Mengulik Sejarah Hari Tani Nasional yang Diperingati Setiap 24 September

Mengapa tanggal 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional?

oleh Asnida Riani diperbarui 24 Sep 2022, 19:00 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2022, 19:00 WIB
Upah Harian Buruh Tani Naik Tipis
Petani menyemprotkan cairan pestisida di lahan pertanian bayam, kawasan Kota Tangerang, Jumat (27/11/2020). Badan Pusat Statistik mencatat upah nominal harian buruh tani nasional pada Oktober 2020 naik sebesar 0,09 persen dibanding upah buruh tani September 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai bentuk peringatan perjuangan kaum petani, serta pembebasan dari penderitaan, Hari Tani Nasional dirayakan. Tanpa terlewat, momentum ini diperingati setiap 24 September, tidak terkecuali pada tahun ini.

Melansir situs web UGM, Sabtu (24/9/2022), tanggal tersebut diambil berdasarkan waktu dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 1960. Itu jadi tonggak baru dalam memandang arti penting petani dan hak kepemilikan atas tanah, serta keberlanjutan masa depan agraria di Indonesia.

Sejak lepas dari Belanda, pemerintah Indonesia disebut berusaha merumuskan UU Agraria baru untuk mengganti UU Agraria kolonial. Pada 1948, ketika ibu kota berkedudukan di Yogyakarta, penyelenggara negara membentuk panitia agraria Yogya. Namun, akibat gejolak politik, usaha itu kandas.

Setelah diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 dengan salah satunya hasilnya, yakni pengakuan kedaulatan politik Indonesia, ibu kota kembali ke Jakarta. Kemudian, Panitia Agraria Yogya diteruskan di Jakarta pada 1951, dengan nama Panitia Agraria Jakarta.

Dalam perkembangannya, berbagai panitia yang telah terbentuk sayangnya gagal. Panitia Agraria Jakarta yang sempat mandek diteruskan Panitia Soewahjo (1955), Panitia Negara Urusan Agraria (1956), Rancangan Soenarjo (1958), dan Rancangan Sadjarwo (1960).

Di sisi lain, Belanda yang masih tidak rela melepaskan wilayah Irian Barat terus mengulur penyelesaian. Ini berujung pada pembatalan perjanjian KMB secara sepihak pada 1956. Diikuti nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing, pemerintah RI mengeluarkan UU No 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Meniadakan Hak-Hak Pertuanan

Upah Harian Buruh Tani Naik Tipis
Petani menyemprotkan cairan pestisida di lahan pertanian bayam, kawasan Kota Tangerang, Jumat (27/11/2020). Badan Pusat Statistik mencatat upah nominal harian buruh tani nasional pada Oktober 2020 naik sebesar 0,09 persen dibanding upah buruh tani September 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tanah-tanah tersebut sebelumnya disewakan atau dijual pada orang-orang kaya, dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), oleh Belanda. Artinya, tuan tanah berkuasa atas tanah, beserta orang-orang di dalamnya.

Ini termasuk hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, serta mengadakan pungutan-pungutan. Dengan UU No 1 tahun 1958 itu, hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki negara.

Kemudian upaya mengambil alih lahan asing ke tangan rakyat atau petani dilakukan dengan ganti rugi. Artinya, reforma agraria dikoordinasikan oleh pemerintah dengan cara ganti rugi untuk meminimalisasi kemungkinan konflik.

Akhirnya melalui prakarsa Menteri Pertanian 1959, Soenaryo, Rancangan Undang-Undang Agraria digodok Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang kala itu dipimpin Zainul Arifin.

Pada sidang DPR-GR tanggal 12 September 1960, Menteri Agraria saat itu, Sardjarwo, dalam pidato pengantarnya mengatakan, "Perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing."


Penetapan Tanggal 24 September

Upah Harian Buruh Tani Naik Tipis
Petani menyemprotkan cairan pestisida di lahan pertanian bayam, kawasan Kota Tangerang, Jumat (27/11/2020). Badan Pusat Statistik mencatat upah nominal harian buruh tani nasional pada Oktober 2020 naik sebesar 0,09 persen dibanding upah buruh tani September 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kemudian, pada 24 September 1960, RUU Agraria disetujui DPR sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria, atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). UU Pokok Agraria jadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru, pengganti hukum agraria kolonial.

UUPA 1960 merupakan payung hukum bagi pengelolaan kekayaan agraria nasional. Kekayaan agraria nasional tersebut mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi, "Bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Undang-undang ini lahir dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme yang telah merampas hak asasi rakyat Indonesia selama berabad-abad melalui Agrariche Wet 1870. Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat.

UUPA mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tidak punya hak milik. Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September, kemudian diperingati sebagai Hari Tani Nasional setiap tahunnya.


Upah Harian Petani

Upah Harian Buruh Tani Naik Tipis
Petani menyemprotkan cairan pestisida di lahan pertanian bayam, kawasan Kota Tangerang, Jumat (27/11/2020). Badan Pusat Statistik mencatat upah nominal harian buruh tani nasional pada Oktober 2020 naik sebesar 0,09 persen dari Rp 55.719 menjadi Rp 55.766 per hari. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, ribuan petani dan buruh melakukan aksi demo hari ini Sabtu (24/9/2022) di Istana Negara. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mengatakan UUPA 1960 jadi sangat penting, karena gagasan pembaruan agraria (reforma agraria) di dalam UUPA 1960 merupakan upaya memerdekakan Indonesia dari kolonialisme dan sistem warisannya, khususnya di sektor-sektor agraria, lapor kanal Bisnis Liputan6.com.

Adapun dalam unjuk rasa tersebut, mereka membawa 10 catatan kritis terhadap pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pertama, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah.

Laporan Penelitian Badan Pertanahan Nasional tahun 2019 menunjukkan bahwa luas tanah pertanian yang dimiliki petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian menunjukkan distribusi yang tidak merata. Kedua, kemiskinan masih didominasi wilayah perdesaan.

Ketiga, penyelesaian konflik agraria masih lambat. Lalu, progres redistribusi tanah bagi petani lambat, meski pemerintah menyebut terdapat kemajuan dalam hal target redistribusi. 

Kelima, lahirnya UU Cipta Kerja yang berseberangan dengan spirit UUPA 1960 dan Reforma Agraria Sejati. Keenam, UU Pangan tidak dijalankan. Ketujuh, UU Perlintan tidak dijalankan. Kedelapan, subsidi dan bantuan untuk petani. Kesembilan, jaminan harga yang layak bagi petani. Terakhir, tingkat kesejahteraan petani belum terwujud.

Infografis Tanaman Sayuran yang Cocok Ditanam di Lahan Sempit
Infografis Tanaman Sayuran yang Cocok Ditanam di Lahan Sempit. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya