Liputan6.com, Jakarta Piala AFF 2007 menjadi salah satu momen paling menyedihkan dalam sejarah Timnas Indonesia di turnamen bergengsi Asia Tenggara. Kejadian ini sangat mengesankan karena Timnas Indonesia tidak hanya gagal melaju ke semifinal, tetapi juga terhenti di fase grup.
Dibawah arahan pelatih asal Inggris, Peter White, Indonesia tergabung dalam Grup B bersama Singapura, Vietnam, dan Laos. Pada laga pembuka, Skuad Garuda menunjukkan performa yang mengesankan dengan meraih kemenangan 3-1 atas Laos. Dua gol dicetak oleh Atep dan satu gol lainnya oleh Saktiawan Sinaga.
Baca Juga
Namun, harapan mulai meredup saat menghadapi Vietnam di pertandingan kedua. Timnas Indonesia hampir mengalami kekalahan, tetapi Saktiawan Sinaga berhasil menyamakan kedudukan menjadi 1-1 pada menit ke-90, menyelamatkan tim dari kekalahan.
Advertisement
Di laga ketiga melawan Singapura, Indonesia kembali harus puas dengan hasil imbang 2-2. Hasil ini tidak cukup untuk membawa Indonesia melanjutkan langkah ke fase berikutnya, karena produktivitas gol tim ini kalah dibandingkan Singapura dan Vietnam. Singapura sebelumnya mencetak 11 gol saat melawan Laos, sementara Vietnam juga berhasil menghancurkan Laos dengan skor 9-0.
Kondisi ini sangat kontras dengan pencapaian Indonesia di Piala AFF 2004, di mana tim yang juga dilatih oleh Peter White berhasil mencapai final, meskipun akhirnya kalah dari Singapura.
Akibat keterpurukan ini, Peter White menjadi sasaran kritik tajam. Posisi kepelatihannya kemudian diambil alih oleh pelatih asal Bulgaria, Ivan Kolev, untuk mencoba mengembalikan kejayaan Timnas Indonesia di pentas sepak bola Asia Tenggara.
Sepak Bola Gajah 1998
Piala AFF, yang dulunya dikenal sebagai Piala Tiger, pertama kali diselenggarakan pada tahun 1996. Edisi kedua turnamen ini, yang berlangsung pada tahun 1998 di Vietnam, meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan bagi Timnas Indonesia. Dalam fase grup, Indonesia tergabung dalam Grup A bersama Thailand, Myanmar, dan Filipina.
Pencapaian Timnas Indonesia pada saat itu cukup mengesankan. Di bawah kepemimpinan pelatih Rusdy Bahalwan, Indonesia berhasil melaju ke semifinal dengan menempati posisi ketiga, setelah mengalahkan Thailand melalui adu penalti dengan skor 5-4. Lima penendang penalti, yaitu Uston Nawawi, Bima Sakti, Yusuf Ekodono, Kuncoro, dan Imam Riyadi, berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik.
Namun, perjalanan Indonesia tidak sepenuhnya mulus. Nama besar Timnas Indonesia sempat ternoda akibat tuduhan "sepak bola gajah" saat bertanding melawan Thailand dalam perebutan status juara grup. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Thong Nhat, Ho Chi Minh City, Vietnam, berjalan dengan tempo yang lambat. Meskipun Indonesia sempat unggul 2-2, pertandingan berakhir dengan kemenangan Thailand 3-2. Gol yang menentukan bagi Thailand terjadi akibat gol bunuh diri Mursyid Efendi, yang menambah derita Indonesia.
Belakangan terungkap bahwa Indonesia sengaja "kalah" untuk menghindari pertemuan dengan Vietnam di semifinal. Meskipun peristiwa tersebut telah berlalu lama, stigma negatif tersebut masih membekas dan menjadi sorotan setiap kali Piala AFF diselenggarakan.
Advertisement
2012 dan 2014, Efek Dualisme Kompetisi dan PSSI
Timnas Indonesia mengalami masa sulit di Piala AFF pada tahun 2012 dan 2014, setelah penampilan gemilang di tahun 2010 yang berhasil mencapai final. Keterpurukan ini tidak terlepas dari konflik internal di PSSI yang mengganggu stabilitas tim. Dualisme kepengurusan, termasuk kehadiran Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI), berdampak signifikan terhadap performa Tim Garuda.
Situasi semakin rumit dengan adanya dualisme kompetisi yang membatasi pemain yang bisa dipanggil. Hanya pemain dari klub-klub yang berpartisipasi dalam liga yang diakui PSSI yang dapat memperkuat timnas, sementara pemain dari liga lain dianggap tidak memenuhi syarat.
Pada Piala AFF 2012, di bawah arahan pelatih Nilmaizar, Timnas Indonesia hanya mampu meraih satu kemenangan di fase grup. Kemenangan tersebut diperoleh dengan skor 1-0 melawan Singapura berkat gol Andik Vermansah. Di dua laga lainnya, Tim Garuda harus puas bermain imbang 2-2 melawan Laos dan kalah 0-2 dari Malaysia. Hasil ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga Grup B dengan total empat poin, tertinggal dua poin dari Singapura dan Malaysia yang melaju ke semifinal.
Kondisi serupa terjadi pada Piala AFF 2014. Alfred Riedl, yang sebelumnya berhasil membawa Indonesia ke final pada tahun 2010, kembali ditunjuk sebagai pelatih. Namun, performa Timnas Indonesia tidak menunjukkan perubahan. Pada laga pertama Grup A, Tim Garuda ditahan imbang 2-2 oleh Vietnam, diikuti dengan kekalahan telak 0-4 dari Filipina di laga kedua. Meskipun meraih kemenangan 5-1 atas Laos, yang juga menjadi debut Evan Dimas di level senior, hal ini tidak cukup untuk menyelamatkan tim. Dengan hanya empat poin dari tiga pertandingan, Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam dan Filipina.
Setelah periode sulit tersebut, Timnas Indonesia mengalami pembekuan dari FIFA, yang mengakibatkan ketidakmampuan tampil di level internasional. Pembekuan ini baru dicabut pada pertengahan 2016, dan Alfred Riedl kembali memimpin tim dengan keterbatasan pemain. Meskipun begitu, ia berhasil membawa Timnas Indonesia melangkah hingga final Piala AFF 2016.
Dengan harapan baru, Piala AFF 2024 diharapkan menjadi momen bagi Timnas Indonesia untuk mengakhiri penantian panjang meraih gelar juara. Semoga kesialan dan keterpurukan dapat dijauhkan, dan Tim Garuda dapat tampil sebagai tim yang kuat dan kompetitif.