Liputan6.com, Jakarta - Program kesehatan jiwa di Indonesia sebelumnya berfokus pada tindakan kuratif dan rehabilitatif. Kini, fokus tersebut mulai bertransisi menjadi promotif dan preventif.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi dalam Global Mental Health Summit yang diadakan pada 13-14 Oktober 2022 di Roma, Italia.
Baca Juga
“Dalam agenda transformasi layanan primer, Kementerian Kesehatan menekankan aksi promotif dan preventif yang lebih kuat,” ujar Endang, mengutip keterangan pers, Minggu (16/10/2022).
Advertisement
“Program kesehatan jiwa kami bertransisi dari kuratif dan rehabilitatif berbasis fasilitas menjadi mempromosikan kesehatan jiwa, meningkatkan deteksi dini dan pencegahan, serta manajemen kasus yang lebih baik di tingkat pelayanan primer,” tambahnya.
Global Mental Health Summit menjadi ajang untuk memperkuat aksi global dari pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat sipil untuk mengatasi isu kesehatan mental. Pasalnya, perawatan kesehatan jiwa baru-baru ini semakin mundur akibat tekanan krisis kesehatan dan kemanusiaan.
Acara ini juga digelar untuk mengatasi kelemahan struktural yang mempersulit jutaan orang menerima perawatan kesehatan jiwa yang memadai.
Pada kesempatan tersebut Endang berkesempatan mendengarkan dan berbagi pengalaman dengan negara-negara peserta lain.
Salah satu pengalaman baik yang dibagikan delegasi Indonesia adalah banyak inovasi di level puskesmas. Misalnya memberdayakan penyandang gangguan jiwa yang sudah pulih, sehingga mereka bisa mandiri dan produktif.
Promosi kesehatan jiwa di masyarakat dilakukan melalui posyandu yang dibantu oleh para kader kesehatan masyarakat. Promosi kesehatan jiwa juga dilakukan melalui upaya kesehatan sekolah.
Di Tingkat Kabupaten dan Provinsi
Sedangkan di tingkat kabupaten kota dan provinsi, telah dibentuk Tim Pelaksana/Pengarah Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM). Tim ini bertugas sebagai wadah koordinasi untuk pelaksanaan program kesehatan jiwa masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2014.
Tim tersebut terdiri dari berbagai lini kementerian, organisasi profesi, dan perwakilan masyarakat yang memiliki peran strategis dalam upaya kesehatan jiwa.
Indonesia juga sangat terbuka akan kerja sama para mitra akademisi dan masyarakat sipil untuk menjalankan misi memperkuat pelayanan dan program kesehatan jiwa terpadu yang komprehensif dan berkelanjutan.
Kesehatan jiwa menjadi isu yang semakin banyak diperbincangkan beberapa tahun ke belakang. Apalagi semenjak pandemi COVID-19 di mana banyak masyarakat yang terdampak tidak hanya pada aspek kesehatan tapi juga ekonomi dan hubungan sosial.
Advertisement
Perhatian Khusu pada Isu Kesehatan Jiwa
Kementerian Kesehatan RI sendiri sudah sejak lama memiliki perhatian khusus pada isu kesehatan jiwa. Perhatian khusus ini ditandai dengan pembentukan Direktorat Kesehatan Jiwa sejak tahun 1958.
Seiring berjalannya waktu, Direktorat Kesehatan Jiwa sempat berpindah pindah Direktorat Jenderal, dan yang terkini berada di dalam Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Endang juga mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir persentase masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan mental meningkat.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan prevalensi Rumah Tangga dengan anggota menyandang gangguan jiwa skizofrenia meningkat dari 1,7 permil menjadi 7 permil di tahun 2018.
Gangguan mental emosional pada penduduk usia di bawah 15 tahun, juga naik dari 6,1 persen atau sekitar 12 juta penduduk (Riskesdas 2013) menjadi 9,8 persen atau sekitar 20 juta penduduk.
“Kondisi ini diperburuk dengan adanya COVID-19. Saat pandemi, masalah gangguan kesehatan jiwa dilaporkan meningkat sebesar 64,3 persen baik karena menderita penyakit COVID-19 maupun masalah sosial ekonomi sebagai dampak dari pandemi,” kata Endang.
Fasilitas dan SDM Masih Kurang
Makin tingginya persentase masalah kesehatan jiwa, disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga psikolog yang masih kurang.
“Kita juga melihat dari data-data pelayanan yang ada, saat ini baru sekitar 50 persen dari 10.321 unit Puskesmas kita yang mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa,” ujar Endang.
Sementara sisanya belum memiliki layanan kesehatan jiwa. Pun dengan layanan kesehatan jiwa di RS, jumlahnya juga belum merata. Masih ada 4 provinsi yang belum memiliki RS Jiwa dan baru 40 persen RS umum yang ada fasilitas pelayanan Jiwa.
Berbanding lurus dengan ketersediaan pelayanan kesehatan jiwa di fasyankes dan puskesmas, jumlah psikiater yang ada saat ini belum mencukupi.
Rasio psikiater di Indonesia masih sangat timpang yakni 1:200.000 penduduk. Artinya setiap 1 psikiater harus melayani 200.000 penduduk. Rasio ini masih jauh dari standar WHO yang mensyaratkan rasio psikiater dan jumlah penduduk idealnya 1:30.000.
Tak hanya dari sisi jumlah, sebaran psikiater juga belum merata. Masih terkonsentrasi di kota-kota besar saja.
“Untuk itu peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (10 Oktober) menjadi momentum penting untuk memperkuat jejaring layanan kesehatan Jiwa mulai dari tingkat masyarakat, Puskesmas sampai RS Rujukan,” kata Endang.
Advertisement