Peneliti Eijkman Jelaskan Kelemahan Rapid Test untuk Deteksi COVID-19

Peneliti dari LBM Eijkman menjelaskan beberapa kelemahan dari rapid test COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 20 Mar 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2020, 11:00 WIB
Peneliti Laboratorium
Ilustrasi Foto Peneliti (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Rapid test atau tes cepat atau tes massal COVID-19 menjadi pilihan pemerintah Indonesia untuk menangani untuk mendeteksi infeksi virus corona dengan cepat. Namun, tes cepat atau rapid test juga dinilai memiliki beberapa kelemahan.

"Rapid test itu kan tes massal. Datangnya dari menggunakan kita mengambil darah sebenarnya," kata Herawati Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dalam diskusi jarak jauh yang diadakan oleh Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), ditulis Jumat (20/3/2020).

Herawati mengatakan, tingkat kepercayaan dari rapid test adalah yang paling rendah dibandingkan tes deteksi COVID-19 yang lainnya. Hal ini karena yang diperiksa bukan virusnya.

"Memang massal, tapi yang kita periksa bukan virusnya. Yang kita periksa adalah zat anti yang dibuat tubuh kalau dia terpapar oleh virus," kata Herawati.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

Hasil yang Akurasinya Rendah

Peneliti Laboratorium
Ilustrasi Foto Peneliti (iStockphoto)

Herawati menjelaskan bahwa dalam rapid test, pemeriksaan mungkin saja menunjukkan hasil seperti false negative atau false positive. Hal ini terkait dengan antibodi yang terbentuk dalam tubuh ketika seseorang sudah terpapar virus atau belum.

"Rapid test itu mudah sekali dilakukan makanya cuma 15 menit. Tetapi ini tadi bahwa dia harus diinterpretasi sangat hati-hati," kata Herawati.

"Karena apa, hasil positif tidak bisa memastikan dia betul terinfeksi COVID-19 saat ini. Hasil negatif tidak bisa menyingkirkan bahwa dia ada infeksi virus tersebut. Sehingga, kalau negatif kalau tidak meyakinkan seperti itu, dia kan berpotensi menularkan pada yang lainnya."

Harus Dikonfirmasi dengan Tes Molekul

Peneliti Laboratorium
Ilustrasi Foto Peneliti (iStockphoto)

Selain itu, Herawati juga menjelaskan bahwa orang-orang dengan Immunocompromised (penurunan sistem kekebalan tubuh), apabila mendapatkan rapid tes, mereka akan menghasilkan temuan negatif karena tubuhnya tidak bisa membentuk zat antibodi dan tidak terdeteksi oleh pemeriksaan.

Maka dari itu, rapid test juga harus mendapatkan konfirmasi dengan tes molekul apabila hasilnya diragukan.

"Konfirmasinya kemana, konfirmasinya ke (tes) molekul," kata Herawati. Sehingga saat ini, yang terpenting juga bagaimana kesiapan laboratorium-laboratorium yang ada di Indonesia dan mampu melakukan konfirmasi tersebut.

"Jadi itu sebenarnya yang harus kita pikirkan dalam menentukan apakah ini akan menjadi pilihan untuk melakukan skrining. Sebagai penapis ya, tapi setelah itu harus dikonfirmasi (melalui tes molekuler)," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya