Cerita Sri Warso Wahono Memilih Jadi Pelukis karena Sunyi tapi Lebih Beradab

Lukisan karya Sri Warso Wahono pernah dipamerkan di Balai Budaya Jakarta bertemakan ‘Jakarta 18’.

oleh Henry diperbarui 16 Jan 2022, 14:30 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2022, 14:30 WIB
Cerita Sri Warso Wahono Memilih Jadi Pelukis karena Sunyi tapi Lebih Beradab
Cerita Sri Warso Wahono Memilih Jadi Pelukis karena Sunyi tapi Lebih Beradab. foto: vidio.com 'Politik dalam Seni di Pameran Lukisan Sri Warso Wahono'

Liputan6.com, Jakarta - Sri Warso Wahono adalah salah satu pelukis modern Indonesia. Pria kelahiran Solo, 17 Juni 1948. Ini dalam buku Modern Indonesia Art ini menempati urutan ke 151 dari 325 Pelukis Profesional Indonesia sejak dari Raden Saleh hingga kini.

Dari karya-karya ciptaanya,mengalami berbagai tema lukisan.  Sejak 1962 hingga kini, ia dikenal dengan penggarapan artistik berdasarkan konsep-konsep estetika adiluhung. Suatu teori estetika yang berpihak pada pencapaian nilai harmoni dan keselarasan. Jika diperinci, aliran yang patut disebut untuknya adalah naturalisme.

Lukisan gunung Lawu dengan danaunya yang biru karya pelukis naturalis Sudjono Abdullah, kakak dari seniman legendaris Basuki Abdullah, selalu membuat langkah Sri Warso Wahono muda terhenti dalam perjalanannya dari dan menuju SMP Kristen 2 Solo, tempatnya belajar. Bersentuhan langsung dengan puncak Lawu, gunung kemudian menjadi objek lukisnya selama beberapa waktu lamanya.

Sri Warso Wahono juga dikenal sebagai penulis budaya. Banyak tulisannya tersebar di berbagai media cetak. Karya-karyanya pernah dipamerkan di berbagai galeri, termasuk di Balai Budaya Jakarta pada 12-21 Mei 2015 bertemakan ‘Jakarta 18’.

Dalam kesempatan itu, ia sempat diwawancarai Bio In God Bless dari Liputan6.com. Sosok serta pandangan sampai kegelisahan hidupnya bisa terungkap dalam petikan wawancaranya berikut ini.

Kapan Anda mulai suka melukis?

Saya mulai melukis masa kelas 2 SMP di tahun 1964. . Saya makin suka melukis di atas kanvas sejak masuk SMA Margoyudan, di sana saya banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh HTS yaitu Himpunan Budaya Surakarta. Setelah itu saya masuk IKIP Seni Rupa di Solo.

Apa yang Anda lakukan setelah lulus kuliah?

Saya langsung ke Jakarta, bergabung dengan teman-teman senior di Jakarta. Ada pak Zaini, pak Suparto, Suharyono, Umar Kayam, bahkan saya sempat lihat pak Affandi pameran di sini (Balai Budaya). Beliau bahkan kalau pameran di sini biasanya bikin sekat ruangan buat tidur sama keluarganya. Banyak para senior yang menambah motivasi saya yaitu bahwa melukis itu sebuah pilihan yang tidak jelek.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Nilai Kritik

Jakarta 18 Painting Exhibition - Sri Warso Wahono 0515 1
Foto: Yoppy Renato

Bagaimana Anda memaknai pelukis sebagai pilihan hidup?

Walaupun saya bilang ini perjalanan sunyi, tapi saya enjoy aja, tidak banyak yang berani masuk ke perjalanan sunyi ini, tapi saya oke saja. Karena pilihan ini mengandung makna filosofis yang kebanyakan orang kurang suka. Sekarang ini orang-orang lebih mengutamakan fisik, wadah ragawi, tapi yang sifatnya rohani seperti kedalaman batin justru dijauhi.

Apa yang diberikan oleh profesi pelukis ini terhadap hidup Anda?

Kententraman jiwa dan beradab. Saya diarahkan untuk menjadi civilized, not uncivilized. Jadi ketika (jalan sunyi) itu saya yakini dengan makna-makna filosofinya maka hidup itu bermartabat. Beda misalnya, mohon maaf ini ya ini tidak semuanya, orang-orang politik itu bertikai hanya untuk duit, untuk partainya, menjatuhkan partai lain, kekuasaan, semua itu rendah, tidak bermartabat.

Apa karya-karya Anda bertemakan politik kritik?

Ada nilai kiritk, kegeraman saya terhadap situasi politik itu ada. Bahkan saya sempat mengambil tema ‘Rampogan’, itu sebuah usyarat bahwa di negeri saya itu terjadi sesuatu yang tidak beres. Di dalam dunia pewayangan, wayang kulit semalam suntuk, Rampogan itu keluar kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, jadi pembuka jalan kalau ada sesuatu yang tidak beres.

 

Bangunan Budaya

Cerita Sri Warso Wahono Memilih Jadi Pelukis karena Sunyi tapi Lebih Beradab
Cerita Sri Warso Wahono Memilih Jadi Pelukis karena Sunyi tapi Lebih Beradab. foto: vidio.com 'Politik dalam Seni di Pameran Lukisan Sri Warso Wahono'

Bisa jelaskan tentang pameran lukisan ‘Jakarta 18’ ini?

Ini pameran ke-18, jadi saya beri judul itu, karena ini pemeran tunggal saya yang ke-18. Dari tahun 1972 yang jadi pameran tunggal pertama saya dan di tahun ini jadi yang ke-18. Sebagian besar atau paling dominan temanya tentang politik, tapi saya garap sebagai karya yang artistik, tidak sarkastis atau berbau poster maupun karikatur.

Kenapa pilih Balai Budaya sebagai tempat berpameran?

Saya ingin menberikan sugesti kepada teman-teman budayawan atau seniman, bahwa Balai Budaya ini masih layak dipakai. Walaupun panas begini, tapi masih layak. Tempat ini sudah lama ditinggalkan ketika banyak galeri lain bermunculan. Tempat ini punya nilai historis. Sejak 1954 sudah dipakai sama BMKN, Balai Musyawarah Kesenian Nasional, seniman-seniman dari perwakilan partai ini ada banyak di sini. Ada nama-nama seperti Sudjojono, Hendra, Affandi, Zaini, pak Nasar, WS Rendra, Umar Kayam, Wiratmo Sukito, pak Jacob Oetama. Dulu budayawan-budayawan itu dulu suka kumpul di sini. Dulu ada istilah namanya Seniman Senen, nah kalau malam mereka sering ngobrol di sini.

Apa yang ingin Anda sampaikan untuk dunia lukis Indonesia?

Dalam situasi global, seni rupa Indonesia sudah mempunyai posisi dan warna yang sebenarnya bisa diandalkan. Sekarang tinggal bagaimana, how to manage, bagaimana cara mengolahnya, memasaknya agar menjadi sebuah bangunan budaya yang memberi artikulasi pada kehidupan bangsa.

Infografis Wayang Potehi

Infografis Wayang Potehi
Wayang Potehi menjadi salah satu warusan seni budaya Tionghoa - Jawa
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya