Imunitas Tubuh Turun, Pasien Diabetes dan HIV Dianjurkan Skrining Tuberkulosis

Pasien diabetes melitus (DM) dan HIV aids dianjurkan untuk melakukan skrining tuberkulosis (TB), ini alasannya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 26 Mar 2021, 20:00 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2021, 20:00 WIB
Ilustrasi TB
Ilustrasi TB. Foto: Pixabay (Mohamed_Hassan).

Liputan6.com, Jakarta - Pasien diabetes melitus (DM) dan HIV dianjurkan untuk melakukan skrining tuberkulosis (TB/TBC). Dokter spesialis paru Siloam Hospital, Allen Widysanto, mengatakan hal ini karena kedua penyakit tersebut terkait erat dengan TB. 

“Memang di sini ada keterkaitan antara TB diabetes melitus (DM) dengan TB HIV jadi saya rasa ini diperlukan karena pasien DM yang tinggal di negara endemis TB akan sangat mudah tertular TB karena adanya penurunan sistem imun,” ujar Allen dalam seminar daring TB Indonesia, Rabu (25/3/2021).

Pada pasien-pasien tersebut Allen menganjurkan untuk mengobati diabetesnya serta TB. 

“Karena jika hanya salah satu saja yang diobati maka itu tidak akan sembuh.”

Ia memberi contoh, pasien TB DM jika TB-nya saja yang diobati dan diabetesnya tidak diobati maka kesembuhannya akan sulit sekali. Demikian juga sebaliknya, apabila DM-nya saja yang diobati dan TB-nya tidak, maka tidak bisa sembuh juga.

Simak Video Berikut Ini

TB HIV

Untuk TB HIV, Allen mengatakan bahwa latar belakangnya juga mirip dengan TB DM.

“Jadi latar belakangnya adalah, pasien-pasien yang memiliki sistem imunitas yang kurang baik. Kita tahu pada HIV sistem imunnya terutama yang dipakai untuk menyerang kuman TB itu sangat lemah bahkan kurang.”

Hal ini juga menyebabkan sangat mudahnya pasien HIV terkena TB. Maka dari itu, upaya menjaring pasien-pasien TB dari pasien HIV sangat penting.

“Oleh karena itu, program pemerintah yang menganjurkan untuk skrining TB pada pasien HIV saya rasa adalah salah satu program yang bagus sekali sehingga bisa membantu untuk segera menemukan kasus-kasus TB yang tersembunyi pada pasien HIV,” tutupnya.  

Upaya Penanganan TB

Dalam acara yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam 3 negara dengan kasus tuberkulosis tertinggi di dunia.

Maka dari itu, dibutuhkan strategi untuk menurunkan angka kasus dan mencapai target eliminasi TB di 2030, katanya.

Menurutnya, dalam menangani kasus TB, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan fokus terhadap penanganan kasus COVID-19 terlebih dahulu.

"Tentunya yang akan menjadi fokus kita untuk saat ini adalah keluar dari situasi pandemi COVID-19. Nanti kalau laju penularan COVID-19 sudah mulai turun, secara paralel kita juga akan melaksanakan program-program lain,” ujar Nadia.

Program yang dimaksud terutama upaya mengintegrasikan kegiatan dari pelacakan kasus COVID-19 dengan investigasi kontak dari tuberkulosis, tambahnya.

“Jadi ini yang akan kita lakukan untuk kemudian mencapai eliminasi tuberkulosis 2030.”

Langkah kedua yang akan dilakukan beriringan dengan penanganan COVID-19 adalah mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya menemukan kasus secara aktif. Dalam proses pencarian kasus TB tersebut, protokol kesehatan akan tetap diterapkan, kata Nadia.

"Jadi kegiatan-kegiatan ini akan kita lakukan karena kita sudah lihat dampak di 2020 di mana penurunan kasus TB sangat jauh dari yang ditargetkan, kita ingin mencapai target 80 persen tapi ternyata yang kita temukan itu hanya 30 persen,” imbuhnya.

Infografis Hati-Hati, Ini 5 Gejala Batuk Akibat COVID-19

Infografis Hati-Hati, Ini 5 Gejala Batuk Akibat Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Hati-Hati, Ini 5 Gejala Batuk Akibat Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya