar menyatakan kematian ribuan warga Palestina adalah pengorbanan yang diperlukan.

Israel berulang kali menuduh Hamas menggunakan warga sipil di Jalur Gaza sebagai perisai manusia dan awal pekan ini, Wall Street Journal menerbitkan apa yang dikatakannya sebagai bocoran pesan dari Sinwar kepada para pemimpin Hamas lainnya di mana dia diduga menyatakan tekad tanpa kompromi untuk terus berperang, terlepas dari harga nyawa yang harus dibayar.

Hamdan mengonfirmasi kepada CNN bahwa pesan tersebut palsu.

"Itu adalah pesan palsu yang dilakukan oleh seseorang yang bukan warga Palestina dan dikirim (ke) Wall Street Journal sebagai bagian dari tekanan terhadap Hamas dan memprovokasi masyarakat untuk melawan pemimpinnya," ujarnya. "Tidak ada seorang pun yang bisa menerima pembunuhan terhadap warga Palestina, terhadap rakyatnya sendiri."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Alasan Hamas Menolak Proposal Gencatan Senjata

Potret Anak-anak dan Perempuan di Gaza
Seorang wanita Palestina membawa barang-barangnya di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada 6 Maret 2024. Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) menyatakan bahwa rata-rata 63 perempuan terbunuh di Gaza setiap harinya, dan sekitar 37 diantaranya adalah ibu. (Foto: AFP)

Amerika Serikat (AS) percaya bahwa Hamas memegang kunci dalam perundingan gencatan senjata.

"Tawar-menawar harus dihentikan," ujar Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kepada NBC pada hari Kamis, mendesak Sinwar untuk mengakhiri perang.

"Dia relatif aman di bawah tanah; orang-orang yang dia wakili, mereka menderita setiap hari."

Hamdan menjelaskan proposal gencatan senjata terbaru – yang pertama kali diumumkan secara publik oleh Presiden AS Joe Biden akhir bulan lalu – tidak memenuhi tuntutan pihaknya untuk mengakhiri perang.

Hamdan, yang merupakan bagian dari tim perunding Hamas di lapangan, menyatakan pihaknya "memerlukan posisi yang jelas dari Israel untuk menerima gencatan senjata, penarikan sepenuhnya dari Jalur Gaza, membiarkan Palestina menentukan masa depan mereka sendiri, rekonstruksi, (pencabutan) pengepungan … dan kita siap untuk membicarakan kesepakatan yang adil mengenai pertukaran tahanan."

Negosiasi mengenai proposal yang didukung AS telah meningkat dalam beberapa hari terakhir, namun dikabarkan terhenti pada hari Rabu (12/6) setelah Hamas menyampaikan tanggapannya terhadap proposal tersebut.

Blinken mengungkapkan rasa frustrasinya atas apa yang dia katakan sebagai keputusan Hamas untuk mengajukan banyak perubahan dan menggambarkan beberapa di antaranya melampaui posisi yang diambil (Hamas) sebelumnya.

"Beberapa perubahan bisa diterapkan. Ada yang tidak," kata Blinken pada konferensi pers di Doha pada Rabu.

Proposal gencatan senjata yang didukung AS dan disetujui oleh Dewan Keamanan PBB menjabarkan pendekatan bertahap.

Tahap pertama dari proposal yang diusulkan akan mencakup gencatan senjata penuh dan menyeluruh, penarikan pasukan Israel dari daerah berpenduduk, pembebasan sejumlah sandera dan jenazah sandera, warga Palestina dapat kembali ke rumah-rumah mereka, dan lonjakan bantuan kemanusiaan.

Fase kedua adalah penghentian permusuhan secara permanen, pertukaran tahanan dan sisa sandera yang masih hidup, serta penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza.

Tahap ketiga adalah rencana rekonstruksi besar-besaran Jalur Gaza dengan bantuan AS dan internasional dan pengembalian sisa jenazah sandera.

Hamdan menjelaskan kepada CNN bahwa durasi gencatan senjata adalah masalah utama bagi Hamas, yang khawatir Israel tidak berniat menindaklanjutinya ke tahap kedua. Pengakhiran permusuhan harus bersifat permanen, katanya, dan Israel harus menarik diri sepenuhnya dari Jalur Gaza.

