Mau Sehat, Jangan Anggap Produk Organik Ribet dan Mahal

Apabila ingin lebih sehat, masyarakat juga harus siap untuk ribet dalam mencari tahu tentang produk organik yang mereka konsumsi.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 12 Mar 2018, 11:30 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2018, 11:30 WIB
Seorang petani tengah memanen padi organik varites mentik wangi di Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Seorang petani tengah memanen padi organik varites mentik wangi di Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta Sayuran atau produk organik lain yang selama ini dianggap mahal karena masyarakat membelinya di tempat yang salah.

Ini dijelaskan Christopher Emille Jayanata, Ketua Komunitas Organik Indonesia (KOI).

"Sayur organik selama ini jadi mahal, ketika kita mencarinya di tempat yang salah. Seperti di supermarket modern dan yang lainnya. Itu harga menjadi mahal," kata Emille ketika ditemui Health Liputan6.com beberapa waktu lalu, di peluncuran buku Autoimmune and Me di Jakarta, ditulis Senin (12/3/2018).

Emille menerangkan, sertifikasi, label, dan izin produk tersebut membuatnya menjadi lebih mahal.

"Mereka mensyarakatkan kalau produk organik itu harus ada sertifikatnya. Beli sertifikat saja sudah mahal," kata Emille.

Menurut Emille, untuk membeli produk organik, masyarakat harus tahu tentang petani produk tersebut. Selain mengetahui tentang kandungan dalam produknya, dengan tahu siapa petaninya, harga akan bisa jauh lebih murah.

"Masyarakat kelas bawah biasanya tahu siapa petaninya. Kalau sudah tahu, harga bisa jadi lebih murah," tutur penulis buku Gaya Hidup Organik itu.

 

Simak juga video menarik berikut ini: 

Ribet di awal, lebih aman di kemudian hari

The Bale, Restoran Organik Pertama dan Tertinggi di Lembang Dibuka
Memetik sendiri tanaman organik di Organic Farm The Bale ( Liputan6.com/Novi Nadya)

Menurut Emille, organik juga tentang kepercayaan. Supermarket harus mengetahui proses dari penanaman produk organik agar mendapatkan produk yang baik.

Masyarakat juga harus tahu siapa yang membuat produk organik tersebut.

"Mereka harus tahu yang tanam siapa, orangnya di mana, kebunnya di mana. Dia bisa datang ke kebunnya dan lihat bagaimana menanamnya," kata Emille.

"Kalau bisa dapat sumber yang dipercaya itu bisa lebih baik," ucapnya.

Emille mengatakan, hal ini memang merepotkan di awal. Namun, ke depannya mereka akan merasa aman dengan makanan mereka.

"Ribet di awal jauh lebih mudah di kemudian hari. Kalau tidak mau ribet di awal, malah ribet saat kita kena penyakit dan dapat masalah karena pestisida," kata Emille.

 

Menanam sendiri

Petani tengah memanen padi organik di Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Petani tengah memanen padi organik di Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tidak hanya membeli, masyarakat juga bisa untuk menanam produk organik sendiri.

Menurut Emille, hanya dengan lahan sedikit, dia bisa menanam produk organik.

"Sedikit saja di depan rumah ada pot dia bisa tanam. Hidroponik yang vertikal juga bisa. Dengan lahan sempit, ditanam ke atas, itu bisa," kata Emille.

Menurut data yang dihimpun KOI, sekitar 1 hingga 3 persen petani di Indonesia, saat ini sudah mulai beralih menjadi petani organik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya