Liputan6.com, Jakarta Asal-usul rujak sampai saat ini masih simpang-siur. Ada yang bilang dari Arab karena konon penemu makanan yang tersaji dari berbagai jenis buah dan sayur itu bernama Abdul Rozak.
Namun, tidak ada fakta sejarah dari negara mana makanan tersebut berasal karena tidak hanya di Indonesia, di Malaysia dan Singapura pun makanan tradisional yang disebut "rojak" itu juga ada.
Rujak berbeda dengan salad yang juga sama-sama terdiri dari irisan buah-buahan dan sayur yang tercatat dalam berbagai literatur sejarah sebagai hidangan para bangsawan pada sekitar 1903.
Advertisement
Irisan buah-buahan dan sayur-sayuran yang dipadu bumbu ulegan saus tiram atau kerang yang disebut dengan petis, gula merah, terasi atau belacan, garam, dan kacang lazim disebut rujak.
Masyarakat Surabaya mencampurinya dengan irisan moncong sapi yang direbus atau cingur untuk menambah kelezatan rujak, sekaligus menjadi ikon kuliner Kota Pahlawan itu.
Rujak tidak mengenal mayones yang terbuat dari kuning telur, garam, merica, cuka, dan minyak untuk membedakannya dengan salad yang populer di Eropa.
Tidak salah kalau sebagian masyarakat Surabaya menyebut salad dengan "rujak prancis" karena sama-sama berbahan dasar buah dan sayur, hanya bumbu yang membedakannya.
Meskipun tidak sama persis dengan umumnya di Indonesia, rujak yang disajikan kepada para tamu Resepsi Diplomatik Peringatan Hari Kemerdekaan RI di Beijing, Rabu (26/09/2018) cukuplah untuk mewakili kekhasan kuliner Nusantara.
Hal itu perlu dimaklumi karena di Ibu Kota China tidak ada petis dan terasi sebagai elemen penentu rasa rujak.
Namun apa pun bentuknya, derajat rujak pada malam itu langsung naik. Jika biasanya di Indonesia dijual di warung-warung kecil pinggir jalan, di Beijing tiba-tiba naik ke meja diplomatik.
Mungkin di Jawa rujak bisa menjadi penawar rasa lapar, tapi bisa saja di Beijing rujak menjadi alat tawar diplomasi karena pada malam itu tiba-tiba rujak menyita perhatian Wakil Menteri Luar Negeri China Kong Xuanyou di sela perberbincangnya dengan Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun.
Rujak dan gorengan yang disajikan Sih Elsiwi Oratmangun yang mendampingi sang suami, Djauhari Oratmangun, tandas di piring Wamenlu China.
Memang lidah tak bertulang, tapi urusan selera, lidah tidak akan bohong. Sang wakil menteri mengambilnya lagi dari piring besar ke piring yang lebih kecil di tangannya sambil berbisik kepada asisten perempuannya untuk mencicipi makanan khas Nusantara itu.
Diplomasi Kuliner
Sebagian besar dari ratusan hadirin di acara yang digelar KBRI Beijing di Hotel Four Seasons itu adalah para diplomat dan atase dari negara-negara sahabat.
Hidangan yang tersajikan pun hampir seluruhnya jajanan khas Nusantara. "Cocok kanggo ilat ndeso (Jawa: sesuai dengan lidah orang kampung)," komentar seorang istri staf KBRI Beijing saat mengambil makanan pencuci mulut yang terbuat dari tepung sagu dicampur santan dan gula merah di meja saji.
Selain rujak, nasi goreng turut menjadi primadona karena pada malam itu mampu memenuhi piring di tangan para diplomat dari benua Eropa dan Amerika.
Formasi "standing party" sangat pas untuk para diplomat. Mereka berkerumun di meja-meja kecil bukan lagi membahas hubungan multilateral di tengah kecamuk perang dagang AS-China.
Bagi mereka malam itu lebih asik membicarakan tentang santap malam dengan menu khas dari negara banyak pulau dan kaya budaya di Asia Tenggara itu.
Apalagi sebelum tudung makanan di buka untuk umum, lidah mereka sudah dibuat tergiur oleh nasi kuning berbentuk gunungan beralaskan daun pisang lengkap dengan lauk dan sayuran.
Para tamu undangan pun hanya bisa bertepuk tangan karena yang berhak mencicipi tumpeng di atas panggung itu adalah Wamenlu Kong Xianyou dan beberapa duta besar dari negara anggota ASEAN.
Dalam kesempatan tersebut, Wamenlu dan para dubes negara sahabat disuguhi tari Saman. Tepuk tangan berderai, manakala para penari yang merupakan pelajar asal Indonesia secepat kilat berubah formasi.
Apalagi ketika mereka menari sambil mengikatkan tali satu sama lain sehingga membentuk pola satu kesatuan dalam jalinan tali tadi.
"Tidak ada satu pun negara yang dapat mewujudkan potensinya seorang diri. Kerja sama, kolaborasi, dan kemitraan, merupakan jalur terbaik bagi sebuah negara untuk berkembang," pesan Dubes Djauhari saat menyambut para koleganya yang hadir pada acara peringatan HUT ke-73 Republik Indonesia itu. (Antara/M. Irfan Ilmie)
Advertisement