Liputan6.com, Jakarta - Satelit yang mengorbit di atas Bumi, menangkap gambar langka dari fenomena atmosfer yang membuat gletser Antartika tampak berasap baru-baru ini. Gumpalan asap tersebut disebut 'sea smoke' atau asap laut yang bertiup di atas gletser Pine.
Melansir laman NASA pada Rabu (06/11/2024), biasanya, pemandangan kawasan ini dikaburkan oleh awan. Namun pada 10 Oktober 2024, satelit Landsat 8 milik US Geology Survey yang dikembangkan NASA, berhasil menangkap gambar fenomena asap laut.
Advertisement
Asap laut sebenarnya adalah kabut yang disebabkan oleh uap yang naik. Gambar yang dirilis NASA menunjukkan asap laut mengepul di sekitar gletser Pine Island bersama dengan gletser Thwaites di dekatnya.
Advertisement
Baca Juga
Kedua empat ini merupakan salah satu jalur utama es yang mengalir dari lapisan es Antartika barat ke Laut Amundsen. Efek berasap yang tampak disebabkan oleh uap yang terbentuk dan naik saat udara dingin bergerak melintasi air yang lebih hangat di tepi gletser karena perbedaan suhu antara es dan air di sekitarnya.
Dalam kasus ini, angin mendorong air dan es laut menjauh dari bagian depan es, sehingga mendorong air yang relatif hangat untuk menggantikannya dari bawah. Angin juga mengekuarkan salju dari permukaan lapisan es yang berdekatan, sehingga menciptakan penampakan aliran putih di atmosfer.
Gletser Pine Island dianggap sebagai salah satu gletser yang paling cepat mencair di Antartika. Menurut NASA, gletser Pine dan gletser Thwaites di dekatnya mengandung cukup es untuk menaikkan permukaan laut global sekitar 1,2 meter.
NASA mengkhawatirkan gletser ini terus-menerus kehilangan bongkahan es besar selama tiga dekade terakhir. Bahkan, secara teratur retak dan pecah dari gunung es dan beberapa di antaranya cukup besar, sehingga diberi nama sendiri.
Pada 2020, gunung es berukuran dua kali lipat dari Washington, D.C. pecah dari Pine Island. Fenomena asap laut membantu para ilmuwan memahami perubahan iklim Antartika, khususnya di sekitar gletser Pine Island.
Â
Antartika Menghijau
Sebelumnya, ilmuwan menemukan Antartika sekarang berubah bukan lagi hamparan es tapi menjadi padang lumut yang luas. Bahkan para ilmuwan mengungkapkan, hamparan lumut hijau yang menutupi semenanjung Antartika utara semakin meluas.
Kabar buruknya, jika kondisi ini terus berlangsung akan dapat memicu perubahan ekosistem yang dramatis. Tutupan tanaman di benua es ini meningkat lebih dari 12 kali lipat selama 35 tahun terakhir.
Analisis citra satelit menunjukkan, vegetasi di semenanjung Antartika semula hanya tumbuh kurang dari satu kilometer persegi pada tahun 1986. Namun, sebaran lumut telah meningkat signifikan mulai 2016 hingga pada 2021 luas wilayah semenanjung yang menghijau hampir 12 kilometer persegi.
Seperti yang diketahui, Antartika adalah benua terbesar kelima yang hampir seluruh daratannya tertutupi es. Oleh sebab itu, benua ini memiliki julukan "benua abu-abu".
Fenomena vegetasi di Antartika adalah dampak dari perubahan iklim akibat pemanasan global yang telah terjadi sejak 100 tahun lalu. Pemanasan global yang berkelanjutan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan lumut.
Apabila awalnya lumut tumbuh dengan kecepatan kurang dari 3 milimeter per tahun, kini bisa tumbuh lebih dari itu. Menurut penelitian yang dipublikasikan di Nature Geoscience, antara 2016 dan 2021, semenanjung Antartika mengalami peningkatan vegetasi sebesar 30 persen.
Hal ini dipengaruhi oleh suhu yang kian menghangat dan curah hujan. Peningkatan sebaran lumut pada 2016 bertepatan dengan mulai mencairnya es di sekitar Antartika.
Lautan terbuka yang hangat menyebabkan kondisi lembap dan mendukung pertumbuhan tanaman. Tidak hanya Antartika, penghijauan serupa juga telah dilaporkan terjadi di Kutub Utara dan pada 2021 hujan turun di puncak es Greenland pertama kalinya dalam sejarah.
Â
Advertisement
Antisiklon
Hujan tersebut dikenal dengan antisiklon yang menyebabkan gelombang panas dalam waktu yang lama dan membuat es mencair. Padahal, lumut berperan penting dalam mengubah permukaan batu menjadi tanah.
Bila terus meluas, spesies-spesies tanaman baru akan tumbuh di Antartika pada masa mendatang. Menurut para peneliti, penghijauan ini dapat menimbulkan dampak yang kompleks bagi dunia.
Perubahan itu dapat mengganggu keseimbangan ekosistem Antartika yang rentan, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati karena spesies baru mengalahkan tanaman asli. Seiring dengan terus berkembangnya tanaman, ini akan mengubah dinamika ekosistem yang berpotensi mempengaruhi komposisi tanah, siklus karbon, dan jaring makanan lokal.
Berdasarkan analisis citra satelit selama 35 tahun dari arsip Landsat NASA, penghijauan bahkan meluas hingga ke seluruh semenanjung Antartika barat. Tanaman membentang dari sekitar 68,5 derajat selatan hingga ke Kepulauan Shetland Selatan bagian utara.
(Tifani)