Jalan Raya Pos Warisan Daendels Riwayatmu Kini

Masyarakat umum selama ini hanya mengetahui bahwa Jalan Daendels adalah jalan yang membentang dari ujung paling barat sampai timur Pulau Jawa.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jun 2018, 18:20 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2018, 18:20 WIB
Peninggalan Daendels
Beberapa sejarawan menyebutkan, salah satu kantor pos besar peninggalan Daendels berada di Jalan Rajawali, Kota Surabaya, sesuai dengan pembangunan Jalan Raya Pos. Tapi, tidak diketahui tepatnya di mana. (Andy Satria/Radar Surabaya/Jawa Pos Group)

Liputan6.com, Panarukan - Jutaan pemudik yang setiap tahun melintasi jalur pantai utara Pulau Jawa atau pantura (Jalan Raya Pos) untuk merayakan Lebaran di kampung halaman, bisa jadi tidak pernah menyadari kalau jalan yang mereka tempuh sepanjang 1.228 kilometer dari Anyer, Banten, sampai Panarukan di Jawa Timur, pada masa lalu dibangun penuh dengan ceceran darah, keringat, dan jenazah para pekerja paksa.

Jalur di pantura yang dikenal masyarakat umum sekarang ini, dulunya disebut Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg yang dibangun Gubernur Jenderal Kolonial Belanda, Herman Willem Daendels, sehingga lebih populer dengan sebutan Jalan Daendels.

Dilansir Antara, Rabu (20/6/2018), masyarakat umum selama ini hanya mengetahui bahwa Jalan Daendels adalah jalan yang membentang dari ujung paling barat sampai timur Pulau Jawa. Padahal, sebenarnya ada juga Jalan Daendels di Pulau Jawa. Satunya lagi adalah yang berada di pantai selatan.

Jalan Daendels di pantai utara dibangun Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara 1808 sampai 1811. Sementara, Jalan Daendels di selatan hanya sepanjang sekitar 130 km antara Cilacap dan Bantul, Yogyakarta dan dibangun AD Daendels pada 1838 dan disebut Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama. Catatan sejarah hanya menyebut singkatan nama AD Deandels, tanpa nama lengkap.

Selain dua orang yang berbeda, kedua Daendels itu juga hidup pada masa yang berbeda pula. Dari kepangkatan, Daendels (Hendrik Willem) mempunyai posisi lebih tinggi sebagai penguasa seluruh daerah jajahan di Hindia Belanda. Sedangkan Daendels yang lain (AD) hanya berpangkat asisten residen yang membawahi beberapa kabupaten.

Dari kedua jalan itu, adalah Jalan Daendels di pantura yang paling dikenal dan sampai lebih dari dua ratus tahun setelah pembangunannya, menjadi jalur transportasi penting dan menjadi urat nadi perekonomian di Pulau Jawa.

Pena sejarah mencatat, Daendels pertama kali mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808 setelah ditunjuk Raja Belanda, Louis Napoleon, adik Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte yang saat itu menduduki Belanda.

Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Hindia Belanda dari ancaman Inggris yang ketika itu sudah menguasai India.

Pada awal masa Daendels, jarak antara Anyer dan Batavia harus ditempuh dalam waktu empat hari dan sama sekali tidak bisa dilalui jika musim hujan. Sementara dari Bandung ke Semarang memerlukan waktu 10 hari, waktu yang sangat lama bagi seorang Daendels.

Sebelum adanya Jalan Raya Pos, sebagai pimpinan tertinggi di Hindia Belanda, Daendels memerlukan tranportasi yang cepat dan efesien, tidak hanya untuk kepentingan operasi militer, tetapi juga sebagai pendukung kegiatan ekonomi, terutama untuk mengangkut hasil perkebunan ke pelabuhan dan selanjutnya dibawa Belanda.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Jalan Raya Pos di Mata Pramoedya Ananta Toer

20160425-Pelebaran-Jalan-Jakarta-GMS
Sejumlah pekerja saat meratakan bagian dasar jalan di Jalan Joglo Raya, Jakarta, Senin (25/4). Proyek pelebaran Jalan Raya Joglo yang menghubungkan Jalan Raya Pos Pengumben ke Ciledug itu sempat mangkrak selama enam tahun. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Adapun menurut Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer sampai ke Panurukan itu sebenarnya bukanlah pembangunan jalan baru. Namun, lebih tepatnya meningkatkan kualitas atau memperlebar jalan yang sudah ada.

"Warisan" jalur lebih dari 1.000 kilometer yang dibangun penuh darah dan penderitaan Bumiputra masih ada sampai kini. Warga di Jakarta masih mengenal kawasan Pos Pengumben, di Jakarta Barat, di perbatasan Kebun Jeruk-Kebayoran Lama.

