Media Sosial Ubah Seseorang Jadi Garang dan Hobi Menyerang?

Psikolog ungkap pembenci bisa memakai nama samaran di media sosial dan dia seperti berada dalam kerumunan.

oleh Doddy Irawan diperbarui 31 Jan 2018, 07:30 WIB
Diterbitkan 31 Jan 2018, 07:30 WIB
7 Alasan Kenapa Netizen Gampang Baper di Medsos
Ilustrasi media sosial

Liputan6.com, Jakarta Banyak orang yang karakter aslinya pendiam dan berkepribadian tertutup di dunia nyata. Namun siapa yang menyangka ketika  berselancar di media sosial, mereka berubah jadi garang dan suka menyerang. 

Media sosial sejatinya bisa dimanfaatkan untuk berbagi pengalaman, sarana berpendapat, dan menyampaikan ide. Namun belakangan ini media sosial justru menumbuhkan perilaku penindas dan berkumpulnya pelaku ujaran kebencian. 

Sampai begitu parahkah fungsi media sosial sehingga menstimulus maraknya hoaks, pesan provokatif, dan sikap merendahkan orang di media sosial. 

Psikolog klinis Dr. M.M. Nilam Widyarini, M.Si menyatakan media sosial perlahan mengalami pergeseran fungsi. Keberanian orang untuk mem-bully dan nyinyir karena tidak terjadinya komunikasi secara tatap muka.

"Ya, memang demikian kenyataannya. Komunikasi melalui Internet memungkinkan terjadi deindividuasi," lontar Nilam saat dihubungi Health-Liputan6.com, Selasa (30/1/2018).

 

Simak juga video menarik berikut :

Alasan orang lebih galak saat di media sosial

Media Sosial
Ilustrasi Media Sosial (iStockphoto)

Deindivisuasi, Nilam menjabarkan, adalah kondisi ketika identitas seseorang tidak mudah dikenali.

"Pelaku bisa memakai nama samaran di media sosial, dia seperti berada dalam kerumunan sehingga memungkinkan orang tersebut melonggar kontrolnya terhadap perilaku, yang berarti menjadi impulsif," beri tahu Ketua Program Magister Psikologi Profesi di Universitas Gunadarma ini.

Tak heran kalau media sosial dimanfaatkan para pelaku bullying sebagai pabrik kebencian. Inilah yang akhirnya membuat orang jauh lebih berani, frontal, galak, dan senang menghujat ketika berada di media sosial.    

"Deindividuasi juga membuat orang kurang merasa bertanggungjawab atas tindakannya. Hal ini diakibatkan berkurangnya kemungkinan dia diamati secara tunggal dan dipersalahkan, khususnya bila merasa tidak sendirian," tutur Nilam.

Bos Lebih Sering Akses Media Sosial di Kantor Dibanding Bawahan
Ilustrasi (cnnmoney.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya