Liputan6.com, Jakarta - Sebuah produsen kare Jepang, House Foods, tergerak untuk mengkaji manfaat mengonsumsi kare bagi kesehatan. Perusahaan kemudian meneliti hal itu dengan bantuan sejumlah profesor di Universitas Tokyo dan Universitas Nishogakusha.
Studi dengan topik serupa pernah dilakukan House Foods. Hasilnya saat itu menyimpulkan kare Jepang bisa membantu menekan dampak buruk dari polusi udara terhadap kesehatan dan mencegah pengerasan arteri. Namun, temuan terbaru ini diyakini lebih bermanfaat.
Dikutip dari laman Japan Today, Rabu, 12 Januari 2021, dasar penelitian itu adalah hasil studi yang dilakukan di Singapura, yang menemukan keterkaitan antara memakan kare dan fungsi kognitif yang sehat. Namun, kare yang menjadi objek penelitian itu berbeda dengan kare yang ada di Jepang.
Advertisement
Baca Juga
Uji coba terpisah kemudian dilakukan untuk melihat apakah temuan itu juga berlaku bagi kare Jepang. Dua ribu orang berusia 50 tahun ke atas menjadi responden dalam penelitian tersebut.
Mereka dibagi menjadi dua kelompok, yakni yang rutin menyantap kare dan yang tidak, serta mereka yang menyantapnya dalam waktu yang lama (lebih dari setahun) dan yang singkat (kurang dari setahun). Sebagai contoh, kelompok dengan frekuensi tinggi dikategorikan mereka yang menyantap kare empat kali dalam sebulan selama lebih dari setahun sebelum diteliti.
Masing-masing responden kemudian disodori form penilaian risiko demensia DASC-21. Skor relatif yang didapat kemudian dibandingkan. Hasilnya, mereka menemukan korelasi yang kuat antara skor tes tersebut dengan frekuensi konsumsi kare dalam jangka panjang.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Temuan Studi
Berdasarkan studi itu, mereka yang menyantap kare kurang dari sekali sebulan diberikan nilai dasar rata-rata satu untuk risiko demensia. Sementara, mereka yang makan kare sebulan sekali, angka risikonya menurun jadi 0,834.
Skornya terus turun untuk mereka yang memakan lebih sering, yakni 0,754 untuk yang makan 2--3 kali sebulan dan 0,718 yang makan empat kali atau lebih. Korelasi itu tidak bisa ditemukan pada orang yang memakan kare dengan frekuensi yang sama, tetapi dalam periode lebih singkat.
Meski begitu, mereka yang makan kare lebih dari dua kali sebulan dalam periode kurang dari setahun disebut punya kondisi lebih baik dari yang menyantapnya sekali sebulan atau kurang dalam periode lebih dari setahun. Meski ada keterkaitan antara kare dengan berkurangnya risiko demensia, penelitian lanjutan tetap diperlukan.
Tahap penelitian berikutnya bertujuan menemukan proses kimia antara kedua hal itu sehingga keterkaitannya bisa lebih jelas. Bila berhasil, hal itu bisa menjadi temuan penting bagi Jepang yang kini menghadapi demografi tua. Dengan solusi diet sederhana, mereka bisa mempertahankan ketajaman ingatan dengan lebih baik.
Advertisement
Deteksi Dini
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif ALZI, Michael Dirk R. Maitimoe, menekankan pentingnya deteksi dini demensia. Ada beberapa tanda yang harus diwaspadai, seperti pikun, lupa arah pulang, dan gangguan berkomunikasi yang mengganggu aktivitas kesehariannya.
"COVID-19 yang berperan menambah kemungkinan tingginya angka demensia, menurut penelitian, menjadi salah satu alasan utama pencegahan dini harus dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk para pemangku kepentingan agar angka orang dengan demensia (ODD) dapat ditekan," ujar Michael, dalam peringatan Bulan Alzheimer Sedunia ke-10, September 2020.
Berdasarkan Laporan Alzheimer Dunia 2016, prevalensi demensia di Indonesia diprediksi mencapai empat juta jiwa pada 2050. Ada 10 gejala umum yang dialami penderita Alzheimer Demensia, yakni gangguan daya ingat, sulit fokus, sulit melakukan kegiatan rutin, disorientasi, kesulitan memahami visuospasial, gangguan berkomunikasi, menaruh barang tidak pada tempatnya, salah membuat keputusan, menarik diri dari pergaulan, serta perubahan perilaku dan kepribadian.
Dengan deteksi dini, Michael mengatakan hal itu bisa membantu penderita demensia dan keluarganya dalam menghadapi dampak penurunan fungsi kognitif dan pengaruh pengaruh psiko-sosial dari penyakit ini dengan lebih baik. Laju penurunan fungsi itu juga bisa dikendalikan dengan berolahraga, makan makanan bergizi, serta menjalankan kegiatan yang produktif.