Liputan6.com, Jakarta - Situasi pandemi Covid-19 berdampak pada meningkatnya minat masyarakat terhadap wisata alam. Tak pelak, pengelola tempat wisata merombak lokasi usahanya untuk mengakomodasi kebutuhan baru pelancong di masa kini. Namun, ada pekerjaan rumah besar terkait hal ini lantaran gaya hidup ramah lingkungan belum jadi pilihan banyak pihak yang terlibat, khususnya para pelancong yang datang.
Tak pelak, kedatangan para wisatawan menyisakan tumpukan sampah yang tak semuanya bisa diurai alam maupun didaur ulang. Sebelum pandemi saja, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah menyebut bahwa sampah lah yang menjadi ancaman terbesar di tempat wisata alam.
Advertisement
Baca Juga
Banyak bukti menunjukkannya. Palabuhan Ratu di Sukabumi, Pantai Tanjung Kesirat di Gunungkidul, hingga Taman Laut Bunaken. Tak sedikit yang geram dan mengecam, tapi lebih banyak yang tak peduli dengan masalah tersebut. Mereka berlaku seolah-olah alam adalah tempat sampah gratis yang bisa membuang segala yang tak lagi berguna secara sembarangan.
Selain perlu ketegasan aparat dan kesadaran dari wisatawan, masalah tersebut juga memerlukan solusi yang nyata. Sederet inovasi produk bisa menjadi peluang untuk menekan produksi sampah. Salah satunya dihadirkan oleh Community Driven Innovation lewat wadah makanan berbahan pelepah pinang.
Rengkuh Banyu Mahandaru, desainer produk yang tergabung dalam tim itu menerangkan ide awal pembuatan Plepah berasal dari tumpukan sampah yang mencemari perairan Wakatobi. Sebagai pecinta diving, ia melihat bagaimana sampah plastik mengotori alam bawah laut Wakatobi yang terkenal indah.
"Belum lagi kebiasaan kita di masa pandemi yang pesan makanan lewat aplikasi online. Berdasarkan data, sekitar 18 juta pieces kemasan makanan digunakan setiap hari," ujarnya saat hadir di Weekly Press Briefing Kemenparekraf, beberapa waktu lalu.
Â
Â
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Memberdayakan Masyarakat
Produksi Plepah sementara terkonsentrasi di Kabupaten Musi Banyasin, Sumatera Selatan. Alasannya di sana terdapat perkebunan sawit dan karet yang luas sehingga lebih mudah menemukan bahan baku. Prosesnya melibatkan ibu-ibu rumah tangga setempat sebagai sumber pendapatan tambahan. Sementara, mesin pengolah disediakan pihaknya.
"Skema yang kami pakai adalah mikromanufacturing. Kita tak bertujuan membuat pabrik yang besar, tetapi memperbanyak sentra produksi skala kecil agar tercapai hasil produksi yang tinggi," sambung Rengkuh.
Kelebihan wadah makanan dari pelepah pinang ini adalah bisa tahan dipanaskan hingga 200 derajat. Selain itu, bahan tahan air karena memiliki lapisan lilin alami. Wadah juga bisa terurai di alam dalam 60 hari, berbeda dengan wadah styrofoam yang membutuhkan 500 tahun agar bisa decomposting.
"Karena skala produksi kami masih kecil, harganya masih tinggi, Rp5 ribu per piece. Kami targetkan ini akan bersaing dengan wadah dari kertas yang saat ini harganya sekitar Rp2.500," ujar Rengkuh.
Melengkapi Plepah, ada pula sedotan ramah lingkungan yang terbuat dari purun, sejenis gulma di rawa gambut. Produsennya berbasis di Belitung. Hartati, sang pemilik usaha kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu, mengatakan sedotan itu tak serapuh sedotan kertas, tetapi juga tak sekokoh sedotan logam yang banyak digunakan sebagai sedotan ramah lingkungan.
"Sifatnya seperti daun keladi. Tidak berubah bentuk juga tidak gunakan perekat," ujarnya.
