Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menanggapi terkait penyebaran nyamuk wolbachia yang disebut-sebut berpotensi membuat virus bermutasi. Padahal, teknologi wolbachia untuk pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) ini sudah dilakukan di sejumlah negara lain.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, kajian analisis risiko penelitian pengendalian dengue dengan teknologi wolbachia, khususnya di Yogyakarta telah dilakukan pada tahun 2106.
Baca Juga
Kajian risiko ini difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan (Ditjen Risbang), Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek BRIN) -- sebelumnya Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) -- dalam rangka menindaklanjuti amanat pertemuan pemangku kepentingan nasional pada 12 Februari 2016.
Advertisement
"Ini agar penelitian pengembangan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia yang dilakukan di Yogyakarta dapat memperhatikan aspek keamanan dan kehati-hatian sebelum melakukan pelepasan berskala luas," jelas Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com pada Rabu, 15 November 2023.
Bentuk Tim Kajian Risiko Wolbachia
Kemenristek bersama Balitbangkes Kemenkes telah membentuk tim pakar inti independen yang beranggotakan lima orang yang ditugaskan untuk melakukan kajian analisis risiko. Tim inti ini berasal dari berbagai latar belakang.
"Tim kajian wolbachia juga melibatkan 19 orang pakar independen lainnya yang berasal dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan kementerian," lanjut Nadia.
Metode wolbachia untuk penanggulangan DBD di Yogyakarta ini merupakan pertama kali dilakukan, sebelum akhirnya diujicobakan ke daerah lain, yakni Kota Semarang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang, dan Kota Bontang.
Identifikasi Pelepasan Nyamuk Aedes aegypti
Tujuan kajian risiko teknologi wolbachia adalah mengidentifikasi implikasi yang tidak diinginkan terhadap keselamatan manusia dan lingkungan yang mungkin dapat terjadi akibat pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia.
Kajian risiko ini dilakukan oleh 24 ahli dari berbagai latar belakang dengan tim inti.
Siti Nadia Tarmizi menyebut beberapa ahli yang dimaksud, terdiri dari:
- Prof. Damayanti Buchori, Institut Pertanian Bogor (Ketua)
- Prof. Aryati, Universitas Airlangga
- Prof. Irawan Yusuf, Universitas Hasanuddin
- Prof. Hari Kusnanto Joseph, Universitas Gadjah Mada
- Prof. Upik Kesumawati Hadi, Institut Pertanian Bogor
Advertisement
Risiko Sangat Rendah dari Teknologi Wolbachia
Siti Nadia Tarmizi menerangkan hasil kajian risiko yang dilakukan oleh tim pakar independen untuk penelitian teknologi Aedes aegypti ber-Wolbachia.
"Hasilnya itu menunjukkan bahwa teknologi wolbachia ini masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya (cause more harm) dapat diabaikan (negligible)," terangnya.
Penurunan DBD Berkat Wolbachia
Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Emma Rahmi Aryani menegaskan, adanya penurunan penyebaran dengue yang signifikan setelah adanya penerapan Wolbachia.
"Jumlah kasus di Kota Yogyakarta pada bulan Januari hingga Mei 2023 dibanding pola maksimum dan minimum di 7 tahun sebelumnya (2015 - 2022) berada di bawah garis minimum," terang Emma dalam keterangannya pada Senin (13/11/2023).
Lurah Patangpuluhan Yogyakarta Sigit Hartobudiono mengakui sempat ada kekhawatiran dari masyarakat terhadap penyebaran nyamuk wolbachia. Namun, hal itu akhirnya dapat dipahami masyarakat bahwa teknologi ini dapat menekan kasus DBD.
"Masyarakat pada awalnya memang ada kekhawatiran karena pemahaman dari masyarakat itu nyamuk ini dilepas kok bisa mengurangi (DBD). Tapi seiring berjalan dan kita sudah ada edukasi, ada sosialisasi, sekarang masyarakat justru semakin paham, bahwa sebenarnya teknologi ini untuk mengurangi DBD," papar Sigit.
Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Wolbachia
Peneliti Global Health Security Dicky Budiman menyoroti teknologi wolbachia terhadap nyamuk Aedes aegypti pembawa virus dengue terdapat risiko tertentu. Seiring dengan pemanasan global, suhu panas justru akan mengurangi intensitas wolbachia.
"Sebagai contoh dalam wolbachia. Efek pemanasan global pada riset suatu paper, bahwa suhu panas ini untuk wolbachia sebagai media blocking patogen menurun. Karena suhu panas, masa inkubasi nyamuk virus dari menggigit itu menjadi lebih pendek," jelas Dicky kepada Health Liputan6.com baru-baru ini.
"Ini yang akhirnya enggak kekejar sama wolbachia. Terus suhu yang semakin panas mengurangi intensitas wolbachia. Yang kita tahu, jumlah wolbachia dibutuhkan cukup banyak untuk efektif membloking replikasi virus."
Risiko Mutasi Virus Meningkat
Dicky menekankan, penerapan wolbachia di Indonesia sebaiknya tidak hanya melibatkan satu keahlian saja, melainkan berbagai cabang keilmuwan atau multibackground.
"Mekanisme memonitor, mencermati riset ini dan risiko mutasi meningkat sehingga ini tidak sepenuhnya bisa diandalkan," imbuhnya.
"Itu sebabnya, dalam konteks public health, 3M untuk DBD, yakni menguras, menutup, mendaur ulang itu tetap harus jadi strategi utama dijalankan selain hal seperti ini (wolbachia), yang masih menunggu 20-30 tahun lagi ke depan."
Advertisement