Liputan6.com, Singapura - Seorang ibu dijatuhi hukuman penjara selama 13 bulan usai memukul putranya yang berusia enam tahun dengan ikat pinggang.
Bukan sekali dua kali pukulan, tetapi lebih dari 100 kali pukulan dengan ikat pinggang saat mendapati anaknya berperilaku buruk.
Baca Juga
Selain pemukulan, wanita itu juga meninju anak laki-lakinya, menyuruhnya berdiri dengan tangan, serta menendang dan menamparnya, dikutip dari laman Channel News Asia, Minggu (4/8/2024).
Advertisement
Pengadilan di kota itu sengaja tidak mempublikasi identitas pelaku guna melindungi identitas korban.
Rekaman pemukulan itu diputar di pengadilan, publik dan media diminta untuk pergi, tetapi tangisan anak laki-laki itu cukup keras untuk didengar dari luar.
Dalam putusannya, Hakim Distrik Carol Ling, Singapura mengatakan bahwa rekaman itu "sulit untuk ditonton" dan menyebut kekerasan yang berlebihan atas nama disiplin tidak dapat ditoleransi.
Pelaku mengaku bersalah dan dituntut berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Remaja atas penganiayaan terhadap anak yang diasuhnya.
Dakwaan kedua yaitu pelaku sudah melakukan kebohongan dengan menyebut bahwa pacarnya yang telah memukul putranya.
Pada saat pelanggaran terjadi pada tahun 2020, wanita itu tinggal bersama pacarnya, serta anak dan kerabat lainnya.
Dia memukul korban dengan ikat pinggang selama sekitar 10 menit, serta menendang dan menamparnya.
Wanita itu kemudian membawa putranya ke kantor polisi dan berbohong bahwa pacarnya telah memukulinya. Seorang dokter menemukan lebih dari 50 luka memar dan lecet pada anak laki-laki itu.
Wanita itu kemudian diperiksa di Institut Kesehatan Mental dan didiagnosis mengalami gangguan jiwa lantaran suasana hati yang tertekan.
Ibu di Australia Dijatuhi Hukuman Penjara Usai Paksa Anaknya Menikah
Bicara soal kekerasan pada anak, seorang ibu di Australia menjadi orang pertama yang dipenjara berdasarkan undang-undang pernikahan paksa setelah memaksa putrinya untuk menikah dengan seorang pria yang kemudian membunuhnya.
Dilansir BBC, Sakina Muhammad Jan, wanita berusia akhir 40-an, dinyatakan bersalah karena memaksa anaknya bernama Ruqia Haidari untuk menikah dengan Mohammad Ali Halimi yang berusia 26 tahun pada tahun 2019, sebagai imbalan atas utang.
Enam minggu setelah pernikahan, Halimi membunuh pengantin barunya - tindakan yang kini membuatnya menjalani hukuman seumur hidup.
Jan - yang mengaku tidak bersalah - dijatuhi hukuman penjara minimal satu tahun, untuk apa yang disebut hakim sebagai "tekanan yang tidak dapat ditoleransi" yang ia berikan kepada putrinya.
Undang-undang pernikahan paksa diperkenalkan di Australia pada tahun 2013 dan dengan hukuman maksimum tujuh tahun penjara. Meskipun ada beberapa kasus yang sedang diproses, Jan adalah orang pertama yang dijatuhi hukuman untuk pelanggaran ini.
Advertisement
Tak Mengaku Bersalah
Jan, seorang pengungsi Hazara Afganistan yang melarikan diri dari penindasan Taliban dan bermigrasi ke Victoria bersama lima anaknya pada tahun 2013, dikatakan oleh pengacaranya mengalami "duka cita" yang berkepanjangan atas kematian putrinya. Meski begiu, ia tetap mengaku tidak bersalah.
Pengadilan mendengar bahwa Haidari sebelumnya dipaksa untuk menikah dengan tidak resmi secara agama pada usia 15 tahun - sebuah ikatan yang berakhir setelah dua tahun - dan tidak ingin menikah lagi hingga usia 27 atau 28 tahun.
"Dia ingin melanjutkan studi dan mendapatkan pekerjaan," kata Hakim Fran Dalziel dalam pernyataan hukumannya.
Meskipun Jan mungkin percaya bahwa dia bertindak demi kepentingan terbaik putrinya, Hakim Dalziel menyatakan bahwa dia telah berulang kali mengabaikan keinginan Haidari dan "menyalahgunakan" kekuasaannya sebagai seorang ibu.
"Haidari pasti tahu bahwa jika ia menolak untuk mneikah akan menimbulkan pertanyaan tentang Anda dan keluarga lainnya. Dia khawatir tidak hanya tentang kemarahan Anda, tetapi juga tentang status Anda di masyarakat," tambah hakim.