Upacara Tumpek Landep, Bentuk Syukur terhadap Ketajaman Pemikiran

Tumpek Landep sendiri merupakan upacara yang digelar setiap enam bulan sekali.

oleh Asnida Riani diperbarui 09 Apr 2022, 16:00 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2022, 16:00 WIB
Umat Hindu Bali Gelar Ritual Upacara Melasti Menjelang Nyepi
Ilustrasi upacara Tumpek Landep di Bali. (AFP/Sonny Tumbelaka)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Bali tengah merayakan Hari Raya Tumpek Landep hari ini, Sabtu (9/4/2022). Kata "tumpek” berasal dari kata "tampa" yang berarti "turun." Lalu, kata "tampa" mendapat sisipan "-um," hingga membentuk kata "tumampa," seperti dikutip dari situs web Pemerintah Kabupaten Buleleng.

Kata "tumampa" mengalami perubahan konsonan, jadi kata "tumampak” yang artinya "berpijak." Kemudian, mengalami perubahan jadi kata keterangan keadaan, sehingga jadi kata "tumampek" yang mengandung arti "dekat." Kata "tumampek" selanjutnya mengalami persenyawaan huruf "m," sehingga jadi kata "tumpek."

Hari suci bagi umat Hindu ini dimaknai sebagai waktu peringatan turunnya kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi ke dunia. Dalam peringatannya, Tumpek Landep dikhususkan untuk memohon keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Dewa Senjata (Pasupati).

Tumpek Landep diperingati saat saniscara kliwon wuku Landep setiap enam bulan sekali. Upacaranya mengandung hakikat dan makna yang sangat berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia, terutama mengenai intelegensi. Sementara, manusia sendiri dinilai sebagai makhluk religius yang selalu berhubungan dengan kekuatan supranatural.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kata "landep" sendiri mengandung pengertian "ketajaman." Maka itu, Tumpek Landep adalah ungkapan rasa terima kasih umat Hindu, khususnya di Bali, terhadap Sang Hyang Widi Wasa yang turun ke dunia dan memberikan ketajaman pemikiran pada manusia.

Adapun ketajaman itu layaknya senjata yang berbentuk runcing seperti keris, tombak, dan pedang.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Rangkaian dari Hari Raya Lain

Masuk Kawasan Rawan Bencana 3, Komplek Pura Terbesar di Bali Sepi Aktivitas
Ilustrasi upacara Tumpek Landep di Bali. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Dalam pengertian lain Tumpek Landep, bahan logam seperti besi, perak, dan perunggu dinilai sudah banyak membantu dan mempermudah pekerjaan manusia dalam kehidupan sehari hari. Hari Raya Tumpek Landep sendiri adalah rangkaian dari hari raya lain.

Urutannya, yakni Hari Raya Galungan, Hari Raya Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Siwaratri, dan Hari Raya Tumpek Landep. Perayaan Tumpek Landep bisa dilakukan di rumah dan di pura dengan cara mengumpulkan benda pusaka atau benda yang terbuat dari logam. Upacara ini dilakukan dari pagi hingga sore hari.

Upacara ini terus dilakukan secara turun temurun sampai saat ini. Pada masa sekarang, tidak hanya senjata yang terbuat dari besi, namun barang lain yang mengandung unsur besi atau benda bergerak yang terbuat dari logam seperti sepeda motor dan mobil, serta alat rumah tangga ikut diupacarakan, bahkan diberikan hiasan khusus dari janur yang disebut "tamian."

Saat upacara berlangsung, benda-benda yang terbuat atau mempunyai unsur logam ini diberikan sesajen agar dapat mempermudah dan memperlancar kegiatan manusia untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

Hari Raya Saraswati

Suasana Hari Raya Galungan di Bali
Ilustrasi upacara Tumpek Landep di Bali. (AFP Photo/Sonny Tumbelaka)

Sebelum ini, umat Hindu Bali telah lebih dulu memperingati Hari Raya Saraswati yang dirayakan setiap enam bulan sekali dengan digelarnya upacara di pura-pura Hindu pada 26 Maret 2022. Dalam legenda, Saraswati digambarkan sebagai istri Dewa Brahma.

Saraswati adalah dewi pelindung maupun pelimpah pengetahuan, kesadaran, dan sastra. Ia disimbolkan sebagai seorang dewi yang duduk di atas teratai dengan berwahanakan seekor angsa atau seekor merak.

Saraswati digambarkan sebagai dewi berlengan empat yang membawa sitar dan ganatri di kedua tangan kanan. Sementara itu, tangan kirinya membawa pustaka atau kitab, dan tangan kiri satunya memainkan sitar, gestur untuk memberkahi.

Upacara pada Hari Saraswati berupa pembersihan pustaka, lontar, buku, dan alat tulis-menulis yang mengandung ilmu pengetahuan atau berguna untuk ajaran-ajaran agama dan kesusilaan. Mereka kemudian dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat untuk diupacarai.

Sesajen dalam persembahan terdiri dari peras daksina, bebanten, dan sesayut. Juga, rayunan putih kuning, serta canang-canang, pasepan, tepung tawar, bunga, sesangku, air bersih, dan beras kuning.

Makna Pemujaan Dewi Saraswati

FOTO: Peringatan Hari Raya Galungan di Pura Amerta Jati Depok
Ilustrasi upacara Tumpek Landep di Bali. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa permohonan Tirtha Saraswati dilakukan menggunakan bahan-bahan, seperti air, beras, menyan astanggi, dan bunga. Secara detail tata caranya berupa, pertama, mengambil setangkai bunga, pujakan mantra: Om, puspa danta ya namah.

Sesudahnya dimasukkan ke dalam sangku. Ambil menyan astanggi, dengan mantra: Om, agnir, jyotir, Om, dupam samar payami. Kemudian, masukkan ke dalam pedupaan atau pasepan.

Disambung dengan mengambil beras kuning sambil berucap, "Om, kung kumara wijaya Om phat." Lalu, masukkan ke dalam sesangku. Prosesi Hari Saraswati kemudian dilanjutkan dengan membaca mantra-mantra pemujaan.

Makna pemujaan Dewi Saraswati adalah bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa dengan memfokuskan pada karunia ilmu pengetahuan. Nikmat ini membuat manusia terbebas dari kebodohan, serta agar dibimbing menuju kedamaian yang abadi dan pencerahan sempurna.

Setelah prosesi pemujaan Dewi Saraswati, masyarakat Hindu biasanya akan melakukan mesarnbang semadhi. Ini berupa bermeditasi di tempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati.

Keesokan harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni suci laksana di pagi buta berkeramas dengan air kumkuman. Ke hadapan Hyang Saraswati dihaturkan ajuman kuning dan tamba inum. Tamba inum ini terdiri dari air cendana, beras putih, dan bawang, yang kemudian diminum. Sesudahnya bersantap nasi kuning, garam, dan telur, disertai membaca mantra pemujaan.

Infografis: Warisan Budaya Indonesia yang Sudah Diakui UNESCO
Infografis: Warisan Budaya Indonesia yang Sudah Diakui UNESCO
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya