Liputan6.com, Jakarta Perjuangan Jenderal Sudirman perlu dikenali oleh seluruh rakyat Indonesia. Pasalnya, ia merupaka panglima besar TNI pertama yang sangat dihormati sepanjang sejarah Indonesia. Mengetahui perjuangan Jenderal Sudirman tentunya sangat tepat dilakukan dalam rangka Hari Pahlawan.Â
Advertisement
Baca Juga
Peran Jenderal Sudirman dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan sangat penting bagi Indonesia. Sebagai pahlawan nasional dengan jasa-jasa yang besar, kisah hidup, perjuangan, dan teladannya penting dipahami seluruh masyarakat, terutama bagi generasi muda.
Advertisement
Perjuangan Jenderal Sudirman bisa memberi pandangan patriotisme dan rasa cinta Tanah Air sebagai warga negara Indonesia. Kariernya yang berawal dari seorang guru sekolah dasar, hingga menjadi panglima besar TNI pertama tentunya menjadi kisah yang begitu inspiratif.
Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (10/11/2023) tentang perjuangan Jenderal Sudirman.
Perjuangan Jenderal Sudirman pada Zaman Penjajahan Jepang
Sebelum mengenal perjuangan Jenderal Sudirman, kamu tentu perlu mengetahui perjalanannya sebelum menjadi pejuang. Sudirman (Soedirman) lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Saat berusia tujuh tahun, Sudirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school). Ia kemudian dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa, kemudian ke Sekolah Menengah Wirotomo, dan akhirnya melanjutkan pendidikannya di HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat.
Setelah menikah pada 1936, Sudirman ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi guru HIS Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut. Dalam beberapa tahun Sudirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru.
Beberapa tahun setelah, yaitu pada zaman penjajahan Jepang tahun 1944, Sudirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat sangat disegani, Sudirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama.
Pasca Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Kemudian beliau diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya setelah menyelesaikan pendidikannya.
Advertisement
Pasca Kemerdekaan dan Jadi Panglima Besar
Setelah Indonesia Mengikrarkan proklamasi pada 1945, Jenderal Sudirman melarikan diri ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno. Sang Proklamator menugaskan Jenderal Sudirman untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Ia lalu menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Sudirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Sudirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa.
Perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda dari bulan November sampai Desember 1945 adalah perang besar pertama yang ia pimpin. Dengan keberhasilannya memperoleh kemenangan pada pertempuran ini, Presiden Soekarno pun melantik Sudirman sebagai Jenderal.
Pada 18 Desember 1945, Sudirman resmi diangkat menjadi panglima besar TKR setelah penarikan tentara Inggris lantaran diserang sejumlah pasukan yang diperintahkan.
Agresi Militer II dan Gerilya
Perjuangan Jenderal Sudirman tidak lengkap jika tidak membahas perang gerilya yang dilakukannya. Selang tiga tahun, Sang Jenderal menjadi saksi kegagalan negosiasi dalam Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Sudirman juga menghadapi upaya kudeta tahta kepemimpinan pada 1948.
Pada Desember 1948 Sudirman melakukan perlawanan terhadap Agresi Militer II Belanda yang terjadi di Yogyakarta. Beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, Jenderal Sudirman melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan.
Hingga akhirnya Belanda mulai menarik diri, Jenderal Sudirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949 oleh Presiden Soekarno.
Advertisement
Pasca Perang dan Akhir Hayat
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Sudirman. Pada 1948 Sudirman didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Hingga pada November 1948, paru-paru kanannya dikempeskan lantaran ditengarai sudah mengalami infeksi. Sudirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih, Yogyakarta. Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada Desember 1949.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Meskipun sedang sakit, Sudirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat.
Selang sebulan, tepatnya pada 18.30 tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman wafat di Magelang, Jawa Tengah. Kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Jenazah Sudirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari. Jenazah Sudirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer mengiringi di belakang.