Â
Liputan6.com, Jakarta Sebagai seorang mahasiswa tunarungu, Rachmita Maun Harahap, atau Mitha (dia sebut dirinya demikian), mengaku pernah merasa diremehkan saat kuliah.
Baca Juga
"Waktu kuliah S3, saya di-bully teman seangkatan. Dia cewek normal," katanya ketika dihubungi Health Liputan6.com. Ditulis Kamis (15/3/2018).
Advertisement
Dia menceritakan, saat itu sedang presentasi di kelas. Perempuan yang menjadi audiensnya saat itu meminta penerjemah bahasa isyarat, karena Mitha dianggap tidak mampu presentasi dengan jelas.
"Saya bilang waktu itu ada paparan di layar yang lebih jelas. Saya cuekin dan lanjut presentasi. Dia malah keluar kelas. Saya masa bodoh. Aneh ya, sudah S3 kok minim toleransinya," kata ibu satu anak ini.
Mitha juga bercerita, terkadang putrinyalah yang menjadi penerjemah saat berkomunikasi dengan orang lain. Mitha akan mengajak serta anaknya itu jika sedang bertugas di luar kota. Dia enggan menitipkan si kecil.
"Sekalian anak saya bantu komunikasi dengan orang lain. Maka gratis kalau anak saya yang jadi penerjemah bahasa isyarat, hehehe," kata dosen yang mengajar di Universitas Mercu Buana ini.
Selain sebagai dosen, Mitha juga mendirikan salah satu yayasan tunarungu di Indonesia, Sehjira Deaf Foundation. Dia ingin agar mereka yang sama seperti dirinya, mendapatkan hak setara dengan orang lain.
"Tujuannya untuk pemberdayaan komunitas disabilitas pendengaran, supaya mendapatkan hak yang setara dengan orang yang pendengarannya normal," kata Mitha.
Yayasan ini didirikan pada tanggal 5 Desember tahun 2001 dan sudah beranggotakan 2.081 penyandang tunarungu.
Â
 Simak juga video menarik berikut ini:
Â
Â
Tes TOEFL Beratkan Tunarungu
Mitha mengatakan, saat ini memang akses pendidikan untuk penyandang disabilitas di Indonesia sudah berbeda dengan ketika dia kuliah dulu.
"Saat saya kuliah dulu, belum disahkan UU No. 8 tahun 2016. Kampus tidak punya fasilitas khusus," kata perempuan yang menempuh gelar sarjananya di jurusan arsitektur ini.
Namun, walaupun sudah lebih baik, ada beberapa bangunan perguruan tinggi yang dianggap belum memenuhi kaidah desain aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.
Mitha juga mengakui saat ini, belum banyak lulusan tunarungu yang bisa jadi sarjana. Salah satu yang menjadi kendala yakni peraturan.
"Saya sudah melakukan demo untuk menghapus persyaratan jurusan di Perguruan Tinggi tahun 2014. Sekarang ada Permenristekdikti no. 46 tahun 2017 tentang layanan disabilitas."
Tapi menurut Mitha, untuk persyaratan calon mahasiswa tunarungu agar bisa masuk perguruan tinggi, masih harus lulus Sekolah Menengah Atas. Sementara, kurikulum di SMA Luar Biasa (SMALB), hanya setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Selain itu, dia juga ingin agar persyaratan tes TOEFL untuk masuk perguruan tinggi lebih ramah bagi penyandang tunarungu.
Selama ini syarat itu dianggap menyulitkan para tunarungu yang kesulitan dalam tes mendengarkan.
Â
Advertisement
Akses Disabilitas Masih Buruk
Tidak hanya pendidikan, akses publik bagi penyandang disabilitas di Indonesia menurutnya masih buruk. Padahal, dia dilibatkan untuk menyusun desain fasilitas publik bagi tunarungu.
"Mungkin dinas tata kota atau dinas PU (Pekerjaan Umum) berpikir kalau materialnya mahal. Atau mungkin mereka tidak paham apa kebutuhan akses untuk disabilitas," keluh Mitha.
"Beberapa tahun kemarin ada permen PUPR baru no. 14 tahun 2017. Organisasi disabilitas tidak dilibatkan untuk mengkaji. Di situ penerapan desain universal tunarungu hanya 1 persen. Saya tidak puas, padahal sudah saya buat konsepnya," kata perempuan yang mengidolakan Thomas Alva Edison ini.