Sekolah Ramah Anak Bukan Sekadar Bebas dari Kekerasan

Demi kehidupan siswa yang nyaman di lingkungan sekolah, program Sekolah Ramah Anak (SRA) bukan sekadar zero kekerasan

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 02 Mei 2018, 15:15 WIB
Diterbitkan 02 Mei 2018, 15:15 WIB
Ilustrasi Sekolah dan Anak (iStockphoto)
Sekolah Ramah Anak (SRA) bukan sekadar zero kekerasan. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta KPAI mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama RI untuk bersinergi menciptakan sekolah aman dan nyaman. Hal ini ditindaklanjuti dalam program Sekolah Ramah Anak (SRA). Percepatan SRA harus dilakukan seluruh Kementerian Lembaga (KL).

Namun, SRA selama ini hanya dipahami sebatas, sekolah aman dari kekerasan. Padahal, SRA sesungguhnya, menurut Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, adalah sekolah yang aman dan nyaman untuk mengantarkan anak-anak Indonesia menjadi generasi penerus bangsa yang handal.

"SRA bukan sekedar zero kekerasan ya. Kekerasan ini berupa kekerasan fisik, psikis sampai kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah. Tetapi prinsip SRA ini harus punya kantin yang sehat. Jajanan di sekolah didominasi karbohidrat, makanan yang tidak mengandung pemanis, penyedap, dan pengawet.

Jarang juga kantin sekolah menyediakan buah dan sayur. Padahal, anak kan lagi masa tumbuh kembang. Butuh makanan yang sehat dan gizi seimbang," kata Retno dalam rilis yang diterima Health Liputan6.com, Rabu (2/5/2018).

Sekolah yang menerapkan SRA juga wajib menciptakan lingkungan sekolah yang aman secara fisik, asri dan hijau. Sekolah harus punya jalur evakuasi bencana, bebas asap rokok, bebas narkoba, dan punya nomor pengaduan.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

Tren kasus kekerasan di sekolah

Kasus Bully di Kota & Desa di Indonesia Hampir Sama
84 persen siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah.

Berdasarkan Ikhtisar Eksekutif Startegi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 oleh Kemen-PPPA menunjukkan, kekerasan di satuan pendidikan cukup tinggi, baik yang dilakukan guru pada siswa, siswa terhadap guru, maupun siswa terhadap siswa lainnya.

Adapun datanya adalah sebagai berikut:

  1. 84 persen siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah
  2. 45 persen siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan
  3. 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya
  4. 75 persen siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah
  5. 22 persen siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan
  6. 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah

Didominasi kekerasan fisik

Ilustrasi Bullying
Kekerasan di sekolah didominasi kekerasan fisik. (Liputan6.com/Trie yas)

Berdasarkan data KPAI dalam tri semester pertama tahun 2018, pengaduan ke KPAI juga didominasi kekerasan fisik dan anak korban kebijakan (72 persen), sedangkan kekerasan psikis (9 persen), kekerasan finansial atau pemalakan/pemerasan (4 persen), dan kekerasan seksual (2 persen).

Ada juga kasus kekerasan seksual oknum guru terhadap peserta didik yang viral di media. Meski tidak dilaporkan langsung ke KPAI, KPAI tetap melakukan pengawasan langsung mencapai 13 persen kasus. Umumnya kasus kekerasan seksual lebih banyak dilaporkan ke kepolisian.

"Kalaupun dilaporkan ke KPAI biasanya KPAI akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan agar oknum guru pelaku di nonaktifkan dari tugasnya mengajar. Ini demi melindungi anak-anak lain di sekolah itu," Retno menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya