Jumlah Pasien Masih Tinggi, Pemahaman Orang Terhadap Depresi Masih Saja Rendah

Depresi pada dasarnya bisa disembuhkan selama tak ada stigma mengenai ini

oleh Aditya Eka PrawiraLiputan6.com diperbarui 24 Jun 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2019, 15:00 WIB
Depresi
Simposium ' Lundbeck Regional Symposium' yang Diadakan di Jakarta pada 22 sampai 23 Juni 2019 Fokus Membahas Soal Depresi dan Pengobatannya (Dokumen : Rilis)

 

 

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada 2017 menyatakan bahwa depresi menduduki peringkat nomor empat penyakit di dunia. Disebutkan pula sekitar 300 juta dari total populasi dunia mengalami gangguan mental ini.

Meski angka prevalensi depresi tinggi, pemahaman masyarakat akan kondisi ini masih sangat rendah.

Ini terbukti dengan masih adanya stigma yang menghambat pasien depresi memperoleh dukungan dari orang sekitar supaya dapat hidup normal kembali.

Tingginya angka pasien tanpa diikuti pemahaman masyarakat terhadap depresi menjadi hal paling disoroti dalam Lundbeck Regional Symposium yang diadakan pada 22 sampai 23 Juni di Jakarta. 

Selama dua hari, 450 dokter dari Asia Selatan dan Asia Timur yang hadir pada simposium ini membahas perihal manajemen kesehatan jiwa dan konsekuensinya bila pasien tidak menerima pengobatan yang tepat.

Pada kesempatan itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr Eka Viora, menjelaskan perihal depresi yang kerap dipandang aib lantaran berhubungan dengan kesehatan mental, bukan fisik. 

Menurut Eka, pandangan yang salah itu membuat pasien jadi enggan mencari dukungan dan melakukan pengobatan.

"Padahal, orang dengan gangguan depresi bila pulih sepenuhnya dan pasien seharusnya tanpa ragu mencari dukungan dan pengobatan," kata Eka seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 24 Juni 2019. 

 


Stigma Lain Tentang Pasien Depresi

Depresi
Simposium ' Lundbeck Regional Symposium' yang Diadakan di Jakarta pada 22 sampai 23 Juni 2019 Fokus Membahas Soal Depresi dan Pengobatannya (Dokumen : Rilis)

Hadir pula Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr Margarita Maramis yang menyinggung soal diskriminasi yang sering didapat pasien depresi. 

Diskriminasi itu berupa asumsi yang menilai pasien depresi tidak mau bersosialisasi, tidak bisa dipercaya, yang pada akhirnya membuat sebagian pasien memutuskan untuk meninggalkan kehidupan normalnya tanpa melakukan pengobatan. 

"Akibatnya, mereka menghindari hubungan yang terlalu pribadi dengan orang lain, seperti berhenti bekerja atau berhenti sekolah," kata Margarita.

 

 


Apa Itu Depresi dan Pengobatannya

Perwujudan dari kondisi ini berupa suasana hati yang buruk dan perasaan sedih yang memengaruhi kualitas hidup pasien. Selain memperikirakan bahwa 300 orang dari total populasi dunia mengalami depresi, di tahun yang sama WHO merilis data yang menyebut setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri.

Berdasarkan penelitian profesor klinis dan konsultan psikiater Kanada, Prata Chokka menunjukkan bahwa penderita depresi mengalami penurunan produktivitas kerja atau gangguan fungsi dalam kegiatan sehari-hari seperti tidak fokus, pelupa, lambat menanggapi percakapan, dan lambat dalam mengelola tugas sehari-hari.

Selama ini proses pemulihan pasien masih menggunakan antidepresan, tetapi ada beberapa pihak yang beranggapan bahwa penggunaan antidepresan tidak membawa manfaat bagi pasien bahkan memberi banyak efek samping.

Menurut profesor klinis neuropsikiatri di Fakultas Kedokteran, Universitas Carolina Selatan, Amerika, Vladimir Maletic yang hadir pada simposium itu mengatakan bahwa penggunaan antidepresan pada pasien depresi telah mengalami evolusi, seperti Vortioxetine dengan efek samping yang lebih minimal dapat mengatasi gejala-gejala depresi sehingga pasien dapat kembali melakukan aktivitas normal.

Penulis : Febrianingsih Alamako

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya