Liputan6.com, Jakarta India tengah mengalami lonjakan kasus COVID-19. Data dalam Ministry of Health and Family Welfare Government of India menunjukkan bahwa total kasus aktif di sana saat ini mencapai 37.093.
Tak hanya itu, dalam 24 jam terakhir, ada 5.880 kasus COVID-19 baru yang terdeteksi. Diduga, lonjakan kasus tersebut disebabkan oleh subvarian Omicron baru XBB.16 atau Arcturus.
Baca Juga
Laporan pada laman The New Indian Express dan India.com juga menemukan bahwa kasus COVID-19 di India meningkat pada anak. Banyak anak dilaporkan mengalami demam dan mata yang terasa gatal.
Advertisement
Lantas, mengapa COVID-19 di India banyak menginfeksi anak?
Epidemiolog sekaligus peneliti Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa data COVID-19 di India terkait subvarian Omicron Arcturus memang banyak ditemukan pada anak-anak.
"Cenderung datanya terlihat yang terinfeksi dan masuk rumah sakit itu anak-anak. Lebih rentan anak-anak. Terutama karena apa? Dalam konteks di India misalnya, atau banyak di negara berkembang lain, anak-anak banyak yang belum divaksin," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Selasa (11/4/2023).
Vaksin COVID-19 Belum Lengkap dan Belum Dilakukan
Menurut Dicky, selain karena belum divaksin, banyak pula anak-anak yang sudah divaksin pun, vaksinnya belum lengkap atau belum mendapatkan booster.
"Bahkan, banyak yang belum eligible (memenuhi syarat) untuk mendapatkan vaksin. Nah, ini yang membuat mereka menjadi akhirnya terinfeksi," kata Dicky.
Gejala COVID-19 pada Anak di India, Mata Terasa Gatal
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa berkaca pada kasus COVID-19 yang terjadi di India saat ini, banyak anak yang menunjukkan gejala yang ikut memengaruhi mata. Menurutnya, hal itu memang berkaitan dengan imunitas.
"Anak-anak dibawah lima tahun, dibawah tiga tahun bahkan, banyak kasus infeksi COVID-19 tapi infeksi di matanya ada juga sampai merah, mengeluarkan kotoran. Seperti itu konjungtivitis namanya. Nah ini yang terjadi, karena bicara imunitas," ujar Dicky.
Tak berhenti di sana, faktor penyakit bawaan, masalah gizi, sanitasi lingkungan, hingga kepadatan penduduk dianggap turut berpengaruh pada peningkatan kasus COVID-19 di India, menurut Dicky.
"Pada anak-anak ini dalam konteks di India, banyak anak yang kurang gizi, punya infeksi saluran napas seperti TBC, ISPA, dan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Ini yang membuat infeksi mereka tambah berat infeksinya. Ditambah lagi dengan kepadatan," ujar Dicky.
Advertisement
Anak dengan Kategori Berisiko Lebih Rentan
Dalam kesempatan yang sama, Dicky mengungkapkan bahwa subvarian Arcturus sendiri bukan berarti hanya semata-mata menyerang anak. Melainkan anak dengan kategori berisiko.
"Sebetulnya bukanlah berarti ini hanya menyerang anak, itu tidak. Tapi anak dalam kategori kelompok yang berisiko karena mereka banyak yang belum vaksin dalam kondisi juga umum kesehatannya buruk," kata Dicky.
Subvarian Omicron Bisa Berbahaya untuk Kelompok Berisiko
Dicky pun turut mengingatkan bahwa dari subvarian-subvarian Omicron sebelumnya, efek yang ditunjukkan sebenarnya bukan makin lemah. Melainkan berisiko lebih parah terutama pada kelompok yang berisiko seperti belum divaksin atau belum pernah terinfeksi COVID-19 sebelumnya.
"Subvarian dari Omicron ini (efeknya) bukan makin lemah. Jadi kalau ada orang belum memiliki imunitas karena belum terinfeksi sebelumnya atau belum mendapatkan vaksin, ya bisa parah, bisa meninggal," ujar Dicky.
Advertisement