Liputan6.com, Jakarta - Beberapa studi mengungkapkan bahwa isu kesehatan mental lebih banyak dialami pada masyarakat perkotaan dibanding pedesaan.
Pada sebuah studi meta-analisis tahun 2012 misalnya. Ditemukan adanya peningkatan skinzofrenia bagi mereka yang tinggal di kawasan perkotaan.
Baca Juga
Melalui riset pada tahun 2011 yang bertajuk “City living and urban upbringing affect neural social stress processing in humans”, Florian Lederbogen menemukan kalau orang yang tinggal di kawasan perkotaan cenderung mengalami peningkatan aktivitas di bagian amigadala, yaitu bagian otak yang mengatur emosi dan ketakutan, termasuk stres.
Advertisement
Para peneliti dari Lise Meitner Group for Environmental Neuroscience di Max Planck Institute for Human Development di Jerman juga melakukan studi terkait eksplorasi manfaat kesehatan mental dari alam.
Dalam studi tersebut, para peneliti berusaha mencari tahu apakah tingkat penyakit mental yang lebih tinggi di daerah perkotaan terkait dengan individu yang memiliki akses lebih sedikit ke alam, atau apakah jenis orang tertentu tertarik untuk tinggal di lingkungan tertentu.
Dikutip dari laman Medical News Today, Sonja Sudimac, seorang rekan pre-doktoral dari ilmu saraf lingkungan yang juga peneliti utama Lise Meitner Group ini mengatakan, “Tidak mungkin untuk menguraikan masalah ayam dan telur, yaitu apakah alam benar-benar menyebabkan efek di otak atau apakah individu tertentu memilih untuk tinggal di daerah pedesaan atau perkotaan.”
Mempelajari ketakutan pada raut wajah
Untuk menentukan hipotesis pada studi ini, para peneliti melalukan pemeriksaan aktivitas otak melalui tes MRI pada 63 peserta tersebut ketika sebelum dan sesudah berjalan ke alam terbuka selama 1 jam.
Relawan penelitian terdiri dari 29 perempuan dan 34 laki-laki berusia antara 18 dan 47 tahun. Usia rata-rata adalah 27 tahun.
Pada setiap proses pemindaian MRI, setiap peserta diberikan serangkaian tes untuk menangkap ekspresi ketakutan pada wajah mereka.
Setelah proses pemindaian dan tes selesai, sebanyak 31 peserta dipersilahkan untuk berjalan-jalan sekitar 1 jam di alam terbuka pada kawasan ramai di Berlin, Jerman. Sedangkan 32 lainnya berjalan di sekitar kawasan alam terbuka.
Selama melakukan sesi jalan-jalan, peserta mengenakan gelang yang memantau aktivitas elektrodermal (EDA), variabilitas detak jantung (HRV), dan detak jantung mereka.
Hasilnya?
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa setelah hanya 1 jam berjalan di alam, aktivitas di daerah otak yang terlibat dalam proses stres berkurang,” kata Sudimac.
Sudimac juga menambahkan, “Ini adalah temuan penting karena menunjukkan untuk pertama kalinya hubungan sebab akibat antara paparan alam dan perubahan di daerah otak yang berhubungan dengan stres."
Advertisement
Menghilangkan Stres dengan Berjalan Kaki 15 Menit
Untuk orang-orang yang super sibuk dan tidak memiliki waktu luang yang cukup, pasti bertanya-tanya "apakah meluangkan waktu 15 menit untuk berjalan kaki saja, cukup untuk menghilangkan stres?"
Melalui wawancara ini, Sudimac juga menuturkan kalau studi tentang pengurangan stres melalui berjalan kaki ringan selama 15 menit masih akan diteliti.
Apakah berjalan kaki ringan dalam waktu 15 menit juga memiliki pengaruh yang sama seperti berjalan santai selama 1 jam di alam terbuka.
“Kami memilih durasi 1 jam karena lebih dari itu bisa melelahkan bagi sebagian peserta yang tidak terbiasa melakukan latihan fisik,” jelas Sudimac.
Ia menambahkan, “Ada beberapa bukti bahwa indikator fisiologis stres, seperti hormon stres kortisol, lebih rendah setelah berjalan selama 15 menit di alam dibandingkan dengan berjalan-jalan di lingkungan perkotaan.
Jadi akan menarik untuk memeriksa apakah paparan yang lebih singkat ke alam juga menurunkan aktivitas amigdala.”