Liputan6.com, Jakarta - Hasil suveillance Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di 70 negara di dunia pada 2017 menunukkan, kematian akibat AMR telah mencapai 700.000 orang per tahun.
"Dan ini diperkirakan akan terus meningkat dan menjadi pandemi AMR di tahun 2050 dengan angka kematian 10 juta orang per tahun," sebut dr Benjamin Sikombing MPH, National Officer for AMR dari WHO Indonesia, dalam virtual media briefing Antimicrobals Awarness Week (WAAW) 2021 pada Kamis (18/11/2021).
Baca Juga
Hal ini membuktikan betapa mengkhawatirkan masalah resistensi antimikroba ini. Karena dapat menjadi masalah keamanan global karena bisa menyebabkan bahaya serius bagi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Advertisement
Disampaikan Direktur Mutu dan Akreditas Pelayanan Kesehatan dr. Kalsum Komaryani MPPM, resistansi Antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR) adalah suatu kondisi dimana obat antimikroba tidak lagi efektif bagi seseorang, hewan, atau tumbuhan, dan infeksi menjadi semakin sulit atau tidak mungkin untuk diobati.
Kondisi ini terjadi ketika bakteri, virus, jamur dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon obat-obatan membuat infeksi lebih sulit untuk diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit parah dan kematian.
Penggunaan Antibiotik yang Kurang Tepat Menjadi Penyebab Resistansi Antimikroba
Ditinjau dari segi kesehatan, Kalsum Komaryani menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan resistansi antimikroba ini terjadi. Salah satunya, penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
"Ini sering kali terjadi," sebut Kalsum. "Dikiranya antibiotik itu seperti obat penahan sakit yang sekali minum selesai."
Padahal, terdapat aturan khusus pada setiap antibiotik.
Oleh karena itu, gunakan antibiotik hanya jika diresepkan oleh tenaga medis. Jangan meminta antibiotik jika dokter mengatakan kita tidak membutuhkannya.
Benjamin juga meminta pemerintah untuk mempertegas regulasi pemberian obat antibiotik khusus untuk pemberian antibiotik secara online.
"Ini perlu regulasi khusus mengingat pemberian obat secara online ini sulit dimonitor," ucap Benjamin.
Reporter: Lianna Leticia
Advertisement