Liputan6.com, Jakarta - Makin banyak orang yang mencoba naik gunung dengan beragam alasan. Salah satunya menjadi bahan eksis di media sosial. Apakah fenomena itu berdampak positif atau justru negatif?
Djukardi Adriana, senior advisor Eiger Indonesia, menyebut fenomena itu bisa berdampak ganda. Kegiatan pendakian bisa dimaknai positif bila pendaki memahami dan menerapkan nilai-nilai serta hakikat inti pendakian gunung yang berwawasan lingkungan.
Advertisement
Baca Juga
"Menjadikannya sebagai upaya agar gunung-gunung tetap terjaga keasriannya dan bersih dari permasalahan sampah," ujar pendaki senior yang akrab disapa Kang Bongkeng itu kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 11 September 2024.
Advertisement
Maraknya pendakian gunung juga bisa merugikan bagi gunung dan kawasannya bila pendaki tak berwawasan lingkungan. Yang paling mudah dikenali adalah timbulan sampah pendaki tak bertanggung jawab yang beratnya bisa berton-ton.Â
Bongkeng menegaskan naik gunung tak boleh asal-asalan. Ada banyak hal yang harus diperhatikan, salah satunya perihal etika. Ia mengingatkan bahwa seorang pendaki gunung harus sepenuhnya sadar bahwa ada kaidah dan hukum yang berlaku yang harus dipegang teguh.
"Mendaki gunung tanpa memikirkan keselamatan diri bukanlah sikap yang terpuji, sebagaimana juga bila kita tidak menghargai sikap dan pendapat masyarakat di sekitar kita pada kegiatan mendaki gunung yang kita lakukan," ujarnya. Dengan kata lain, naik gunung sebaiknya tidak dilakukan bila tujuannya hanya untuk gaya-gayaan semata.
Sudah banyak kasus terjadi sebagai pelajaran bagi pendaki lainnya. Salah satu yang fatal adalah hilang jejak di gunung hingga kehilangan nyawa karena mendaki tanpa persiapan dan melanggar aturan. Khansa Syahlaa, pendaki muda yang telah menaklukkan Gunung Aconcagua di Argentina sebagai bagian dari Seven Summit of the World, menyebutkan tiga kode etik umum yang harus dipatuhi pendaki.
"Yaitu, dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak, dilarang mengambil apapun kecuali foto, dilarang membunuh apapun kecuali waktu," ucapnya.
Siapkan Fisik Sebelum Mendaki Gunung
Selain etika, setiap pendaki juga harus memiliki fisik yang prima. Bongkeng mengatakan itu modal utama para pendaki karena aktivitas itu penuh tantangan dan berisiko tinggi, termasuk kematian.
"Berhasil atau tidaknya suatu pendakian bergantung pada kekuatan fisik. Kemampuan fisik berguna agar dapat terhindar dari segala bahaya, mulai dari kelelahan hingga kedinginan," ujarnya.
Khansa pun mengamini. Ia bahkan mengatakan persiapan fisik itu 'enggak boleh diabaikan' karena kegiatan tersebut menguras tenaga dengan kondisi cuaca yang bisa tiba-tiba berubah.
"Pembunuh pertama di gunung itu adalah dingin. Orang akan bisa mengalami hipotermia atau kehilangan suhu tubuh yang dampaknya bila hipotermia akut, dia akan bisa menyebabkan kematian," imbuhnya.
Selain kondisi fisik, persiapan juga meliputi dengan membawa perlengkapan yang memadai, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Baju ganti adalah salah satu barang wajib yang harus dibawa pendaki. Proses penyimpanannya juga harus benar, misal dimasukkan plastik agar tidak kebasahan di tengah jalan hingga tidak bisa dipakai.
Advertisement
Jangan Malas Cari Info Gunung Sebelum Didaki
Pendaki juga harus menyiapkan makanan yang cukup untuk memberi energi selama perjalanan naik hingga turun dengan selamat. "Kita sering dengar ya kan ada pendaki kena hipotermia, ya salah satunya itu karena faktor kehilangan suhu tubuhnya," ujarnya.
Selain fisik dan peralatan, pemahaman lingkungan juga penting dimiliki calon pendaki. Bongkeng menyebutkan pemahaman itu meliputi ketinggian gunung, cuaca atau suhunya, ekosistem, dan habitatnya.
Khansa menambahkan bahwa faktor kesulitan medan yang akan dihadapi harus jadi pertimbangan sebelum mendaki. Gunung dengan ketinggian berbeda, kesulitan dan karakteristiknya juga berbeda. "Dari literatur yang sudah umum bisa kita lihat, bisa kita baca dan cari di internet," ujarnya.
Selain karakter gunung, akses menuju gunung juga harus menjadi pertimbangan. Tidak semua mudah dijangkau dengan kendaraan, baik mobil maupun motor. Ada yang bahkan harus menaiki perahu karet, perahu klotok, atau naik mobil bak terbuka.
"Selain juga kesulitan di jarak ya. Jaraknya itu memakan waktu berapa jam atau berapa hari, itu menjadi pertimbangan (untuk naik gunung)," ujarnya.
Jangan Maksa Muncak Kalau Tak Kuat
Untuk itu, sambung Bongkeng, pendaki harus memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam menyikapi alam. Pendaki juga dituntut bisa beradaptasi dengan perlengkapan, menyusun perbekalan, serta merencanakan perjalanan, pengetahuan tentang medan, cuaca, teknik-teknik pendakian, dan sebagainya.Â
"Kita harus punya modal dasar untuk berkegiatan di alam terbuka. Minimal kita tahu apa-apa aja yang dibutuhkan dalam perlengkapan mendaki gunung," imbuh Khansa.
Tak kalah penting, kata Bongkeng, adalah sifat mental. Di alam terbuka, seorang pendaki harus tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan, tidak mudah putus asa, dan berani.
"Berani dalam arti sanggup menghadapi tantangan dan mengatasinya secara bijaksana dan juga berani mengakui keterbatasan kemampuan yang dimiliki," ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar setiap pendaki memiliki rasa kemanusiaan. "Kemanusiaan ini berkaitan dengan bagaimana seorang pendaki gunung harus bisa bergaul dalam sebuah kelompok, bersikap positif, peduli, respek, dan mencintai kelestarian alam," ia menguraikan.
Karena itu, jangan sampai Anda membawa kerusakan kepada alam saat mendaki. Bongkeng meminta semua pendaki selalu membawa turun kembali sampah, tidak membuang tisu sembarangan, serta tidak membunyikan musik dengan keras yang menimbulkan polusi suara di hutan dan gunung.
Advertisement