Â
Advertisement
Sekali Pakai
Ia mulai memperkenalkan produknya pada akhir 2019. Pertama kali dikirim bahkan ke luar pulau, yakni Bali yang dikenal gencar menangkal penggunaan plastik sekali pakai. "Saya coba dulu sebelumnya. Ada rasa atau apa, ternyata it's oke," ujarnya.
Proses pembuatannya membutuhkan waktu lima hari. Ia memanfaatkan sinar matahari untuk mengeringkan purun sebelum dioven agar benar-benar kering. Sedotan plastik itu sengaja untuk digunakan sekali pakai karena dia menyerap air. "Takutnya juga ada bakteri yang bersarang karena dia menyerap air," sambungnya.
Karena menggunakan bahan alami, dia menjamin sedotan tersebut tak akan menambah beban di alam. Saat dibuang, sedotan akan hancur dalam waktu seminggu. "Kalau dibuang ke laut pun enggak akan kesangkut," imbuhnya.
Sejauh ini, permintaan banyak datang dari Bali dan Jakarta, terutama para pemilik restoran. Ia menjual dalam dua pilihan, sekotak isi 50 pieces dan 100 pieces dengan harga berkisar Rp25 ribu --Rp50 ribu.
Staf Ahli Bidang Inovasi dan Kreativitas Josua Puji Mulia Simanjuntak menyambut baik beragam inovasi tersebut. Ia menilai hal itu sebagai solusi yang bisa Indonesia berikan atas permasalahan global, dalam hal ini sampah. Ia pun mendorong agar para pemilik produk mendaftarkan inovasinya sebagai hak kekayaan intelektual.
"Dengan awareness ini, lebih banyak yang kenal dan membeli dan ada harapan dibawa ke ranah global. Ini bisa jadi solusi isu global. Mungkin bisa kita bawa ke World Expo 2020," ujarnya. World Expo 2020 merupakan pameran pariwisata dunia yang berlangsung di Dubai. Pada tahun ini, ajang tersebut akan dimulai pada Oktober 2021.
Â
Â
Dukungan Pemerintah
Sejauh ini, sambung Josua, dukungan pemerintah, dalam hal ini Kemenparekraf terhadap pengembangan produk-produk ramah lingkungan yang bisa menunjang wisata keberlanjutan adalah dengan membantu mempromosikannya. Diharapkan promosi itu bisa menarik minat investor untuk menanam modalnya di usaha tersebut.
"Kita berharap ada pihak swasta yang tertarik untuk invest, pemilik kebun sawit misalnya," kata dia.
Terkait bantuan permodalan, Josua menyarankan agar mereka mengikuti program Bantuan Insentif Pemerintah yang proses pendaftarannya dimulai pada 4 Juni 2021 hingga 4 Juli 2021. BIP merupakan program tahunan sejak 2017 yang sebelumnya dijalankan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Bantuan disalurkan kepada pelaku sektor parekraf di Indonesia untuk memberi tambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap guna meningkatkan kapasitas usaha.
Pada tahun ini, sasaran BIP dibatasi pada tujuh subsektor ekonomi kreatif, yakni aplikasi, game developer, kriya, fesyen, kuliner, film, serta sektor pariwisata. Berbeda dengan tahun lalu, BIP 2021 dibagi jadi dua kategori, yakni BIP reguler dan BIP Jaring Pengaman Usaha (JPU). BIP juga tidak sama dengan program hibah pariwisata yang sedang dipersiapkan pemerintah.
BIP reguler adalah bantuan insentif pemerintah untuk penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap dalam rangka peningkatan kapasitas usaha dan/atau produksi pelaku usaha parekraf. Sementara, BIP JPU adalah bantuan insentif pemerintah untuk penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap dalam rangka membantu keberlangsungan usaha, khususnya akibat efek pandemi.
"Atau bisa juga mengajukan banper, yang berupa dukungan peralatan permesinan," imbuh Josua. Semakin banyak titik produksi, biaya produksi bisa ditekan dan jumlah tenaga kerja yang terserap juga akan bertambah.
Advertisement