"Israel menginginkan gencatan senjata hanya untuk enam minggu dan kemudian mereka ingin kembali berperang, yang menurut saya AS, sampai sekarang, mereka tidak meyakinkan Israel untuk menerima (gencatan senjata permanen)," ujarnya, seraya menambahkan bahwa AS perlu meyakinkan Israel untuk menerima gencatan senjata permanen sebagai bagian dari kesepakatan.


AS Menyalahkan Hamas

Operasi Darat Israel di Jalur Gaza
Sebelumnya, Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober lalu dan menewaskan 1.200 orang di Israel serta membawa 240 orang sandera ke Jalur Gaza. (AP Photo/Victor R. Caivano)

Israel belum secara terbuka berkomitmen terhadap proposal gencatan senjata, meskipun Gedung Putih telah berulang kali menekankan bahwa proposal yang disodorkan Biden berasal dari Tel Aviv.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang mendapat tekanan untuk mengumumkan dukungannya terhadap proposal gencatan senjata, telah berulang kali mengatakan bahwa perang tidak akan berakhir sampai Israel melenyapkan Hamas.

Blinken mengaku kepada NBC Netanyahu telah menegaskan kembali kepadanya bahwa Israel mendukung proposal itu dan dan menyalahkan Hamas atas terhentinya negosiasi.

"Hamas harus menunjukkan bahwa mereka juga ingin hal ini segera berakhir. Jika ya, kita bisa mengakhirinya. Jika tidak, berarti mereka ingin perang terus berlanjut," kata Blinken.


Berapa Sisa Sandera yang Masih Hidup?

Sandera Israel yang Diculik Hamas
Orang-orang berjalan di luar tembok Kota Tua Yerusalem yang terpampang foto para sandera yang diculik oleh militan Palestina pada serangan 7 Oktober dan saat ini ditahan di Jalur Gaza, 6 November 2023. Hingga saat ini, pertempuran antara pasukan Israel dengan kelompok militan Hamas masih berlangsung di Jalur Gaza. (AHMAD GHARABLI/AFP)

Ketika Israel melancarkan perang ke Jalur Gaza, Netanyahu mengatakan tujuannya adalah untuk menghancurkan Hamas dan memulangkan sandera.

Namun, lebih dari delapan bulan kemudian, tujuan untuk menghilangkan kelompok tersebut belum tercapai. Meskipun IDF telah membunuh beberapa komandan Hamas, para pemimpin tertinggi mereka di Jalur Gaza, termasuk Sinwar, terus lolos. Meskipun infrastrukturnya rusak, Hamas juga masih mampu menembakkan roket ke Israel, walau disebut lebih sporadis dibandingkan saat awal konflik.

Pejabat intelijen AS percaya bahwa Sinwar kemungkinan besar yakin Hamas dapat bertahan dari upaya Israel untuk menghancurkannya.

Pada saat yang sama, Netanyahu berada di bawah tekanan yang semakin besar untuk mencapai kesepakatan yang akan menjamin kembalinya para sandera. Israel meyakini lebih dari 70 sandera dari lebih dari 100 sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza masih hidup.

Berbicara kepada CNN, Hamdan mengaku tidak tahu berapa banyak sandera yang masih hidup.

"Saya tidak tahu apa-apa tentang itu. Tidak ada yang tahu mengenai hal ini," katanya, sambil menuduh operasi Israel untuk membebaskan empat sandera pada hari Sabtu (8/6) mengakibatkan kematian tiga orang lainnya, termasuk seorang warga negara AS.

Ada kekhawatiran lebih banyak sandera yang tewas daripada yang diketahui publik.

Ditanya tentang kesaksian seorang dokter yang merawat para sandera yang dibebaskan dan mengatakan mereka menderita penganiayaan mental dan fisik serta dipukuli setiap jam, Hamdan kembali menyalahkan Israel.

"Saya yakin kalau mereka punya masalah mental, itu karena perbuatan Israel di Gaza. Karena (tidak ada yang bisa) menangani apa yang dilakukan Israel, melakukan pengeboman setiap hari, membunuh warga sipil, membunuh perempuan dan anak-anak … mereka melihatnya (dengan) mata kepala mereka sendiri," tutur Hamdan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya