Liputan6.com, Jakarta Air minum bermerek yang tersedia di pasaran, tentunya harus terjamin kualitas, kebersihan, dan keamanannya. Maka dari itu, perlu adanya rencana pelabelan risiko senyawa kimia berbahaya Bisfenol A atau BPA pada galon air minum bermerek karena merupakan wujud kehadiran serta tanggung jawab negara dalam melindungi kesehatan masyarakat.Â
"Rencana regulasi tersebut menunjukkan negara hadir dalam melindungi kesehatan masyarakat, Pelaku usaha pastinya memahami rencana pelabelan ini dan kami berharap dukungan semua stakeholders (pemangku kepentingan)," ujar Direktur Standarisasi Pangan Olahan BPOM, Aisyah, dalam sebuah acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi swasta pada Jumat (11/8)
Baca Juga
BPA adalah salah satu bahan baku pembentuk polikarbonat, jenis plastik keras yang di Indonesia jamak sebagai kemasan galon air minum bermerek. Riset di berbagai negara menunjukkan BPA pada plastik polikarbonat rawan luruh dan berisiko pada kesehatan bila sampai terminum melebihi ambang batas.
Advertisement
Berbicara dalam forum yang sama, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengungkap BPA mendatangkan risiko yang 'luar biasa' bagi kesehatan manusia. Bahkan, menurutnya, jika dikonsumsi oleh ibu hamil dampaknya akan sangat berbahaya.Â
"Sebelum jadi manusia sudah berisiko, saat dalam kandungan, BPA berpotensi mengganggu pertumbuhan janin sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan banyak masalah kesehatan, termasuk autisme, Attention Deficit atau Hyperactivity Disorder (ADHD)," katanya sambil menjelaskan bahwa dalam jangka panjang, BPA dapat mengganggu sistem tubuh, termasuk gangguan organ reproduksi, penyakit endokrin, gangguan syaraf dan kanker.
Pandu menambahkan bahwa semua jenis penyakit tak menular tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, Aisyah juga memberikan pendapatnya. Menurutnya karena pertimbangan risiko kesehatan tersebut, negara di berbagai belahan dunia mengadopsi pengaturan khusus terkait BPA.Â
Ada yang menetapkan ambang batas migrasi, ada yang melarang total penggunaannya pada kemasan pangan dan ada pula yang mewajibkan pelabelan untuk mengedukasi konsumen. Di Indonesia, katanya, sejak 2019 BPOM menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan pangan berbahan polikarbonat adalah 0,6 ppm. Ambang ini wajib dipatuhi produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan polikarbonat sebagai kemasan galon guna ulang.
Ambang Batas Migrasi BPA
Aisyah menjelaskan, di level global ada tren pengetatan toleransi BPA pada kemasan pangan. Uni Eropa misalnya, saat ini menetapkan ambang batas migrasi BPA sebesar 0,06 ppm dari 0,6 ppm pada 2011.
Berkaitan dengan hal itu pula, otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA, merevisi batas asupan harian BPA dari awalnya, pada 2015, sebesar mikrogram/kilogram berat badan menjadi 0,2 nanogram/kilogram berat badan pada April 2023.Â
"Ini berarti ada pengetatan 20.000 kali lebih rendah, toleransi asupannya jadi lebih ketat. Ini juga salah satu alasan BPOM mengkaji kembali regulasi yang ada terkait BPA," katanya.
Menurut Aisyah, rencana pelabelan risiko BPA juga berlatar hasil pengawasan yang menunjukkan migrasi BPA pada galon bermerek yang beredar di sejumlah kota.Â
"Datanya memang cenderung mengkhawatirkan, migrasi BPA ada di kisaran 0,06 ppm sampai 0,6 ppm dan bahkan ada yang di atas 0,6 ppm," ujarnya.
Dampak Paparan Sinar Matahari
Ahli polimer dari Universitas Indonesia, Muhammad Chalid yang ikut berbicara dalam forum yang sama mengamini penjelasan itu. Menurutnya, memang ada risiko pelepasan BPA yang besar pada kemasan galon bermerek utamanya bila produk tersebut masih didistribusikan dengan serampangan, termasuk jika dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang cukup lama.Â
Selain paparan suhu yang relatif tinggi, Chalid mengatakan bahwa pelepasan BPA pada galon bermerek juga rawan karena proses pencucian galon di pabrik umumnya menggunakan sejenis deterjen yang bisa memicu peningkatan keasaman dan berimbas pada pelepasan BPA.
Advertisement
Satu Suara Dukung Regulasi Pelabelan Risiko BPA
BPOM, kata Aisyah, telah berdiskusi dengan semua pihak selama proses penyusunan regulasi pelabelan risiko BPA. Dia menyebut diskusi intens melibatkan pelaku usaha air kemasan, baik yang skala mikro, kecil dan menengah, market leader serta asosiasi terkait.
"Alhamdulillah Badan POM mendapat dukungan positif dari banyak kalangan, termasuk Komisi IX DPR," katanya menambahkan penyusunan rancangan regulasi tersebut telah melalui semua tahapan perancangan regulasi, termasuk koordinasi dengan kementerian terkait, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), kalangan akademisi dan ahli.
"Di level kementerian, kami sudah menyepakati urgensi pelabelan ini sebagai bentuk tanggung jawab negara sekaligus untuk melindungi pelaku usaha, termasuk pemerintah, dari kemungkinan tuntutan hukum di masa datang," katanya sambil mengisyaratkan kemungkinan munculnya gugatan publik bila risiko BPA tersebut tak disampaikan ke publik secara terbuka.
Meski demikian, Aisyah berharap rancangan regulasi ini memicu inovasi di kalangan produsen galon bermerek dalam menghadirkan kemasan galon yang lebih menjamin kualitas dan keamanan air minum.
Â
(*)