Liputan6.com, Jakarta China disarankan mengubah nama resminya untuk COVID-19. Usulan itu disampaikan oleh otoritas terkemuka pengobatan tradisional China agar dapat lebih mencerminkan mutasi virus.
Belum diketahui apa nama baru yang diusulkan. Namun selama ini, nama resmi COVID-19 yang ada dalam bahasa China ternyata teridentifikasi sebagai 'penyakit penyebab pneumonia'.
Baca Juga
Mengutip laman Straits Times, Kamis (8/12/2022), pakar medis sekaligus ketua Association of Chinese Medicine, Gu Xiaohong mengungkapkan bahwa makna itu harus diubah sebutannya sebagai 'virus menular' saja.
Advertisement
Gu mengungkapkan asosiasi yang ia pimpin pun telah mencapai konsensus untuk mengubah cara mereka menggambarkan virus COVID-19. Pernyataan Gu dinilai sejalan dengan apa yang dilakukan pakar kesehatan China dan media pemerintah terhadap COVID-19 saat ini.
Tak berhenti di sana, pihak otoritas turut menyampaikan bahwa pasien dengan gejala ringan pun seharusnya boleh untuk karantina di rumah saja. Hal tersebut lantaran pendekatan China terhadap COVID-19 sebelumnya menekankan testing secara luas dan mengharuskan karantina kasus positif dilakukan hanya di fasilitas khusus.
Pendekatan itu dianggap sebagai deteksi pasif. Sehingga disarankan untuk ikut diubah menjadi pencegahan aktif dengan cukup melakukan proses pemulihan di rumah bagi mereka yang memiliki gejala COVID-19 ringan.
Berdasarkan laporan media pemerintah, China perlu mengoptimalkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian epidemi pada tahun depan lewat koordinasi kebijakan yang lebih baik dengan pembangunan ekonomi dan sosial.
Rencana China untuk Pemulihan
Setelah 24 anggota biro politik yang diketuai Presiden Xi Jinping bertemu untuk membahas tugas ekonomi tahun depan, kantor berita Xinhua melaporkan bahwa China akan fokus pada stabilisasi pertumbuhan, lapangan kerja, dan harga sambil mencegah dan meredakan risiko.
Ada ekspektasi luas bahwa langkah itu dapat menandai perubahan yang lebih nyata menuju keadaan normal setelah tiga tahun hidup dengan pandemi COVID-19.
Di sisi lain, para pejabat di China mulai mengecilkan bahaya yang ditimbulkan oleh virus Corona itu sendiri. Pada Senin, 5 Desember 2022 lalu, kantor berita Xinhua ikut memvalidasi itu dengan memberikan sebuah pernyataan.
"Masa yang paling sulit telah berlalu," tulis kantor berita Xinhua mengutip melemahnya patogenisitas virus dan upaya memvaksinasi 90 persen populasi di China.
Advertisement
Kondisi COVID-19 di China Sebelumnya
Pada bulan November lalu, China sempat mengalami kenaikan kasus COVID-19. Data himpunan Komisi Kesehatan Nasional per 29 November, kasus baru yang dilaporkan hari itu mencapai 37.828.
Merujuk data yang dipublikasikan BBC, saat itu China mengalami puncak kasus tertingginya, melebihi kasus COVID-19 yang terjadi pada bulan April 2022 lalu.
Namun, warga China saat itu masih melakukan protes untuk menolak aturan lockdown yang berlaku di sana. Demo besar-besaran berlangsung, banyak warga yang bentrok dengan para polisi di Guangzhou pada Selasa, 29 November 2022.
Selama ini, China memiliki salah satu rezim anti COVID-19 terberat di dunia yakni menerapkan zero COVID-19 policy. Pihak otoritas setempat memberlakukan lockdown meskipun hanya ada segelintir kasus.
Aturan Lockdown yang Berlaku di China
Sebelumnya saat ada kasus baru di China, tes COVID-19 massal biasanya diadakan pada tempat-tempat dimana kasus telah dilaporkan. Aturan lockdown kembali dikeluarkan untuk merespons temuan kasus.
Di sisi lain, saat lockdown berlaku, bisnis, pusat pertokoan, dan sekolah ditutup. Kecuali toko yang menjual makanan. Lockdown tersebut akan berlangsung hingga tidak adanya lagi infeksi baru yang dilaporkan.
Alhasil, puluhan juta orang pernah harus berdiam diri di rumah selama lockdown berlangsung. Beberapa otoritas lokal bahkan mengambil tindakan ekstrem dengan memaksa para pekerjanya untuk tidur di dalam pabrik. Gunanya agar para karyawan dapat bekerja selama lockdown berlangsung.
Advertisement