Tradisi Mudik, dari Bisnis hingga Kepentingan Politik

Mengingat sifatnya yang massal, dalam tradisi mudik semua kepentingan saling berkelindan.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 20 Jun 2017, 12:54 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2017, 12:54 WIB
Pemudik Stasiun Senen Mulai Meningkat
Pemudik membawa barang miliknya di Stasiun Senen, Jakarta, Senin (19/6). Pada hari ini telah tercatat sebanyak 25.265 pemudik yang akan naik dari Stasiun Pasar Senen dan diperkirakan akan bertambah. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti 'ke udik atau kembali kampung halaman'. Mudik yang kerap dilakukan masyarakat Indonesia di hari raya bukan hanya menjadi sekadar tradisi. Kebiasaan ini bahkan telah menjadi bagian dari ritus keagamaan. Ada perasaan kurang dalam batin dan sisi religi seseorang jika belum pulang ke kampung halaman saat Lebaran.

Tak ada yang tahu secara pasti kapan tradisi mudik di Indonesia mulai ada. Namun Irsyad Ridho, pengkaji budaya dari Universitas Negeri Jakarta saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (20/6/2017) mengatakan, tradisi mudik kemungkinan besar muncul sejak urbanisasi menjadi fenomena sosial yang massal dan dipengaruhi oleh munculnya transportasi modern yang massal.

“Jika benar begitu, maka mungkin saja tradisi ini sudah mulai terbentuk pelan-pelan ketika kereta api mulai dibangun di zaman Belanda dan sudah bisa dinaiki kalangan masyarakat umum,” ucap Irsyad.

Lebih jauh dirinya mengatakan, dalam kacamata budaya ada beberapa faktor yang membuat mudik menjadi suatu yang penting dilakukan saat hari raya. Pertama, ikatan kekeluargaan yang masih kuat, terutama dengan orangtua.

“Keinginan untuk mudik kecenderungannya akan berkurang jika orangtua di kampung sudah enggak ada,” kata Irsyad.

Faktor kedua adalah berlebaran di kampung bisa memberikan suasana nostalgia yang selama ini hilang dalam kehidupan perantauan di kota. Sedangkan yang ketiga adalah faktor media massa dan iklan bisnis yang memanfaatkan tradisi mudik ini dengan cara membentuk citra atau kesan “romantik dan religius” dari tradisi mudik, sehingga orang terpengaruh untuk tetap mudik.

“Intinya budaya tertentu, seperti mudik, terbentuk dari perubahan kondisi sosial-ekonomi. Perubahan seperti urbanisasi di satu sisi dan ikatan komunitas kampung dan keluarga di sisi lain, menimbulkan budaya yang baru, yaitu mudik,” ucap Irsyad.

Dalam proses selanjutnya, masih menurut Irsyad Ridho, mudik itu sendiri berdampak pada bisnis-bisnis tertentu, seperti bisnis angkutan, bisnis kuliner, bisnis komunikasi, bisnis pakaian, dan lain sebagainya. Maka mudik saat ini juga dipengaruhi oleh kepentingan bisnis.

“Tak hanya itu, bahkan mudik bisa berdampak juga pada kepentingan politik. Presiden yang enggak mampu mengatasi problem-problem mudik bisa saja dikritik sebagai pemimpin yang tidak peduli pada umat Islam misalnya, terus dihubung-hubungkan dengan segala macam urusan. Urusannya bisa panjang dan sudah pasti berdampak pada pemilu berikutnya. Jadi dalam mudik itu, karena sifatnya yang massal, semua kepentingan saling berkelindan,” kata Irsyad menambahkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya