dr Lois Sebut Kematian Pasien COVID-19 karena Interaksi Obat, Guru Besar Farmasi UGM Ungkap Faktanya

Guru Besar Farmasi meluruskan pernyataan dr Lois yang menyebut kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 12 Jul 2021, 06:45 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2021, 06:45 WIB
FOTO: Berjibaku Melawan Gelombang Virus Corona COVID-19 di Indonesia
Tim penanganan membawa jenazah seorang pasien COVID-19 yang meninggal di rumah selama isolasi mandiri karena rumah sakit setempat tidak mampu lagi menampung pasien COVID-19 di Bogor, Jawa Barat, Senin (6/7/2021). (ADITYA AJI/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Heboh sejak Sabtu, 10 Juli 2021, sebuah pernyataan dari dokter Lois Owien atau dr Lois yang menyebut bahwa kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat.

Bahkan, beberapa kicauannya di akun Twitter @LsOwien, dr Lois yang mengaku tidak percaya COVID-19 kerap menyebut pemberian obat lebih dari enam macam plus dobel antibiotika dan dobel dosis antivirus yang dia yakini menjadi biang keladi penyebab kematian banyak orang akhir-akhir ini. 

Agar bola bola panas tidak semakin besar, Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati angkat bicara mengenai interaksi obat yang disinggung dr Lois. 

Menurut Zullies, interaksi obat terjadi karena adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada pasien.

Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain (bersifat sinergis atau aditif), mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan.

"Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya. Ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi, tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," kata Zullies sebagaimana pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com pada Minggu, 11 Juli 2021 malam.

Kapan interaksi obat dapat menguntungkan?

Zullies Ikawati menekankan bahwa banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapi. Apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid).

"Bahkan satu penyakit pun bisa membutuhkan lebih dari satu obat. Contohnya, hipertensi. Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi," katanya.

"Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme berbeda, sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru," Zullies menekankan.

Dalam hal ini, obat di atas dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi yang terjadi adalah interaksi yang menguntungkan. Ini karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah. Meski begitu, tetap harus diperhatikan terkait risiko efek samping, karena semakin banyak obat, tentu risikonya bisa meningkat.

 

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

Pemilihan Obat Terapi COVID-19 yang Terbaik

FOTO: Berjibaku Melawan Gelombang Virus Corona COVID-19 di Indonesia
Seorang pasien virus corona COVID-19 terlihat menggunakan oksigen di unit perawatan intensif (ICU) di sebuah rumah sakit di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (7/7/2021). Indonesia memperluas pembatasan untuk memerangi gelombang virus corona COVID-19 yang mematikan. (Azwar Ipank/AFP)

Bagaimana dengan terapi COVID-19? Zullies Ikawati menerangkan, COVID-19 memang penyakit yang unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi. Pada pasien yang bergejala sedang sampai berat, misalnya, dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.

"Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," terangnya.

"Dalam hal ini, dokter akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya,"

Kapan interaksi obat dapat merugikan? Interaksi obat dapat merugikan, jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yg digunakan bersama. Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya.

"Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi COVID-19 atau azitromisin dengan levofloksasin," Zullies menambahkan.

"Mereka sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan bersama, bisa terjadi efek total yang membahayakan."

Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.

Misalnya, efek penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya.

Dampak Interaksi Obat Harus Dilihat Tiap Kasus yang Ada

RSUD Cengkareng Dirikan Tenda Darurat untuk Pasien Covid-19
Petugas medis merawat pasien di dalam tenda darurat di depan UGD RSUD Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (24/6/2021). Lonjakan kasus virus corona mengakibatkan ruang IGD penuh, pihak rumah sakit lantas mendirikan tenda darurat untuk merawat pasien covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Bagaimana menghindari interaksi obat? Kadang kala, menurut Zullies Ikawati, dalam terapi tidak bisa dihindarkan untuk menggunakan kombinasi obat. Bahkan bisa lebih dari 5 macam obat.

Untuk itu, perlu dipilih obat yang paling kecil risiko interaksinya. Banyak buku teks tentang Interaksi Obat yang dapat digunakan sebagai panduan dalam memilih obat yang akan dikombinasikan untuk meminimalkan interaksi obat.

"Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis. Yang artinya, aman-aman saja untuk dikombinasikan atau digunakan bersama. Pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya," ucap Zullies.

Mekanisme interaksi obat itu sendiri bisa melibatkan aspek farmakokinetik (memengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).

Untuk obat yang interaksinya terjadi jika mereka bertemu secara fisik, seperti obat antibiotika golongan kuinolon dengan calcium yang membentuk ikatan kelat, misalnya, maka pemberian dengan jeda waktu yang lebar dapat menghindarkan interaksinya.

Tetapi, jika mekanismenya adalah memengaruhi metabolisme obat, sehingga menyebabkan kadar obat lain meningkat atau berkurang, maka pengatasannya adalah dengan penyesuaian dosis obat. Ini karena hanya memberi jeda waktu pemberian tidak akan mengurangi dampak interaksinya.

Jika pemberian jeda pemberian dan penyesuaian dosis tidak dapat mencegah dampak interaksi, maka cara lain menghindari interaksi obat adalah dengan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat lain yang kegunaannya sama, tetapi kurang berinteraksi.

"Sekali lagi, dampak interaksi obat tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, sehingga pengatasannya pun berbeda-beda pada setiap kasus," Zullies menegaskan.

Interaksi Obat Tidak Mudah Sebabkan Kematian

FOTO: Kasus Kematian Akibat COVID-19 di Tangerang Selatan Meningkat
Petugas memakamkan korban COVID-19 warga Tangerang Selatan yang meninggal di Bandung di TPU Jombang, Tangerang Selatan, Banten, Senin (21/6/2021). Korban COVID-19 yang dimakamkan dalam satu hari rata-rata 5 sampai 10 jenazah. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebagaimana penjelasan di atas, Zullies Ikawati menegaskan, interaksi obat tidak semudah menyebabkan kematian, terutama dalam hal ini kematian akibat COVID-19.

"Jadi, interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian. Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan," tegas Zullies, yang ikut terlibat dalam penanganan CcOVID-19 dan vaksin.

"Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, misal menghentikan atau mengganti obatnya."

Perihal obat kepada pasien juga perlu kerja sama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien (dokter, perawat, apoteker dan lainnya) supaya dapat memantau terapi dengan lebih cermat.

"Agar tidak berdampak membahayakan bagi pasien. Dengan demikian, jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien COVID-19 adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," tutup Zullies.

Infografis Alur Telemedicine dan Obat Gratis untuk Pasien Isoman Covid-19

Infografis Alur Telemedicine dan Obat Gratis untuk Pasien Isoman Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Alur Telemedicine dan Obat Gratis untuk Pasien Isoman Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya