Liputan6.com, Banyumas - Dikisahkan sebelumnya, Sahabat Nabi Abu Dzar al-Ghifari diperintahkan untuk kembali ke kaumnya, kabilah Ghifar dan menyeru ke dalam agama Islam. Ini dilakukan sekaligus untuk meredakan tensi Makkah yang terlanjur panas usai kedatangan Abu Dzar di masa awal Islam.
Karena keterusterangan dan keberanian Abu Dzar al-Ghifari, rasa permusuhan musyrik Quraisy semakin memuncak. Keberanian dan keterbukaannya harus diarahkan untuk hal yang lebih bermanfaat.
Rasulullah SAW pun mengatakan kepada Abu Dzar al-Ghifari, kembalilah ketika Islam sudah semakin berkembang dan semakin terbuka. Maka keberaniannya mengungkapkan kebenaran akan lebih bermanfaat.
Advertisement
Setelah bertahun-tahun berlalu, Islam akhirnya semakin berkembang. Nabi Muhammad SAW pun telah hijrah ke Madinah.
Baca Juga
Suatu hari, masyarakat Madinah dibikin heboh oleh kedatangan kafilah yang teramat panjang. Saking besarnya rombongan, debu pasir yang beterbangan terlihat dari kejauhan.
Tampak orang yang berjalan kaki, menunggang kuda, unta, atau menuntun hewan pengangkut barang. Kalau saja tidak terdengar sayup gema takbir, orang-orang madinah akan mengira mereka akan diserang oleh pasukan musyrik.
Tampak dari jauh, Abu Dzar al-Ghifari memimpin kafilah besar itu. Masih sama dengan beberapa tahun sebelumnya, Abu Dzar datang tanpa atribut kemewahan. Dia adalah pelopor hidup sederhana.
Ini adalah kafilah dari Kabilah Ghifari, dan juga Aslam. Mereka telah masuk Islam dengan jumlah yang besar. Masuk Islamnya dua kabilah ini membuat kekuatan Islam semakin diperhitungkan.
Termasuk dalam rombongan ini, mantan penyamun alias garong dan komplotan maksiat. Melalui Abu Dzar Mereka telah berubah menjadi rombongan pendukung kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Keberanian Mengungkap Kebenaran
Gema takbir makin terdengar kencang. Maka Rasulullah pun menyambut sahabat yang dikenal dari keberaniannya mengungkapkan keberanian ini.
Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang baru datang tersebut dengan berseri-seri. Pandangannya diliputi rasa haru dan cinta kasih.
Sambil menoleh kepada suku Ghifar, beliau bersabda, " Suku Ghifar, yang telah di-ghafar (diampuni) Allah," kata Nabi.
Kemudian sambil menghadap suku Aslam, beliau bersabda, "Suku Aslam telah disalam (diterima dengan damai) oleh Allah," kata Rasulullah SAW.
Kemudian Nabi melihat Abu Dzar, sahabatnya yang penuh kemuliaan. "Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar," ucap Rasulullah SAW.
Sabda Rasulullah SAW ini terbukti di kemudian hari sepeninggal Nabi wafat terutama pada ketika fitnah merajalela pada zaman pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Diakui, saat itu masih banyak sahabat Nabi yang jujur, cerdas dan benar.
Namun, tak ada yang melampaui keberanian Abu Dzar mengucapkan kebenaran. Terutama dalam sikap kritisnya terhadap para penguasa, gubernur, dan pejabat negara yang hidup bergelimang harta.
Abu Dzar adalah pelopor hidup sederhana yang amat membenci kemewahan dunia. Dia melihat sudah ada benih bahaya, ketika kepentingan pribadi bercampur dengan kepentingan negara dan agama.
Maka Abu Dzar lantas pergi menemui para pembesar dengan mengungkapkan kebenaran. Bahwa ajaran agama bukanlah suatu kerajaan, bukan untuk memungut upeti, dan bukan ajang sombong. Dalam Islam tak ada sistem kasta, sederhana bukan hidup boros.
Advertisement
Setrika Api Neraka untuk Penumpuk Harta
Melihat bahaya gila harta di depan mata, Abu Dzar langsung menuju Syiria, lambang kepemimpinan Islam yang serakah. Semuanya berpangkal dari Muawiyah bin Abu Sufyan, yang kala itu menjadi gubernur.
Sementara, Abu Dzar melihat masih ada fakir miskin yang bahkan kekurangan makan. Di sisi lain, dia melihat gedung-gedung dengan mahligai menjulang tinggi. Dia melihat ketimpangan.
Abu Dzar berpendapat, seharusnya para pemimpin adalah orang yang pertama kali lapar saat terjadi kelangkaan makanan dan terakhir kenyang ketika makanan datang. Namun ini sebaliknya. Rakyat hidup susah, sementara para penguasa dan pejabat hidup mewah di istananya masing-masing.
Dalam lawatannya itu, di depan sekumpulan massa, Abu Dzar kerap berkata, "Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan disetrika dengan setrika api neraka, menyetrika kening dan punggang mereka di hari kiamat!".
Segera saja, rakyat berdiri di belakang Abu Dzar. Kemanapun Abu Dzar pergi, mereka akan mengikuti. Bahkan, seandainya Abu Dzar menyerukan pemberontakan, pastilah akan terjadi pemberontakan besar di Syiria.
Namun, Abu Dzar masih mengingat sabda Nabi, dilarang membunuh sesama muslim atau yang mengucapkan Laailaaha Illallah, Muhammadar Rasuulullah. Kerena itu, kendati hatinya tak sabar, namun protesnya tetap melalui perkataan yang tidak menimbulkan potensi pemberontakan massal.
Â
Penyayang Dhuafa yang Benci Penguasa Penumpuk Harta
Semasa hidupnya, Abu Dzar al-Ghifari dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadiannya. Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria.
Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abu Dzar al-Ghifari membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuatnya sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abu Dzar al-Ghifari tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak memengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya.
Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abu Dzar al-Ghifari mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.
Lantas Khalifah Utsman memanggil Abu Dzar al-Ghifari ke Madinah. Dengan bijak dan lembut, ditawarinya unta gemuk, yang akan mencukupi kebutuhan susunya tiap pagi dan sore.
Tapi apa jawaban Abu Dzar, "Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!" tegas Abu Dzar.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali RA, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abu Dzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."
(tulisan kedua setelah Kisah Sahabat Nabi Abu Dzar al-Ghifari, Penyamun yang Jadi Muslim Revolusioner dan Gemparkan Makkah (I))
(Sumber: Rijalul Haular Rasul dan sumber lainnya)
Tim Rembulan
Advertisement