Dulu, di situlah Daendels membangun pos dan istal kuda untuk keperluan transportasi dan pos. Di situlah kuda-kuda pos dan kereta ditukar dan dirawat setelah menapaki jalan dari barat ke timur Pulau Jawa melalui sisi utaranya.

Tapi, memang ada beberapa ruas jalan yang sama sekali dibangun baru, yaitu jalan yang menghubungkan Bogor dan Cirebon yang harus melewati daerah berbukit dan merupakan pembangunan paling sulit dan memakan paling banyak korban jiwa.

Pembangunan Jalan Pos diawali dari ruas Anyer-Batavia dan menjadi awal penderitaan rakyat Indonesia yang dipaksa "bekerja rodi". Puluhan ribu pekerja paksa dinyatakan meninggal akibat kelelahan dan penyakit.

Setelah Anyer-Bogor selesai, pembangunan pun dilanjutkan ke arah Bandung, Jatinagor, Sumedang, Palimanan dan Cirebon. Dengan demikian, jalan antara Jakarta (Batavia), Bekasi, Karawang dan Cikampek sebenarnya tidak termasuk dalam jalan yang dibangun Daendels meski merupakan bagian dari jalur pantai utara Pulau Jawa.

Dari Cirebon, pembangunan atau peningkatan kualitas dan lebar jalan diarahkan ke Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Pasuruan, Probolinggo, dan berakhir di Panarukan yang ketika itu merupakan pelabuhan penting di Pulau Jawa.

 

Jenderal Guntur atau Raden Mas Galak

Daendels
Daender, Gubernur Jenderal Batavia (1808-1811) yang mewariskan 3 dasar penting bagi Indonesia modern (Foto koleksi Rijkmuseum, karya Raden Saleh)

Daendels yang dikenal kejam, ganas, dan bengis, sehingga mendapat julukan Jenderal Guntur, Marsekal Besi, dan Raden Mas Galak, hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk merampungkan seluruh pembangunan Jalan Raya Pos. Boleh dikatakan, ketika itu menjadi sebuah prestasi luar biasa di Eropa.

Hasil dari pembangunan itu, waktu tempuh antara Batavia-Surabaya yang sebelumnya harus ditempuh selama 40 hari berhasil dipangkas menjadi hanya tujuh hari. Selain memperlancar pergerakan militer Belanda, hasil bumi berkat tanam paksa (cultuur stelsel) pun menjadi lebih mudah dikirim ke Pelabuhan Cirebon.

Namun, pembangunan jalan bersejarah itu harus dibayar mahal dengan ceceran darah dan air mata sekitar 15.000 pekerja yang menemui ajal karena tidak mendapat istirahat dan tidak diberi makan yang cukup atau disapu penyakit malaria. Menurut Pramoedya, banyak di antara mereka yang tidak dikuburkan secara layak, sehingga menyebarkan penyakit.

Sampai sekarang, para ahli sejarah masih berdebat soal jumlah pekerja yang tewas, maupun status mereka sebagai pekerja rodi.

Ada pendapat mengatakan, jumlah yang tewas berjumlah sekitar 24.000 orang dan para pekerja itu mendapat bayaran saat membangun jalan antara Bogor dan Cirebon.

Tetapi karena Belanda kehabisan uang untuk pembangunan jalan Cirebon-Panarukan sepanjang lebih dari 800 km, Daendels kemudian bekerja sama dengan penguasa pribumi agar memobilisi rakyat di setiap kabupaten yang dilalui.

Pada saat itulah, wabah malaria yang ketika itu merupakan pembunuh nomor satu menyapu para pekerja yang dalam kondisi lemah akibat kurang istirahat dan tidak diberi makan secara layak.

Setelah lebih dari 200 tahun menjadi urat nadi perekomonian yang penting di Pulau Jawa, Jalan Daendels seperti terlupakan dan perannya pun semakin berkurang akibat kehadiran jalan tol TransJawa. Tersambungnya tol TransJawa dari Merak sampai Surabaya dalam beberapa tahun ke depan, akan membuat Jalan Daendels berubah menjadi monumen sejarah.

Namun saat mudik Lebaran maupun pada hari-hari penting lain, jalur pantai utara Pulau Jawa tetap menjadi sangat penting bagi pemudik yang menggunakan sepeda motor karena mereka tidak boleh melewati jalan tol.

Seperti yang terlihat pada saat arus mudik dan arus balik Lebaran 2018, Jalur pantai utara Pulau Jawa seperti dikuasai para pemudik bersepeda motor. Puluhan ribu pemudik bersepeda motor dari arah Jakarta dan sekitarnya, menyemut saat beriring-iringan dan kemudian menyebar menuju berbagai daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Timur.

Situasi yang hampir sama juga terjadi di jalur selatan. Tapi, jalur selatan mempunyai karakteristik alam yang lebih menantang karena melewati daerah berbukit dan tebing, sementara jalur pantai utara Pulau Jawa lebih monoton karena hanya berupa jalan lurus dan gersang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya