Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Prof Dr dr Moh Hasan Machfoed Sp.S(K), menganggap metode terapi cuci otak (CO) dokter Terawan Agus Putranto (yang kemudian disingkat dr T) tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat.Â
Pernyataan ini ia tuangkan melalui tulisannya berjudul "Gonjang Ganjing Terapi Cuci Otak" di Jawa Pos pada Senin, 9 April 2018. Machfoed juga menduga bahwa dokter Terawan membelokkan fungsi DSA (Digital Substraction Angiography), yang awalnya berfungsi sebagai sarana diagnosis menjadi sarana terapi, bahkan prevensi.
Baca Juga
"Dokter T menganggap heparin dapat menghancurkan gumpalan darah, sehingga CO dapat mengobati dan mencegah stroke. Secara ilmiah, itu pandangan yang keliru," tulis Profesor Hasan.
Advertisement
Menurut Hasan, yang bisa menghancurkan gumpalan darah adalah jenis obat dalam kelompok tissue plasminogen activator (TPA), bukan heparin. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini menambahkan, terapi ini bisa menimbulkan efek samping, seperti pendarahan, gumpalan trombus, alergi kontras, dan lain-lain.
Testimoni yang beredar mengenai keberhasilan terapi ini, menurut Hasan, kebanyakan datang dari orang-orang yang melakukan terapi agar terhindar dari stroke, tapi tidak pernah mengalami stroke.Â
Hasan menceritakan, pada 17 Mei 2013, seorang radiolog di RSUD dr. Soetomo melakukan CO pada perempuan 68 tahun dengan stroke iskemik. Pasien tersebut meninggal setelah masuk ICU usai melakukan CO. Akibat tidak mampu membuktikan secara ilmiah, praktik ini dilarang di RSUD dr. Soetomo.
"Sayang dunia kedokteran hanya mengenal evidence-based medicine (EBM), yaitu tindakan medis yang didasarkan pada bukti ilmiah berupa hasil penelitian yang valid dan universal," tulis Hasan.
Menurut dia, The Stroke Management Guidelines sebagai panduan terapi stroke dunia, tidak pernah merekomendasikan heparin sebagai terapi stroke.
Â
Simak juga video menarik berikut ini:Â
Sarankan Uji MRI Setelah Cuci Otak
Hasan menambahkan, sebagai produk ilmiah, disertasi dr T mengenai terapi tersebut bersifat communalism.
Artinya, setelah dipublikasikan, temuan baru itu menjadi milik masyarakat ilmiah untuk digunakan. Dalam hal ini, yang paling berkepentingan adalah para neurolog.
Hasan mengatakan, sesungguhnya metode ini bisa diuji lagi oleh para ahli lain secara langsung. Beberapa pasien stroke kronis bisa dikumpulkan, untuk diperiksa dengan MRI mengenai sumbatan otak.
Mereka lalu bisa melakukan metode cuci otak dan kemudian melakukan MRI ulang untuk mengetahui apakah sumbatan otak berkurang atau tidak.
Advertisement