Penjualan Dolce & Gabbana di China Menurun Signifikan Pasca-Kontroversi Iklan Rasis

Kasus iklan rasisme Dolce & Gabbana yang terjadi pada November 2018 masih berdampak hingga kini. Buktinya, penjualan mereka di Cina turut mengalami penurunan.

oleh Putu Elmira diperbarui 03 Sep 2019, 00:03 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2019, 00:03 WIB
Dolce & Gabbana, Brand Fesyen Ternama Pertama yang Keluarkan Baju Plus Size
Koleksi pakaian Dolce & Gabbana untuk koleksi pra musim gugur 2019. (dok. Dolce & Gabbana/Novi Thedora)

Liputan6.com, Jakarta - Dampak iklan kontroversial yang dinilai rasis dari brand pakaian Dolce & Gabbana di Tiongkok masih terus berlanjut. Hal ini terbukti dari menurunnya penjualan produk mereka di Cina dalam periode satu tahun terakhir.

Padahal sebelum ada kasus tersebut, penjualan Dolce & Gabbana di Cina cukup baik. Bahkan, 30 persen penjualan mereka dikatakan berasal dari negeri tirai bambu ini.

Melansir dari South China Morning Post, 2 September 2019, total keseluruhan pendapatan brand asal Italia per Maret 2019 memang meningkat sebesar 4,9 persen yakni setara dengan 1,38 juta Euro atau setara dengan Rp21,5 miliar lebih. Tetapi, pendapatan dari pasar kawasan Asia Pasifik menyusut cukup signifikan. Hanya di Jepang, pendapatan brand tersebut stabil di angka lima persen.

Pendapatan sejak kontroversi hingga saat ini mengalami penurunan sebesar tiga persen. Sebelumnya, kontribusi pendapatan dari Asia mencapai 25 persen, dan kini turun menjadi 22 persen.

Dari pengarsipan oleh Italy's Chamber of Commerce (Dewan Perdagangan Italia), penurunan ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga Maret 2020. Pihak Dolce & Gabbana hingga saat ini belum memberikan tanggapan atas penurunan ini.

Kendati penurunan dialami di bagian Asia, pendapatan Dolce & Gabbana justru meningkat di wilayah Amerika. Penjualan di wilayah Eropa juga tetap stabil.

Penjualan di Amerika meningkat sebesar tiga persen, dari awalnya 13 persen menjadi 16 persen per periode 2018 hingga pertengahan 2019. Pasar lainnya seperti di Italia stabil di 23 persen dan kawasan Eropa lainnya tetap di 28 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Butuh Pemasukan dari Tiongkok

Dolce & Gabbana
Dolce & Gabbana. Sumber foto: Instagram @dolcegabbana.

 

Jika digabungkan pendapatan di Jepang, Amerika dan Eropa, pendapatan total memang mencapai hampir 60 persen. Namun, hilangnya salah satu sumber pendapatan terbesar dari negeri panda ini tetap membuat keuntungan yang didapatkan menipis.

Pihak Dolce & Gabbana mengatakan bahwa mereka berharap penjualan periode semester dua 2019 hingga 2020 dapat lebih baik. "Biasanya, awal dari musim gugur dan musim dingin bisa menjadi tanda yang lebih baik untuk penjualan di paruh kedua tahun ini," ungkap salah satu pihak Dolce & Gabbana.

Kemurkaan warga Cina dimulai dari November 2018. rumah mode oleh Domenico Dolce dan Stefano Gabbana mengeluarkan iklan yang membuat dianggap melecehkan warga Tiongkok. Dalam video 40 detik yang dikeluarkan, tampak seorang model Cina kesulitan memakan makanan Italia menggunakan sumpit.

Kasus ini semakin parah dengan mencuatnya komentar negatif Stefano terhadap Cina ke publik. Hal ini membuat berbagai selebriti hingga e-commerce di Cina memboikot Dolce & Gabbana. Fashion show yang harusnya dilaksanakan pada November 2018 juga batal. (Novi Thedora)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya