Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana menutup Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet pada 31 Desember 2022 secara bertahap. Terkait hal ini, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Iing Ichsan Hanafi menyatakan rumah sakit swasta siap membantu menangani pasien COVID-19 bila dibutuhkan.
“Rumah sakit swasta mendukung program ini. Kami siap membantu, walaupun Wisma Atlet tutup, rumah sakit swasta siap membantu pasien-pasien COVID-19,” kata Iing menjawab pertanyaan Health Liputan6.com saat ditemui di Jakarta Pusat, Jumat (30/12/2022).
Baca Juga
Ia juga menyampaikan bahwa tren COVID-19 sekarang ini relatif menurun. Meski begitu, rumah sakit swasta tetap menyiapkan ruang isolasi untuk pasien COVID-19.
Advertisement
“Ruang isolasi itu ada di rumah sakit swasta karena ini mengikuti peraturan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jadi ruang isolasi harus ada.”
Menurutnya, ARSSI memprioritaskan pasien COVID-19 untuk dibawa ke rumah sakit tertentu saja supaya pasien tidak terlalu menyebar di beberapa rumah sakit. Pasien yang dirawat di rumah sakit pun hanya pasien dengan gejala berat. Bagi pasien dengan gejala ringan atau tanpa gejala, maka bisa isolasi mandiri di rumah masing-masing.
Iing pun membahas soal tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR). Menurutnya, jumlah pasien COVID-19 yang mengisi tempat tidur rumah sakit cenderung turun.
“BOR memang mungkin penuh, tapi bukan oleh pasien COVID-19, sudah mulai banyak pasien-pasien non-COVID, pasien BPJS, dan pasien umum,” katanya.
Kesiapan RS Swasta di Momen Nataru
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal ARSSI Noor Arida Sofiana menjelaskan soal kesiapan rumah sakit swasta dalam menghadapi momen Natal dan tahun baru 2023 (Nataru).
Menurutnya, rumah sakit swasta tak hanya bersiap untuk menangani kemungkinan lonjakan COVID-19, tapi juga siap menangani korban kecelakaan atau musibah lain selama Nataru.
“RS swasta sebagai rujukan jika ada kecelakaan atau musibah yang terjadi selama Nataru. RS swasta sudah koordinasi dengan dinas kesehatan (dinkes),” kata Noor.
“Jadi, dinkes sudah berkoordinasi dengan RS swasta dan pemerintah daerah untuk menyiapkan posko-posko kesehatan untuk mengatasi kejadian-kejadian pada Nataru,” lanjutnya.
Advertisement
Curhat ARSSI
Dalam pertemuan tersebut, Iing dan Noor pun menyampaikan soal harapan ARSSI terkait kenaikan tarif iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurut Iing, dalam 6 tahun terakhir atau sejak 2016, tarif iuran JKN belum ada penyesuaian. Sementara, biaya operasional rumah sakit setiap tahun naik.
Padahal, inflasi terjadi setiap tahun, Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Regional (UMR) pun naik. Di sisi lain Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah berkali-kali naik. Begitu pula harga obat, alat kesehatan, serta biaya pendukung operasional lainnya juga terus meningkat.
Melihat situasi ini, ARSSI mengusulkan kenaikan tarif Indonesia case base Groups (INA CBG’s) rata-rata sebesar 30 persen.
Sejak April 2022 telah dilakukan proses perhitungan kenaikan tarif JKN (INA CBG’s dan Kapitasi), tapi sampai hari ini kenaikan tarif JKN (INA CBG’s dan Kapitasi) belum terjadi.
Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki kewenangan menghitung dan menetapkan kenaikan tarif JKN (INA CBG’s dan Kapitasi). Kenaikan pun dapat ditetapkan setelah mendapat masukan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
Dalam setiap tahapan proses perhitungan kenaikan tarif JKN khususnya tarif INA CBG’s, ARSSI berkonstribusi aktif memberikan data dan masukan.
Setelah hampir delapan bulan proses perhitungan tarif JKN, di akhir Desember 2022 proses teknis perhitungan pun selesai. Namun, sampai pada kesempatan final di tingkat Kemenkes, besaran kenaikan tarif INA CBG’s rata-rata sebesar hanya 9,5 persen padahal sudah 6 tahun tidak naik.
Jika Tetap Dibiarkan
Noor menambahkan, jika keterlambatan kenaikan tarif ini tetap dibiarkan, maka dampaknya akan dirasakan masyarakat.
“Khususnya di dalam peningkatan mutu layanan. Jadi artinya, kita juga khawatir jika pelayanan tidak didukung oleh pembiayaan, ini akan berdampak pada penurunan mutu layanan.”
Sesuai regulasi, kenaikan tarif JKN seharusnya ditinjau dua tahun sekali. Kenaikan ini harus terjadi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan biaya operasional rumah sakit termasuk pajak dan alat kesehatan.
Keterlambatan kenaikan tarif dapat terjadi karena ada berbagai penyebab, salah satunya ketidaksamaan persepsi.
“Dalam hal ini kami harap stakeholder (BPJS Kesehatan) punya persepsi yang sama yaitu peningkatan mutu. Karena ada perbedaan pola pikir dari stakeholder ini, maka kenaikan tarif masih tertunda sampai saat ini.”
Ia pun berharap, di detik-detik terakhir 2022, kenaikan tarif JKN tersebut bisa ditandatangani oleh Menteri Kesehatan.
Advertisement