2 Penyebab Angka Obesitas di Indonesia Tinggi

Obesitas dan obesitas sentral diperkirakan akan berdampak pada 1,9 miliar penduduk dunia pada 2035. Masalah peningkatan prevalensi obesitas juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 15 Mar 2023, 07:00 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2023, 07:00 WIB
Ilustrasi obesitas, kolesterol tinggi
Ilustrasi obesitas, kolesterol tinggi. (Gambar oleh Mohamed Hassan dari Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Obesitas dan obesitas sentral diperkirakan akan berdampak pada 1,9 miliar penduduk dunia pada 2035. Masalah peningkatan prevalensi obesitas juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

Prevalensi obesitas di Indonesia, khususnya di kalangan orang dewasa meningkat dari 19,1 persen pada 2007 menjadi 35,4 persen pada 2018. Ini tercantum dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. 

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan RI Eva Susanti, kenaikan ini menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling mendesak di Indonesia.

“Peningkatan ini kemungkinan disebabkan oleh dua faktor yakni stigma mengenai obesitas dan ketidaksadaran akan tingkat keseriusan kondisi obesitas,” kata Eva dalam keterangan pers Novo Nordisk dikutip Selasa (14/3/2023).

Faktanya, lanjut Eva, obesitas dapat menyebabkan komplikasi seperti hiperglikemia, diabetes tipe-2, dan penyakit kardiovaskular. 

“Obesitas juga bisa menyebabkan kematian. Menurut penelitian, setiap 5 unit indeks massa tubuh (IMT) di atas 25kg/m2 dapat meningkatkan risiko kematian sebesar 30 persen.”

Obesitas bertanggung jawab atas 4,7 juta kematian dini setiap tahunnya. Untuk itu, tindakan nyata diperlukan untuk mencegah beban pada sistem kesehatan dan biaya sosial ekonomi yang disebabkan obesitas.

Maka dari itu, Kementerian Kesehatan mengajak semua pihak untuk mengambil peran dan meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat akan obesitas. Masyarakat juga didorong untuk melakukan aksi nyata dalam mengubah persepsi soal obesitas.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Masyarakat Menganggap Obesitas Bukan Penyakit

Persepsi masyarakat soal obesitas perlu diubah lantaran stigma membuat masyarakat beranggapan bahwa obesitas bukanlah penyakit. Melainkan kegagalan pribadi atau anggapan bahwa pasien obesitas tidak bisa menjaga tubuh.

Stigma ini memengaruhi kesehatan mental dan fisik pasien dan dapat menghentikan mereka dalam mencari perawatan medis yang diperlukan. Fakta mengatakan bahwa faktor genetik atau keturunan berkontribusi pada 40-70 persen kasus obesitas.

Studi terbaru mengungkapkan, prevalensi obesitas di Indonesia tidak disadari ketika dinilai menggunakan batas IMT saat ini (obesitas ≥ 27,0). Hal ini menyebabkan walaupun ada peningkatan kasus penyakit kronis yang berkaitan dengan obesitas, prevalensi obesitas di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara maju.


Publikasi Soal Revisi IMT

Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dr. Dicky L. Tahapary, Sp.PD-KEMD, Ph.D.  menyampaikan pihaknya telah merilis publikasi soal IMT.

“Kami telah merilis publikasi yang menyarankan untuk merevisi nilai batas IMT ≥25 kg/m2, ambang batas ini mungkin lebih tepat untuk mendefinisikan obesitas pada populasi orang dewasa di Indonesia,” kata Dicky dalam keterangan yang sama.

“Kami juga menyarankan untuk menambahkan Edmonton Obesity Staging System (EOSS) ke dalam klasifikasi antropometri untuk evaluasi klinis obesitas yang lebih baik.”

Edmonton Obesity Staging System adalah sistem analisa yang mencakup faktor metabolik, fisik, psikologis dan evaluasi klinis untuk memberikan opsi intervensi obesitas yang terbaik.

Sistem ini mengklasifikasikan obesitas ke dalam 5 kategori (0–4 tingkatan). Tingkat 0 menunjukkan tidak ada faktor risiko terkait obesitas atau gangguan kesehatan apa pun. Sedangkan, tingkat 4 menunjukkan disabilitas parah akibat penyakit kronis terkait obesitas.


Standar Lingkar Pinggang

Selain itu, batas lingkar pinggang yang lebih rendah dari standar WHO harus diterapkan di Indonesia, lanjut Dicky.

Di banyak populasi Asia, prevalensi risiko metabolik yang tinggi terjadi pada lingkar pinggang yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Eropa.

 “Penting bagi kita untuk mengedukasi masyarakat bagaimana memahami dan melakukan pengukuran lingkar pinggang sendiri,” tambah Dicky.

Dia menyimpulkan bahwa temuan tersebut mendorong revisi batas optimal untuk pencegahan dini dan pengendalian obesitas.

Sebagai upaya mengatasi dan mengendalikan penyakit kronis ini, Vice President dan General Manager Novo Nordisk Indonesia Sreerekha Sreenivasan mengatakan bahwa Novo Nordisk Indonesia fokus pada tiga area untuk mendorong perubahan terkait obesitas.

”Obesitas lebih dari sekadar kelebihan berat badan, ini adalah masalah kesehatan jangka panjang. Oleh karena itu, kami akan fokus pada tiga area,” kata Sreerekha.

Ketiga fokus itu adalah pencegahan, pengakuan, dan perawatan. Pencegahan dilakukan dengan membangun lingkungan yang lebih sehat. Pengakuan dilakukan dengan menumbuhkan empati bagi orang-orang dengan obesitas dan menjadikan obesitas sebagai prioritas perawatan kesehatan. Sedangkan perawatan dilakukan dengan memastikan orang dengan obesitas memiliki akses ke perawatan berbasis sains dan komprehensif.

 

Infografis Obesitas
Arya Permana, salah satu contoh kasus obesitas yang mengkhawatirkan (liputan6.com/Tri yasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya